5. Luka Tak Kasat Mata

104 8 0
                                    

“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”

(QS. Ali Imran: 139)

🍂

Hujan telah berhenti 3 menit yang lalu. Kak Adrian pulang 10 detik yang lalu meninggalkan tanya dan keterkejutan di benakku.

Bangkit lalu melangkah ke arah kasir untuk membayar makanan dan minuman yang tadi kumakan. "Mbak, tadi tagihannya sudah dibayar." Ucap penjaga kasir.

"Siapa yang bayar, mbak?" Tanyaku.

"Cowok yang duduk sama mbaknya tadi itu lo,"

"Makasih kalau gitu, mbak. Permisi," Aku lantas pamit dan pergi keluar kafe.

Pikiranku justru tertuju pada sesosok laki-laki bermata teduh yang duduk bersamaku tadi. Kak Adrian. Pastinya dia, aku kan hanya duduk dengannya. Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Kak Adrian nanti.

Bau air hujan yang berpadu dengan tanah begitu menyeruak ketika aku keluar dari kafe. Aroma petrichor yang kusukai. Aromanya sangat menenangkan bagiku.

Kuangkat sedikit gamisku hingga atas mata kaki dan untungnya aku memakai kaos kaki yang cukup panjang jadi aku tidak takut jika auratku terlihat. Hujan yang terjadi 4 menit lalu meninggalkan banyak genangan air dibeberapa tempat.

Mataku menangkap sosok laki-laki jangkung dengan jaket kulit berwarna hitam yang duduk di atas jok motor.

Kak Adrian.

Tapi untuk apa dia masih di sini? Dan sejak kapan motornya ada di samping motorku?

Dia memberikan seulas senyum padaku saat aku menghampiri motorku. "Kok belum pulang, Kak?" Tanyaku basa basi.

"Tadi masih terima telepon dari temen," Lontarnya.

Aku mengangguk paham. Korneaku justru tertuju pada gantung kunci miliknya yang berwarna silver dan berbentuk 'Salib'.

Tanganku menyodorkan selembar uang 50 ribuan padanya. Dia menatapnya seraya mengangkat sebelah alisnya. "Uang ganti karena Kak Adrian udah bayarin makan sama minumnya Sabrina," Jelasku.

"Nggak usah. Nggak apa-apa kok." Tolaknya halus.

"Tapi..."

"Anggap aja saya sedang menraktir kamu tadi," Seulas senyum ia berikan dan membuatku menundukkan pandanganku.

Kugosok berulang kali tanganku untuk membuang rasa dingin. Tadi aku sempat melihat di ponsel jika suhu udara 20° C, terlampau dingin. Kak Adrian menyodorkan jaketnya padaku. Kutatap dia dengan pandangan bertanya.

"Kamu pakai ini biar nggak kedinginan,"

"Nggak usah, Kak. Buat kakak aja," Tolakku halus.

Sebenarnya itu juga alibiku agar rasa ini tidak semakin dalam. Rasa yang tidak seharusnya hinggap di hatiku.

"Nggak apa-apa, kamu pakai aja."

Mengembuskan napas, aku menerima jaket yang Kak Adrian pinjamkan padaku.

"Saya pulang dulu. Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam,"

Masih kulihat laki-laki bermata teduh yang pergi menunggangi kuda besinya semakin menjauh lalu menhilang di tikungan ujung jalan, menyisakan seberkas luka tak kasat mata di hatiku.

Kukenakan jaket Kak Adrian kemudian menstarter motor menuju rumah Mama.

*****

Ketika Langit BersyahadatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang