"Dimana adikmu, Aldei?" Suara bariton itu bergema di lorong.
"Ah, tadi kutinggalkan dia di perpustakaan karena asyik membaca naskah tentang legenda suku," jawab Aldeideus santai. "Kenapa? Apa Nyonya Nereia belum selesai mengajarinya ketika dia pergi? Aku bisa--"
"Tidak, bukan itu. Ayah hanya perlu memastikan sesuatu." Hefler kemudian menggerakkan tangannya, isyarat bagi Aldeideus untuk mengikutinya ke arah perpustakaan.
Langkah kaki Aldeideus mengekori ayahnya yang berjalan dengan tenang, sedang jubahnya berkibar akibat langkah kakinya hingga Aldeideus mesti berusaha menghindar dari kibaran itu selagi mengikuti ayahnya. Tatkala ia sampai di depan salah satu pintu kayu, Hefler berhenti. Didorongnya pintu itu perlahan, hingga pintu itu terbuka lebar. Matanya menatap jeli seisi perpustakaan.
"Oredeus tidak ada, Aldei," ujarnya tanpa menoleh. Segera Aldeideus mengintip dari balik punggung ayahnya. Benar, adiknya itu tidak ada. Gulungan yang tadi dibacanya terbiar di atas meja batu di tengah perpustakaan, sedang pembacanya pergi entah ke mana.
"Eh? Tadi ia masih ada," ungkapnya seakan membela diri. "Ke mana, ya?"
Tidak membalas, Hefler melangkah lurus ke arah jendela di seberang ruangan. Jauhnya sekitar lima puluh langkah kaki orang dewasa, melewati celah di antara rak-rak setinggi dua kali tinggi orang dewasa dan meja batu bundar di tengah ruangan. Jendela berkusen batu selebar rentangan tangan anak kecil yang ditutupi kaca, menjadi penghubung penglihatan dari dalam ruangan ke taman yang terletak di sisi perpustakaan.
Begitu ditatapnya tanah berumput hijau di bawah, matanya menangkap dua sosok kecil yang tengah bermain di semak bunga di sisi air mancur. Yang satu laki-laki berpakaian kamisa lengan panjang, yang satu perempuan berpakaian linen dengan kerah leher dan lengan panjang. Wajah mereka memancarkan mimik yang sama: bahagia.
Susah payah berjingkat, akhirnya Aldeideus berhasil menatap pemandangan yang sama. Matanya berbinar seakan berhasil menangkap mangsa.
"Ayah ingin aku membawanya kemari?" usulnya.
"Tidak perlu," jawab ayahnya. "Kita pergi sama-sama ke bawah. Ayo."
Dan dengan perkataan itu, ia berbalik menuju pintu. Diikuti Aldeideus.
*
"Lihat kumbang itu!" ujar si gadis sambil menunjuk ke antara dedaunan.
Oredeus berpaling, matanya memandang arah yang ditunjuk si gadis. Di sana, di tengah rimbun daun, seekor kumbang sewarna daun dan seukuran ujung kelingkingnya hinggap pada salah satu daun. Penasaran, ia mencoba membungkuk serta mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih dekat.
"Ah, tidak!" pekiknya kesal tatkala kumbang kecil itu terbang menjauh, agak lambat. Pandangannya tidak lepas dari kumbang itu, hingga ia kembali memekik takjub.
"Lihat! Warnanya berubah!"
Ditunjuknya kumbang yang kini hinggap di permukaan batu pancuran. Benar, warnanya kini serupa abu. Si gadis yang antusias ikut melihat. Binaran kedua anak itu makin cerah saja. Mereka sampai berjongkok untuk memerhatikan kumbang itu.
"Apa yang kalian temukan, Anak-anak?"
Mereka berdua berbalik sembari mendelik. Ayah Oredeus berada di sana, bertungging dan menatap mereka penuh minat. Di belakangnya, Aldeideus memandang mereka pula dengan penasaran
"Ya-Yang Mulia!" seru si gadis. Mendadak ia bangkit, dengan serta-merta ia membungkuk memberi hormat. Rambut panjangnya menjuntai hingga hampir menjangkau rerumputan.
"Ayah? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Oredeus penasaran. Jawaban yang diterimanya malah jitakan dari kakaknya.
"Itu karena kau menghilang dari perpustakaan! Kami kira kau diculik!" candanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of the Sky: Star Shard
FantasySekeping legenda dari benua dongeng sebelum kelahiran Cahaya Fajar dan Semburat Senja. Tanah Utama dihuni empat suku yang saling bermusuhan. Tiga di Dataran Besar dan satu di Samudera Benua. Northwinds di pegunungan Nolderk. Southwoods di dataran Ek...