Sera mengucek matanya pelan ketika sinar matahari pagi memasuki kamar. Oh, udah pagi, batin Sera. Matanya mengerjap, meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku.
“Ma?” gumam Sera pelan ketika melihat sosok sang mama yang sedang berdiri menghadap jendela, menghalangi sinar matahari yang masih berusaha menerobos. Ella, ibunda Sera menoleh ketika merasa putrinya telah terbangun. Lagi-lagi Ella mengunjungi kamar anak semata wayangnya, hanya untuk memandangi arah luar jendela. Setiap hari.
“Gimana sayang tidurnya? Nyenyak?” Ella berjalan mendekati Sera, mengelus kepala sang putri penuh kasih sayang. Pertanyaan yang lagi-lagi sama.
Sera menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal, “Nyenyak kok, Ma. Tenang aja.” Ah, jangan lupa ucapkan terima kasih pada obatmu itu, Sera.
Usapan Ella di rambut Sera terhenti, tatapan matanya berubah sayu. Ella menatap meja belajar Sera tanpa berkedip, menatap untaian nama lengkap Sera yang menghias di sana. Ah, gue lupa hapusnya.
Ella mulai menitikkan air mata. “Andai ... Andai aja orang-orang sampah itu nggak kesini. Hidup kita nggak bakal begini, Sera.”
Kali ini Ella meraung, tangisannya semakin menjadi. “Maa ... Udah, nggak usah dipikirin lagi.” Sera memeluk Ella, menepuk bahu sang ibu pelan.
“Padahal ... Padahal Papa nggak pernah benci sama orang lain. Tapi kenapa banyak yang nggak suka sama Papa kamu, Sera? Kenapa?!”
Arrgghh, selalu aja begini. “Mereka cuma iri sama Papa, Ma. Udah ya, Mama nggak usah pikirin lagi. Biar ... biar Papa senang.” Sera menjawab pertanyaan Ella dengan jawaban yang selalu sama tiap paginya. “Jadi ... jadi Mama tenang ya?”
Kali ini tangis Ella terhenti, ia mengusap air matanya. “Mama harus tenang ya, biar Papa senang?”
Biar Papa senang. Hanya dengan kalimat itu tangis Ella setiap paginya dapat terhenti. Biar Papa senang. Ella ... Ella sangat menghargai kata-kata itu. Ah, ibundanya ini memang sangat mencintai suaminya. Sayang, nasib berkata berbeda. Mereka berdua, tak lagi bisa bersama.
Sera tersenyum masam, “Iya Ma. Biar Papa senang.”
Sera berdeham pelan. “Ma, udah jam sembilan. Sera siap-siap mau kerja,” ucap Sera ketika melihat sang mama telah tenang.
Ella mengangguk, “Iya. Yaudah Mama ke kamar dulu. Sera hati-hati.” Ella bangkit, berjalan meninggalkan kamar Sera. Menyisakan Sera yang masih duduk termenung di atas kasurnya. Sera menghela napas pelan sebelum bergegas menuju kamar mandi. Ini semua ... kapan berakhir?
***
Sera Liona G.Ah, ya begitulah deret huruf yang menguntai nama Sera dalam sebuah name tag. Name tag yang Sera gunakan saat dirinya bekerja di sebuah supermarket tempatnya bekerja paruh waktu. Sera mengamati beberapa orang yang berlalu lalang di depannya sambil mendorong troli belanja dari meja kasir tempatnya bekerja saat ini.
Coba aja, kejadian enam bulan lalu nggak terjadi. Gue nggak bakal ada di meja kasir. Tapi gue yang sibuk belanja di depan sana.
“Maaf, Mbak. Belanjaan saya jadi berapa ya?”
Astaga. Sera mengerjap. Ah, karena terlalu sibuk meratapi nasibnya yang saat ini berubah 180 derajat dari enam bulan yang lalu, Sera sampai lupa bahwa saat ini ia sedang menghitung jumlah belanjaan pelanggan supermarket.
“Oh iya Bu, maaf. Jumlahnya jadi seratus tiga puluh lima ribu.” Sera menyobek bukti pembayaran, mengambil uang yang diberikan pembeli. “Kembaliannya lima belas ribu ya Bu. Terima kasih.”
“Iya Mbak. Permisi ya.”
Sera tersenyum, “Iya Bu, silahkan. Selamat datang kembali.”
Huh. Bagian termudah dalam pekerjaan ini sebenarnya menjadi bagian tersulit bagi Sera. Disaat dirinya masih dilanda banyak masalah, ia harus selalu tersenyum di depan pelanggan. Ini semua palsu.
“Ser.”
Sera terperanjat saat mendapati Bian, sesama karyawan supermarket yang saat ini sedang berada di sampingnya, menatap Sera tajam. Bian mencebik, “Tuh kan, lagi-lagi ngelamun. Gue laporin Bu Ajeng baru tau rasa lo.”
“Ih, apasih. Gue nggak ngelamun tau.” Sera mengelak.
Bian mengangkat sebelah alisnya, “Terus?”
“Ya... ya gue cuma—“ Sera menggantung ucapannya.
“Terus apa?” Bian mendesak.
Sera mendesis, “Ssst, Bu Ajeng tuh.”
Benar saja, ketika Bian menoleh, ia melihat Bu Ajeng yang sedang membuka pintu supermarket. Sera dan Bian berusaha tersenyum seramah mungkin saat melihat Bu Ajeng berjalan menghampiri mereka, “Selamat siang, Bu,” sapa Sera dan Bian.
Mendengar sapaan itu, semua karyawan berkumpul di depan meja kasir, menyambut sang bos besar yang sedang berkunjung. Ah, Bu Ajeng ini memang bos besar yang benar-benar besar. Tampilannya yang selalu menggunakan pakaian trendi, apalagi celana leging yang membalut paha berlemaknya itu, ewhh.
Bu Ajeng melepas kacamata hitam yang menutupi mata ber-softlens biru miliknya. Tangannya bergoyang pelan, memamerkan ber gram-gram gelang emas di sana. Beliau berdeham pelan, “Okey, gimana hari ini? Ada problem?”
Kami semua menggeleng.
Bu Ajeng tersenyum, “Ah, saya selalu suka sama kerja kalian. Walaupun kalian miskin, tapi kalian tetep kerja keras. So, karena saya puas sama hasil pendapatan supermarket yang meningkat, weekend nanti kalian udah bisa dapet plus plus.” Bu Ajeng kembali memakai kacamatanya, melenggang pergi sambil menenteng tas bercorak kulit macan. Tante-tante kekinian.
Melihat Bu Ajeng yang telah pergi, semua karyawan menghela napas lega. Tak terkecuali senyum terbit di bibir masing-masing.
“Akhirnya gajian juga.” Sera mendengar gumaman pelan Bian yang berada di sampingnya. Ah, semua karyawan di sini memang punya hati sekuat baja. Mereka tetap tersenyum, menggumam kata syukur berulang kali saat mendengar pengumuman mahadahsyat tadi. Walaupun Sera yakin, semua karyawan di sini tetap merasakan cubitan tak kasat mata saat mendengar Bu Ajeng yang berucap kata miskin. Entah terlalu munafik atau berupaya menerima itu semua, kami semua tersenyum.
Sera tersenyum, “Ini saja, Bu? Ada lagi?” tanya Sera pada seorang pelanggan supermarket.
∆∆∆
Hai.
Kalau ada typo, bilang aja.ofidiest
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenity
Teen FictionKalian pernah merasa menjadi sosok ratu di dunia ini? Aku pernah. Rasanya ... menyenangkan. Harta, pesona, keluarga. Semuanya ada, tak ada rasa kurang. Menjadi sosok yang tak memiliki celah. Ah, mereka menyebutku sempurna. Tapi takdir berkata berbe...