Kamu itu terkesan cuek, tapi aku gak sadar kalo dibalik sikap cuek kamu itu tersimpan sejuta perhatian di dalamnya.
🌜🌛🌜🌛🌜🌛
Sudah satu minggu sejak Abella mengetahui bahwa ia akan di sekolah kan di sekolah Arvino. Gadis itu masih ragu untuk kembali sekolah seperti anak pada umumnya. Membayangkan ia akan kembali berinteraksi dengan orang asing seperti dulu membuat Abella ketakutan.
Apa nanti ada yang mau jadi teman dia?
Apa nanti ada yang mau menerima kehadirannya?
Apa nanti semua orang akan memandangnya dengan tatapan bersahabat atau sebaliknya?
Apa nanti ada orang baik selain Arvino?
Dan yang terpenting,
Apa nanti bayangan 'dia' akan terus menghantuinya?
Abella tersentak bersamaan dengan itu Arvino datang dan membawa nampan ditangannya.
Tak terasa setetes air mata jatuh. Cepat-cepat Abella menghapusnya agar Arvino tidak melihat. Tapi sayangnya Arvino melihat itu. Ia pun memilih menyimpan makanan yang dibawanya di atas nakas kemudian menghampiri Abella yang sedang duduk di pinggir ranjang.
Digenggamnya tangan mungil yang terasa dingin itu, lalu ia berjongkok di hadapan gadis yang rapuh itu.
"Hey? Kenapa?" tanya Arvino.Dan hanya gelengan kepala yang menjawab pertanyaan Arvino. Sebenarnya tanpa bertanya pun, lelaki itu sudah tau apa yang membuat sahabatnya itu murung. Karena selama ini yang selalu di khawatirkan dan selalu sukses membuat Abella drop, lagi-lagi karena masalah itu.
Sudah dilakukan berbagai macam cara agar Abella terlepas dari ingatan buruk itu, namun sepertinya gadis itu sendiri yang memilih untuk tidak mau melupakan apa yang telah terjadi.
Arvino menghela nafas sebelum bangkit dari duduknya. Namun belum sempat itu terjadi, tangan mungil yang tadi digenggamnya itu mencekal pergelangan tangan Arvino. Menahan agar tetap pada posisi itu.
"Ceritain gimana sekolah lo Ar" pinta Abella pelan. Arvino tersenyum tipis sebelum mengacak rambut gadis di depannya.
"Oke gue ceritain, tapi sebelum itu lo harus makan dulu. deal?" Ujar lelaki itu. Abella pun menggangguk dan mengambil makanan yang dibawakan oleh Arvino.
Lelaki itu beranjak dari jongkoknya, kemudian duduk di samping Abella. Memperhatikan sahabatnya makan sambil sesekali mengusap ujung bibir gadis itu karena belepotan.
Tindakan itu memang sudah biasa, mereka menganggap itu hanyalah perhatian kecil yang tidak berpengaruh apa apa.
🌜🌛🌜🌛🌜🌛
Di siang hari ini Selly sudah berhadapan dengan seorang psikolog yang selama ini menangani anaknya, Abella. Karena sejujurnya ia juga masih ragu untuk kembali membiarkan Abella sekolah di sekolah umum.
"Jadi? Apa Bella mengalami depresi lagi?" Tanya seorang ahli psikolog, bernama Rama memulai pembicaraan.
Dulu, Abella memang mengalami depresi berat. Ia selalu meminum obat penenang berlebihan, dan selalu menyakiti diri sendiri dengan menyayat, membenturkan kepala ke tembok, layaknya orang tidak mempunyai akal. Untunglah sekarang Abella tidak seperti itu lagi, karena Arvino maupun Selly selalu mencegah gadis itu melakukan hal hal yang menyakiti diri Abella.
"Sebenarnya tidak. Saya kesini hanya ingin memastikan lagi, apa membiarkan Abela sekolah keputusan yang benar?" Ujar Selly.
KAMU SEDANG MEMBACA
neighbour
Genç Kurgu"Ar, makasih ya?" "Makasih? Untuk?" "Makasih udah mau jadi sahabat gue meskipun lo udah tau gue gak sebaik yang lo kira. Dan terpenting, selalu ada saat gue butuh sandaran." "Semua itu gak gratis Abe." "Hah? Maksudnya?" "Lo harus bales kebaikan gue...