9. Khitbah

143 7 2
                                    

Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar."

🍂


"Sabrina,"

Dia menyebut namaku, entah sengaja atau tidak.

"Loh, kamu udah kenal sama dia, Nak?" Tanya Om Lukman.

"Iya, Pa, Sabrina ini salah satu mahasiswi Gibran di Universitas yang baru Gibran ajar."

Ya, dia adalah Gibran Maulana Muhammad. Laki-laki yang tidak pernah ingin kutemui lagi. Apa sebenarnya dia sudah tahu jika kami dijodohkan, hingga dia menerima perjodohan ini? Jika benar, aku semakin tak suka padanya.

Usai itu kami makan bersama dilanjutkan dengan pembicaraan. Aku tidak terlalu suka dengan pembicaraan mereka karena aku tidak terlalu mengerti. Hanya sesekali aku nimbrung, itupun saat aku ditanya mengenai kuliahku.

Dapat kulihat dengan ekor mataku jika laki-laki itu menatapku beberapa kali, dan aku tidak suka itu. Ingin rasanya marah padanya namun aku masih ingat tempat, ada orangtuaku dan orangtuanya di sini. Terkesan tidak sopan bila aku memarahi Kak Gibran.

Sekitar pukul 21.00 kami pulang. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa besok keluarga Kak Gibran akan ke rumahku, ke rumah Abi dan Ummi maksudnya, untuk mengkhitbahku. Soal pernikahan akan di rundingkan besok.

Ketika sampai di rumah, aku langsung pamit undur diri ke kamar untuk mandi. Sementara Papa dan Ibu membicarakan semuanya pada Abi dan Umi. Aku terlalu lelah dengan semua ini.

*****

Dengan tergopoh-gopoh aku pergi ke ruangan salah satu Dosen untuk mengumpulkan sebuah esai. Jika boleh jujur, aku tidak ingin mengumpulkannya sekarang apalagi sendiri karena Jihan tidak masuk, asmanya kambuh lagi tadi pagi, ditambah lagi Dosen itu adalah orang yang tak ingin kujumpai. Namun batas akhir pengumpulan esai itu hari ini, jadi terpaksa aku mengumpulkannya sekarang.

"Assalamu'alaikum," Kuketuk pintu cokelat di depanku.

"Wa'alaikumsalam. Masuk!"

Selepas mendengar komando, aku masuk.

"Pak, saya mau ngumpulin esai yang Bapak perintahin beberapa hari lalu," Kataku seraya meletakkan dua buah esai di meja Beliau.

Kepalanya mendongak lalu sedikit terhenyak. Dia terlihat...kaget mungkin. Usai itu dia mengangguk.

"Sabrina, kamu duduk dulu. Saya ingin bicara sesuatu sama kamu,"

"Maaf, Pak. Saya harus pergi, ada urusan."

"Tapi..."

"Saya permisi, Pak. Assalamu'alaikum,"

Tanpa mendengar jawaban darinya aku melengos pergi dari ruangan itu. Berlama-lama dengannya bisa membuatku sakit dan kembali mengingat luka-luka yang telah kulupakan.

Aku tidak ingin berjumpa kembali dengannya, tapi kenapa Allah mempertemukan kami lagi?

Dan kenapa dia yang harus dijodohkan denganku, kenapa bukan orang lain?

Jika saja perjodohan ini terjadi saat aku masih mempunyai rasa untuknya mungkin aku akan sangat senang, namun ini berbeda. Rasa itu sudah lenyap, tergantikan oleh rasa benci dan kecewa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Langit BersyahadatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang