"Ratu, bertahanlah!"
Entah sudah berapa kali Oredeus dan Fazharil mengucapkan itu. Ucapan penyemangat yang tidak tahu harus ditujukan pada siapa. Ratu yang semakin sekarat, atau mereka yang sibuk menenangkan diri sendiri.
Luth sendiri membantu tabib utama istana untuk menyembuhkan luka parah ratu. Tabib berkata bahwa karena mereka sedikit terlambat datang ke bawah sana, pendarahan ratu makin parah. Ia harus bekerja dua kali lebih keras dan bahkan mempergunakan sihir penyembuh miliknya untuk pertama-tama menutup luka itu. Akhirnya, Luth dengan kemampuan sihir penyembuh yang di bawah tingkat sang tabib berusaha membantu.
Dekat-dekat dua remaja itu menyaksikan proses penyembuhan ratu. Empat tangan yang diletakkan tepat di samping luka itu memendarkan cahaya hijau muda; efek penyembuhan menggunakan sihir. Keduanya sudah berlinang air mata sedari tadi, dan wajah mereka sama-sama basah sekarang.
"Tabib, rasanya sudah dari tadi kita mempergunakan sihir, tetapi mengapa luka ini tak kunjung sembuh barang secuil?" Akhirnya Luth menyatakan rasa kuatir yang cukup lama ia pendam.
Sang tabib juga tersadar. "Bolehkah kausebut lagi makhluk apa yang menyerangnya?"
"Oniarkya, Tabib," jawab Luth ragu-ragu. "Saya tidak melihatnya langsung, tetapi kata Fazharil taring ular naga itu menusuk sisi perut Ratu hingga robek begini."
Air muka tabib mulai memperlihatkan kekecewaan. Ada hal besar yang mengganggu pikirannya, dan Luth mampu membacanya dengan jelas. Sepertinya, mereka berdua sepemikiran saat ini. Pula ratu yang terbaring menahan sakit melirik dua orang ini, dan seketika mengetahui arti raut wajah mereka. Sayang sekali Oredeus dan Fazharil belum dapat menyadarinya.
Barulah setelah tabib mengangkat tangannya perlahan dan memudarkan pendar hijaunya, Fazharil bertanya. "Ada apa, Tabib? Beritahu aku cepat. Apapun akan kulakukan untuk menolongnya."
Sang tabib menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab Fazharil. Ia tahu benar, jawabannya akan sulit diterima.
"Maafkan hamba, Tuan Fazharil, tetapi hamba rasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk menolong Ratu kita," ucapnya, pelan dan penuh gundah.
"Apa maksudmu? Kita harus melakukan apapun! Ratu belum boleh meninggalkan takhta!" sergah Fazharil.
"Tenangkan dirimu, Fazharil. Ucapan Tabib itu benar, tidak sedikitpun mengandung kesalahan. Kita semua memang tidak lagi dapat melakukan apapun untuk menolong Ratu. Mohon mengertilah, Fazharil," balas Luth menyokong sang tabib yang diliputi gundah.
"Bagaimana bisa kau berkata macam begitu, Paman? Apakah kalian ini memang tidak mau lagi menolong Ratu? Katakan saja!" tukasnya kesal. "Akan kucarikan tabib terbaik di seluruh Tanah Utama untuk menyembuhkan Ratu! Dan aku--"
"Hentikan itu, Tuan Fazharil!" potong Oredeus. Ia menarik bahu Fazharil ke arahnya. "Mungkin saja luka ini berada di luar kemampuan mereka, Tuan. Jangan pernah berpikiran seperti itu."
"Kau juga menyokong mereka ini, Pangeran?" Fazharil balik menyerangnya. Oredeus mengatupkan mulutnya, tidak tahu lagi apa yang mesti ia katakan.
"Fazharil!"
Seruan itu mengalihkan perhatian mereka semua. Pada ratu yang tersengal-sengal sehabis menyerukan nama itu. Hening sejenak mengambil alih, hanya suara deru air sungai yang terdengar.
"Jangan, menyalahkan, mereka ini, Anak Hashdri," lanjut ratu tersendat-sendat. "Cukuplah di sini, bantuan mereka. Luka ini, bukan bagian dari, kemampuan mereka."
"Tetapi, Ratu," Fazharil kini mendekat ke kepala ratu, berlutut dan membungkuk, "Ratu belum semestinya meninggalkan takhta. Tolong bertahanlah …"
Sang ratu terbatuk sebentar. "Apalah dayaku, Anak Hashdri. Dewa Hareshet, tidak mengizinkanku, bernapas lebih dari saat ini."
Kali ini Oredeus mendekat. Perasaannya tak kalah berkecamuk, bahkan mungkin lebih. Segala hal buruk yang dikiranya akan menimpanya telah berputar-putar di kepalanya. Yang ia harapkan di Tel-Hareshet ini adalah jawaban atas masalah, bukan datangnya masalah baru. Ia hanya dapat menduga-duga, dua orang yang membantunya sejak kemarin ini akan berbalik melawan dan mengasingkannya. Hal yang lebih buruk, membunuhnya.
Karena semua pikiran itu ia mendekat. Mengharapkan maaf dari ratu.
Baru saja ia akan membuka mulut hendak mengucap maaf, sang ratu bertutur duluan.
"Aku minta maaf, Pangeran, hanya dapat membantumu, sampai di sini," tuturnya pelan. Oredeus membelalak.
"Ah, Yang Mulia!" ucapnya nyaring. "Mestilah saya ini yang minta maaf pada Ratu karena telah membuat Ratu terluka seperti ini!"
Beserta kalimat itu pecahlah air mata Oredeus. Wajah Fazharil kembali basah, mata Luth berkaca-kaca, dan tabib menangis sambil tertunduk.
"Tolong maafkan saya ini, Yang Mulia!" Lagi Oredeus berseru. Dahinya kini menyentuh tanah, membuat tanah itu basah.
Elusan pelan dirasakan Oredeus pada kepalanya. Ia kontan menengadah, mencari tahu asal elusan itu.
"Tidak usahlah kauminta maaf, Pangeran," ucap ratu seraya menarik tangannya dari kepala Oredeus. Tatapan bersalah sang ratu, ditambah rasa sakitnya, malah membuat Oredeus makin sedih. "Justru aku ini, yang minta maaf, karena sempat berniat mencelakakanmu. Dalam hal ini, Pangeran tidak bersalah. Tidak sedikitpun."
"Tapi, jika Yang Mulia wafat nanti, mungkin saja akan terjadi--"
"Adalah lebih baik bagiku, jika aku saja yang mati, Pangeran. Selama usiaku, terlampau banyak orang, yang mengorbankan diri mereka, demi kejayaan Southwoods, dan keselamatanku." Napas ratu makin tersengal. "Saat ini, aku mengambil peranku untuk, merubuhkan tradisi itu. Dan, membantu orang yang tidak, berhubungan dengan Southwoods. Harapanku untukmu, Pangeran Utara, adalah bahwa dengan matamu, aku, kami, dapat menatap masa depan yang cerah."
Makin haru saja suasana itu. Barangkali jika kalian ada di sana, air mata kalian akan ikut bercucuran.
Oredeus tidak mampu lagi berucap. Ia, sama seperti tiga orang lain, hanya larut dalam tangis.
"Tabib, doakanlah aku ini. Sedang itu, doaku untuk kalian, adalah semoga dunia ini, semakin indah bagi kalian." Permintaan itu dituruti sedemikian oleh sang tabib.
Sedikit kesusahan, ratu menyentuh tangan Luth. Merasakan tangannya disentuh, Luth bersegera menghadapkan wajahnya pada ratu.
"Gantikan aku mengenakan mahkota ini, Anak Idri."
Luth terkejut bukan main.
Dan itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Ratu Shevah. Ratu dengan usia pemerintahan paling muda, empat belas tahun.
Tak butuh lama, tangis mereka menjadi-jadi. Mengiringi ratap dari tebing. Ratap akibat kehilangan.
Tel-Hareshet telah berduka. Southwoods telah berduka.
~•~
Naskah Pedoman Pemerintahan Southwoods, halaman 27
Apabila karena alasan perang atau sakit yang berkepanjangan seorang ratu dijemput ajal, maka sebisa mungkin sebelum ia meninggal haruslah dipilihnya penerus yang akan melanjutkan pemerintahan. Tiap-tiap nama yang disebutkan terakhir oleh sang ratu, atau atas amanatnya sebuah nama ditetapkan menjadi penerusnya, haruslah menerima gelar sebagai pemimpin suku selatan tanpa pengelakan apapun juga.
~•~
W.N.:
Huft, sekali lagi minta maaf atas keterlambatan publikasinya... Moga dinikmati ya!(btw ada yang mau dateng ke rumah saya? Ada acara ultahnya saya lhoo, becanda tapi)
Silakan gulirkan ke chapter selanjutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of the Sky: Star Shard
FantasySekeping legenda dari benua dongeng sebelum kelahiran Cahaya Fajar dan Semburat Senja. Tanah Utama dihuni empat suku yang saling bermusuhan. Tiga di Dataran Besar dan satu di Samudera Benua. Northwinds di pegunungan Nolderk. Southwoods di dataran Ek...