1. Laki-Laki Bermata Teduh

199 12 4
                                    

Diriwayatkan oleh Hakim, Khatib, Ibnu Asakir, Dailami dan lainnya; Rasulullah bersabda;

“Barang siapa yang jatuh cinta, lalu tetap menjaga kesucian dirinya, menyembunyikan rasa cintanya dan bersabar hingga mati maka dia mati syahid.”

🍂

Hari ini, kembali Allah pertemukan aku dengannya. Dengan laki-laki bermata teduh yang namanya selalu kusebut dalam doa.

Aku sadar jika aku masih memiliki banyak kesalahan dan dosa. Tapi dengan beraninya aku meminta dia yang tampak sempurna di mataku. Entah darimana datangnya itu. Meminta pada Allah agar dialah yang menjadi imamku kelak.

Aku memang bukanlah Fatimah Az-Zahra yang mencintai Ali radiallahu'anhu dalam diam, tapi tak ada salahnya bukan jika berharap bisa seperti mereka?

"Dor!"

Suara itu dan tepukan di bahu membuatku berjengit kaget. Dan aku sudah tahu siapa pelakunya.

"Kaget ya?" Tanyanya yang kemudian disusul dengan tawa.

"Assalamualaikum, Jihan." Sindirku yang langsung membuat si empunya nama menoleh sembari nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang bersih dan rapi. "Wa'alaikumsalam, Sabrina."

Dia adalah Jihan, sahabatku. Kami bersahabat sejak aku baru bisa menulis hingga sekarang kami sudah duduk di bangku kuliah di Fakultas yang sama. Banyak orang yang bilang jika kami seperti amplop dan perangko, lengket. Di mana ada aku di situ ada Jihan. Pun sebaliknya.

"Eh, Sab, tadi kamu ikut rapat BEM kan?" Tanya Jihan yang kemudian aku jawab dengan anggukan kepala. "Ketemu sama Kak Adrian dong," Jihan menatapku dengan senyum mengejek.

"Kenapa sih, Han?"

"Kayaknya Kak Adrian itu suka sama kamu lo, Sab." Ledeknya.

Adrian.

Satu nama yang mampu menggetarkan hatiku. Laki-laki bermata teduh yang sudah lancang singgah di hatiku akhir-akhir ini.

Dulu dia adalah Wakil Ketua BEM, meskipun sudah tak lagi menjabat sebagai Wakil Ketua BEM, ia masih saja berkecimpung di dalamnya. Dan entah kebetulan atau bukan, aku juga ikut dalam organisasi BEM hingga kami sempat bertemu beberapa kali.

"Sok tau kamu!" Tanganku kembali meraih sebungkus kripik pisang yang kubeli sebelumnya. "Ini beneran, Sab. Aku selalu perhatiin kalau dia lagi ngomong atau ketemu sama kamu itu tatapannya beda."

"Makin ngaco deh kamu, Han." Bangkit dari dudukku. "Eh, mau kemana, Sab?"

"Mau ke kelas, bentar lagi kelas dimulai. Aku nggak mau nanti disuruh buat makalah 100 lembar lagi." Jawabku sambil terus berjalan.

Tidak akan ada habisnya jika aku terus meladeni ledekan dari Jihan. Meskipun aku mengAamiini semua perkataan Jihan agar semua menjadi kenyataan. Kak Adrian memiliki rasa yang sama denganku. Tapi aku tidak mau terlalu berharap pada Kak Adrian. Aku takut patah dan kecewa untuk kedua kalinya.

"Tungguin dong, Sab."

*****

Pukul 15.30, aku baru saja keluar kelas. Seharusnya sudah 30 menit yang lalu aku keluar kelas, tapi Pak Indra, Dosen yang mengajar hari ini, memberi materi tambahan dengan dalih sebentar lagi akan ada ujian. Padahal ujian masih 2 bulan lagi. Mungkin Pak Indra lupa.

"Sab, aku duluan ya, udah dijemput tuh." Pamit Jihan seraya menunjuk ke arah gerbang dengan dagunya. Dan sudah pasti ada sopirnya yang ditugaskan untuk menjemputnya.

Ketika Langit BersyahadatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang