7. Menghilang

85 8 0
                                    

Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan) :’Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu
[Ar-Ra’d : 23-24]

🍂

Usai kelas selesai, aku menyeret Jihan ke Fakultas Kedokteran dengan menenteng sebuah paper bag berisi jaket Kak Adrian. Aku ingin mengembalikannya.

Tadi aku sempat mengirim pesan yang berisi bahwa aku ingin bertemu dengan Kak Adrian untuk mengembalikan jaketnya. Entah dia sudah membacanya atau belum. Tapi terakhir aku melihatnya, sebelum kelas dimulai, belum dibaca. Kuharap pesan itu telah dibaca.

"Aduh, Sab, FK itu jauh loh. Kita harus lewatin Fakultas MIPA sama Farmasi dulu," Jihan mengeluh.

Kuakui jika jarak antara FK dengan FaPsi itu jauh, harus melewati Fakultas MIPA dan Farmasi dulu. Ditambah jarak antar fakultas itu 50 meter. Wajar jika Jihan mengeluh.

"Tapi aku nggak mungkin ngembaliin jaket ini sendiri,"

"Oke, aku bakal temenin kamu," Katanya yang langsung membuatku tersenyum.

Kami berjalan beriringan. Dan lagi, Jihan masih mempertanyakan keputusanku. Mungkin dia masih belum percaya pada keputusan yang baru saja kuambil.

Takdirku sudah di gariskan oleh Allah seperti ini. Menikah dengan cara dijodohkan.

Aku hanya berharap orang yang dijodohkan denganku adalah laki-laki yang baik, bisa membuatku lebih dekat dan lebih mencintai-Nya serta membimbingku ke Jannah-Nya.

Pertama, kami ke kelas Kak Adrian. Meskipun aku sangsi jika dia tidak ada di kelas mengingat Kak Adrian sudah sidang dan akan wisuda 2 minggu lagi. Namun tidak ada salahnya untuk mencoba mencari di sana. Kalau pun dia tidak ada setidaknya kami bisa bertanya pada temannya.

"Oh, Adrian, aku nggak lihat dia hari ini dan nggak tahu dia di mana." Ucap salah seorang perempuan yang baru saja keluar dari kelas Kak Adrian. Kata Jihan dia adalah salah satu teman sekelas Kak Adrian.

"Tapi coba kamu tanya ke Ammar atau Juan deh, mereka itu temen dekatnya." Katanya lagi.

"Kakak tahu nggak mereka di mana?" Tanyaku.

"Biasanya Ammar ada di rooftop fakultas kalau Juan tadi dia bilang lagi ada bimbingan sama Pak Ishaq di lab. Kimia."

Setelah mendengar jawaban, aku dan Jihan mengucapkan terima kasih lantas pergi.

"Sab, aku ke rooftop aja ya, kamu ke lab. Kimia. Aku nggak mau kalau harus berhadapan sama Prof. Ishaq," Tawar Jihan yang kutanggapi dengan anggukan.

Hampir semua mahasiswa maupun mahasiswi di sini pasti tidak akan mau jika harus berhadapan dengan Prof. Ishaq, Dosen killer yang berusia setengah abad. Sifat Beliau yang keras, keras dalam mendidik mahasiswa dan mahasiswi agar disiplin maksudku, membuat kebanyakan mahasiwa dan mahasiswi di sini takut pada Beliau.

Jihan melengang pergi begitu saja tanpa mengucap salam. Aku berdecak kesal, "Kebiasaan,".

Masih dengan menenteng paper bag berwarna toska, aku menyeret kaki ke lab. Kimia yang ada di lantai 1, itu artinya aku harus menuruni tangga untuk sampai ke sana.

Tepat di anak tangga terakhir Prof. Ishaq keluar diikuti Kak Juna di belakangnya. Cepat aku menghampiri Kak Juna sebelum dia pergi.

"Kak Juna," Panggilku yang membuatnya berhenti lalu berbalik badan. Aku mengatur nafas sejenak sesudah berhenti.

"Ada apa?" Tanyanya dengan kening mengkerut, "kamu Sabrina kan?" tanyanya lagi. Dan spontan aku mengangguk. Eh, dari mana dia tahu namaku?

"Kakak tahu dari mana kalau nama saya Sabrina?" Tanyaku heran.

Ketika Langit BersyahadatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang