4. Menjadi Khadijah?

106 8 3
                                    

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

(QS At-Talaq [65] ayat 3)

🍂

Pagi sekali aku sudah bersiap untuk ke kampus. Ada kelas pagi hari ini. Aku turun untuk sarapan bersama Abi, Umi, dan Bang Ilham. Kusapa satu persatu dari mereka seraya tersenyum dan dibalas senyuman hangat dari mereka.

Dari awal kami sarapan hingga selesai tidak ada satu pun yang menyinggung tentang masalah semalam. Semua orang seolah tahu jika aku sedang tidak ingin membicarakan masalah semalam.

Terkadang aku sedikit iri dengan perlakuan mereka. Mereka bisa mengerti aku melebihi Papa yang notabenenya adalah ayah kandungku sendiri.

"Bi, Mi, Bang, Sabrina berangkat dulu ya," Kucium tangan kanan mereka satu persatu. "Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," Jawab mereka serempak.

"Hati-hati, Sab," Kujawab dengan acungan jempol perkataan Bang Ilham.

Aku mengendarai motor maticku dengan kecepatan sedang dan kalian pasti tahu jika sepeda motor yang kukendarai sangat lambat karena hanya 50-60 km/jam. Bisa saja aku mengendarainya dengan kecepatan 80-120 km/jam. Bukan berniat menyombongkan diri, tapi aku ingin tetap mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang berlaku.

"Pagi, Neng," Sapaan ramah itu kudapatkan dari Pak Joko, satpam kampus. "Pagi, Pak," Sapaku kembali.

Kelas sudah ramai saat aku datang. Teman-temanku sudah banyak yang datang. Mungkin sebentar lagi dosen yang mengajar juga akan datang.

Benar dugaanku, sesaat setelah aku duduk di bangkuku, tepat di samping Jihan, dosen kami datang.

*****

Aku menghela napas. Masalah semalam, tentang perjodohan itu, masih menggelayuti pikiranku sejak semalam. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya jika aku akan dijodohkan dan menikah. Bukannya aku tidak ingin menikah, aku ingin. Tapi bukan dengan cara seperti ini.

Menikah dengan orang yang kucintai dan mencintaiku. Cintanya pada Allah dan Rasul-Nya ia jadikan yang utama. Mampu membimbingku semakin dekat dengan-Nya dan menuju ke Surga-Nya kelak. Setidaknya itulah kriteria untuk menjadi calon imamku nantinya.

Bukannya menikah dengan orang yang tak kucintai dan tidak kukenal.

Aku tidak ingin menjadi anak pembangkang dan dicap sebagai anak durhaka. Tapi aku juga tidak mau dijodohkan Papa dan Ibu. Ingin rasanya aku memberontak dan berkata bahwa 'Aku tidak ingin dijodohkan' pada Papa dan Ibu. Namun tidak ada keberanian dariku untuk mengatakan itu.

"Sab, hei,"

Panggilan serta tepukan lembut di bahuku dari Jihan memutus lamunanku. Aku menoleh menatapnya dengan tatapan seakan bertanya 'Ada apa?'

Kulihat dia tampak menghela napas pelan. "Kamu mikirin apa sih, Sab? Dari tadi aku ngomong sama kamu tapi kamu malah diam aja,"

Astaghfirullahaladzim, tanpa sadar aku sudah mengabaikan Jihan.

"Maaf, Jihan," Ucapku menyesal.

"Kamu ada masalah ya, Sab? Cerita dong sama aku kalau ada masalah,"

Aku menunduk. Kuaduk avocado latte di depanku lalu menyeruputnya. Mengembuskan napas, menatap Jihan. "Aku dijodohkan, Han."

Jihan membelalakkan matanya, "APA?"

Ketika Langit BersyahadatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang