Jendela bundar menjadi jalan masuk berkas fajar untuk menerangi ruangan ini. Segera setelah cahaya menghangatkan wajah mungilnya itu, Oredeus terbangun. Diiringi keheranan, sebab mendapati dirinya tidak lagi berada di dalam kemah.
"Aku membawamu dari tepi pantai itu kemari, Oredeus."
Ia memalingkan wajah. Menatap sosok asing bergaun biru yang duduk di seberang ranjangnya saat ini.
"Siapa kau? Di mana ini?" sahutnya bingung.
"Perkampungan Dwarf. Selamat datang di Gallevor, Pangeran Oredeus," jawabku sekaligus menyapanya.
Ia mengangkat bagian atas tubuhnya, sehingga ia menduduki ranjang kecil itu. "Perkampungan Dwarf?" ulangnya.
"Benar. Itu sebabnya aku mesti sedikit membungkuk agar dapat duduk nyaman di dalam sini," jelasku. Ia lalu memperhatikan sekelilingnya. Kurasa kini ia sudah menyadari bahwa seluruh benda di tempat ini berukuran lebih kecil dari biasanya.
Mendadak air mukanya berubah panik. "Di mana Kak Zhouyi dan Putri Lumiwenas? Kauapakan mereka?"
Aku terkikih. "Tidak kubahayakan. Aku hanya membawamu pergi dari mereka, sambil mengatakan bahwa kau akan tinggal di sini selama beberapa tahun."
Wajahnya berubah lagi, kali ini menjadi terkejut. "Beberapa tahun? Untuk apa aku tinggal di sini beberapa tahun?"
Aku berdiri dari kursiku, membungkuk lebih dalam agar tidak mengenai atap rumah. Kudekati dirinya yang panik bercampur bingung itu.
"Aku perlu melatihmu untuk menyiapkan Nomius, Oredeus. Namaku Hestes."
Telah kuduga bahwa ia akan kebingungan seperti ini. Ah, menyampaikan hal memang bukan keahlianku. Kalau saja ini bukan perintah dari Yang Punya Kuasa, pastilah sudah kuminta Malkhia menggantikanku.
"Ta, tanah damai?" ulangnya tersendat.
Aku menyimpul senyum. "Benar. Nomius. Bagaimana kalau kita berbincang di luar? Sekalian membiasakan dirimu pada pemukiman ini."
Oredeus melirik ranjangnya sesaat, berpikir. Ia lalu mengangguk pelan.
*
Jauh sebelum Yang Punya Kuasa menciptakan dua dunia berbeda ranah, ia telah menciptakan semesta, Cakrawala dan alam langit. Semesta ia isi dengan bintang-bintang beserta semua pengiringnya, alam langit ia isi dengan kerajaannya beserta seluruh penghuninya. Cakrawala adalah pembatas antara semesta dan alam langit, sehingga tanpa sepengetahuannya tiada yang bisa mengunjungi satu sama lain.
Meskipun alam langit telah sedemikian agungnya, segelintir dari penghuninya--makhluk langit--masih tidak merasa puas. Mereka ini kemudian berusaha menerobos Cakrawala demi mencapai semesta. Usaha ini berujung pada pemberontakan dan pertempuran besar kerajaan langit: pertempuran antara pengikut setia Yang Punya Kuasa melawan para pemberontak.
Tidak seperti bangsa fana yang mudah wafat, makhluk langit tidak memiliki tubuh seperti itu. Mereka yang kalah dan kehilangan kekuatan akan dibangkitkan kembali lewat dapur peleburan, dengan jiwa dan pikiran yang sama. Maka, pertempuran itu hanya mengacau-balaukan kerajaan langit. Sebagai tindakan untuk mengakhirinya, Yang Punya Kuasa menciptakan Menara Waktu, mengembalikan semua ke masa sebelum pertempuran, dan mencabut hak para pemberontak atas kerajaan langit: mahkota kemuliaan. Jiwa-jiwa yang telanjur dipenuhi amarah dikumpulkannya dan dibuangnya ke ranah lain yang jauh dari semesta. Mereka yang dibuang inilah yang menjadi Para Perusak, dan ranah mereka menjadi Penghakiman.
Cakrawala lain dibentuk demi memisahkan Penghakiman dari alam langit. Di sana, Yang Punya Kuasa menciptakan sebuah kota dan menempatkan pemberontak yang tersisa--yang tidak dipengaruhi amarah--untuk menjadi penjaga ranah batas itu. Sayangnya, usai lewat seratus masa, pemimpin baru kota ini justru berhasil dikendalikan jiwa perusak. Pemberontakan melawan pemimpin baru ini hanya dilancarkan oleh Hestes. Yang Punya Kuasa menggunakan pemberontakan ini untuk sekaligus memusnahkan kota yang telah ia ciptakan sendiri, sehingga perlawanan dari Penghakiman tidak akan mencapai alam langit.
Pada waktu kejatuhan itu, Yang Punya Kuasa menciptakan dua dunia baru di ranah semesta. Dunia yang terpisah, tetapi dihubungkan oleh Menara Waktu. Pada dunia yang satu ia membentuk kehidupan dari bara api; pada dunia yang lain ia membentuk kehidupan dari kebekuan. Setiap makhluk yang menyerap kekuatan baik dari Menara Waktu maupun dari sisa pertempuran besar kerajaan langit ia tempatkan pada dunia es itu, sedang yang tidak ia tempatkan pada dunia api itu.
Berlalu ribuan masa dan kedua dunia itu menjadi seindah kerajaan langit. Pembedanya ialah dunia yang satu memiliki sihir-sihir di dalamnya, sebagai akibat dari penyerapan kekuatan Menara Waktu. Ras yang berkembang juga lebih beragam. Akan tetapi, hal itu membawa keburukan lain. Kemampuan menguasai sihir membuat jemawa dengan mudah mempengaruhi penggunanya. Para Perusak yang menerobos Cakrawala menuju Semesta juga memperkeruh keadaan dan memecah belah penghuni dunia yang ini. Walhasil, terjadi permusuhan besar-besaran, yang berujung pada dunia dan masa yang kini Oredeus tinggali.
*
"Tunggu sebentar," tahan Oredeus sebelum aku sempat melanjutkan. Ia menyambung, "Jika aku tidak dapat menggunakan sihir, lalu dari ranah manakah aku ini?"
"Itu karena Yang Punya Kuasa menyuruhku melepas sihirmu," jawabku. Ia mendelik mendengarnya.
"Sejak kapan kau melepas sihirku? Lagipun, apa gunanya itu?" cecarnya tidak terima.
"Sejak kau jatuh dalam kolam di selatan kastil." Aku menjeda sebentar jawabanku sebab ada Dwarf kecil yang memintaku memakaikannya topi. "Kulepas sihir udaramu dan kubiarkan terjebak di dalam kolam," lanjutku.
Oredeus mengernyit. Sesaat kemudian ia kembali mendelik. Pasti ia telah menyadarinya.
"Apa kau adalah orang yang sama yang menyusup di kamarku pada malamnya?" tukasnya. Kontan ujung bibirku terangkat sebelah.
"Aldeideus menceritakannya padamu? Aku memang masuk ke dalam kamarmu untuk memastikan apa demammu tidak parah. Tapi ia lebih dulu mengejutkanku, makanya kutidurkan dirinya. Saat itu kau malah terbangun, padahal rencananya ingin kuperiksa diam-diam," tuturku panjang. Sekarang Oredeus mengerutkan keningnya. Ah, ia memang anak yang mudah meluapkan perasaan.
"Kenapa tidak bilang saja terus terang? Kalau sedari dulu begitu pasti aku tidak--"
"Tidak akan datang padaku seperti ini," potongku berniat meredam kekesalannya. "Adalah sebuah kesengajaan memang, kau berada di sini. Kami perlu orang yang berbeda sama sekali dari dunia ini agar dapat mengubah dunia ini. Dan hanya ada dua cara melakukannya. Satu, memberikan kuasa luar biasa hebat. Dua, melepas seluruh kuasanya."
Oredeus terdiam. Kurasa sekarang ia mulai memahami maksudku.
"Agar jemawa kefanaan ini hilang, mempermalukannya dengan sosok tak bersihir adalah cara terbaik, Oredeus," ungkapku.
Ia kembali menatapku dengan penuh ingin tahu. "Dari semua di Tanah Utama ini, kenapa harus aku?"
Kedua ujung bibirku terangkat. Aku ingat benar pertanyaan ini, kapan, dan di mana, pernah kutanyakan pula kepada seseorang. Sampai sekarang, jawabannya masih kuingat jelas.
"Sebab Yang Punya Kuasa tiada pernah salah menunjuk anak yang dikasihinya," ucapku dalam senyuman.
Oredeus terpana. Terdiam. Tenggelam dalam kalbu. Berenang dalam benak. Aku tahu sekali bagaimana rasanya mendengar jawaban itu. Sebab masa itu, kala aku berjuang sendirian, jawaban itu pula yang kudengar.
"Omong-omong soal Aldeideus," kubuyarkan pikirannya dan mengajaknya kembali pada kenyataan, "aku menyimpan sesuatu miliknya."
Kutinggal dirinya duduk di bangku di luar rumah ini. Aku menuju kamar tempat ia tidur tadi, mencari lemari kayu yang tingginya tak lebih dari dadaku. Satu-satunya jubah yang ada di dalam lemari itu kutarik keluar. Kurapikan sedikit sebelum kubawa keluar, hendak menunjukkannya pada Oredeus. Begitu ia melihat jubah yang kubawa, ia memekik senang.
"Jubah kakakku! Di mana kau menemukannya?" Oredeus lekas menarik jubah itu, lantas mendekapnya erat.
"Kau meninggalkannya di lembah utara, Oredeus. Sewaktu kau masih bersama Luth," ujarku. "Oh ya, aku masih menyimpan satu kejutan lagi, khusus untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of the Sky: Star Shard
FantasySekeping legenda dari benua dongeng sebelum kelahiran Cahaya Fajar dan Semburat Senja. Tanah Utama dihuni empat suku yang saling bermusuhan. Tiga di Dataran Besar dan satu di Samudera Benua. Northwinds di pegunungan Nolderk. Southwoods di dataran Ek...