Delapan

38 16 0
                                    

Feby baru saja mengantarkan Sera pulang lima menit yang lalu. Setelah mencekoki Sera dengan berbagai informasi mengenai seorang Gavin Nolandra–yang sebenarnya tak begitu Sera pedulikan.

Sera melangkahkan kakinya pelan berlawanan arah dengan gerbang rumahnya. Semilir angin menerbangkan beberapa helai anak rambutnya.

Langkahnya terhenti ketika kakinya menginjak dedaunan kering. Menjadi pertanda tempat yang ditujukan Sera sudah berada di depan mata. Sera mendongak. Benar saja, di hadapannya kini terpampang gedung tua. Gedung yang menjadi saksi mimpi buruknya bermula.

Di sini.

Sera melihat Papanya terbujur lemah, merintih kesakitan meminta pertolongan. Tapi ternyata orang yang selama ini dipercayai Papanya, hanya tersenyum sinis, tak rela mengulurkan tangannya untuk memberikan bantuan.

Jika saja, Sera datang tepat waktu, semuanya tak akan berakhir seperti ini. Tak ada mimpi buruk, obat-obat sialan, ibunya yang setiap hari dirundung bayang-bayang Papanya setiap mendengar namanya.

Sera mendesah pelan. Ah, lagi-lagi penyesalan itu datang.

"Hei!"

Sera mengernyit, merasa tak asing dengan suara yang kini didengarnya. Memilih mendongakkan kepala, terperanjat ketika sosok yang saat ini begitu dibencinya berdiri menjulang di seberang jalan tempat dirinya berdiri.

"Ngapain di sini?" Gavin tersenyum ramah yang dibalas Sera dengan tatapan tajam.

Merasa pertanyaannya tak terjawab, Gavin menyeberangi jalan, mendekat ke arah Sera.

"Ngapain di si–"

"Bukan urusan lo."

Gavin belum selesai mengulang pertanyaannya tadi, Sera sudah lebih dulu menginterupsi.

"Iyasih, tapi gue heran aja, ngapain cewek kaya lo gini dulu tempat sepi. Nggak takut  kenapa-napa?"

Sera memilih berlalu. Sayangnya, niatnya menghindar kini juga berakhir tak menyenangkan. Gavin mengikutinya.

"Stop,"

Gavin tak mengindahkan.

"Stop," ulang Sera, dengan volume suara lebih besar daripada sebelumnya.

Kali ini Gavin berhenti.

"Stop kenapa?"

"Ya elo di sini, diam atau pergi ke tempat awal lo tadi. Berhenti ikutin gue."

Sera mempercepat langkah.

"Gue nggak ngikutin lo, gue nemenin lo."

"Basi," ketusnya.

Gavin terus saja berjalan di samping Sera. Tak mengindahkan tatapan tajam yang sedari tadi menghujaninya.

Keduanya berjalan beriringan. Gavin bersiul pelan, menikmati semilir angin, tampak berbanding terbalik dengan Sera di sampingnya. Wajah mendung, keringat dingin, juga kepalan tangan yang masing-masing berada di kedua sisi tubuhnya.

"Oh hai, Sera. Papa kamu di dalam."

Sial.

"Entah dia masih hidup atau tidak. Saya tidak tahu," orang itu tertawa. Bagai sudah mengumumkan suatu kejuaraan membanggakan.

Jangan–

"Sera?" Papanya terbatuk. Darah.

Argghh. Stop, please!

"Jaga diri ya, Nak. Jaga Mama. Belajar yang rajin, jangan bikin Mama kecewa. Mungkin setelah ini Papa–" Kemudian hening.

Jangan lagi. Jangan sekarang. Gue mohon.

Memejam mata erat.

"Gimana Papa kamu, Sera? Sudah menjenguknya di dalam?"

Tolong.

"Hidup kalian terlalu enak. Saya yang selalu berada di bawah ketiak Papa kamu. Embel-embel jadi orang kepercayaan, nyatanya cuma jadi babu." Orang itu berdecih.

Menggeleng keras. Tidak. Tidak. Jangan sekarang.

"Sera? Ser?"

Ambulance. Suara Mama. Papa. Darah.

"Woi!" Gavin menepuk bahu Sera pelan.

Sera terperanjat. Matanya membeliak, napasnya tak beraturan.

"Hello? Are you okay?" Gavin menepuk pipi Sera pelan, yang kemudian ditepisnya kasar.

"Bukan urusan lo." Sera kembali melangkah. Meninggalkan Gavin yang masih setia dengan wajah kebingungan.

Sera ini aneh. Berhenti tiba-tiba di jalan, dengan mata memejam. Tidak hanya itu, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri dengan keras.

Ketus, aneh, ketus lagi.

Gavin menyusul Sera. "Baik-baik aja?"

" ... "

Baik-baik aja? Gara-gara lo, gue jadi inget tragedi enam bulan lalu. Gara-gara orang sejenis lo, hidup gue jadi kacau.

"Lo baik-baik a–"

"Berengsek," Sera bergumam pelan.

"Ehm, sori?"

Sera menatap tajam Gavin.

"Lo nggak usah ngikutin gue."

"Gue nggak ngikutin, tapi gue–"

"Nemenin?" Potong Sera cepat.

"Hm. Kenapa? Lo keberatan?"

Sera berdeham sebelum berujar yakin, "Banget."

Tak mengindahkan Sera, Gavin tetap setia berjalan di samping Sera.

"Omong-omong, lo tadi kenapa sih? Aneh bang–"

"Bukan urusan lo."

Ah, sepertinya hari ini Sera terlalu banyak menggunakan kosakata tersebut. Salahkan saja pada Gavin yang selalu ngotot mencari tahu.

"Emang bukan. But, gue penasaran aja. Emang kenapa sih? Lo tadi nggak kesurupan kan?"

Sera terdiam beberapa detik. Sebelum dirinya berujar di menit selanjutnya, "Gue dah mau nyampe. Lo boleh balik."

Sera melangkah cepat, berusaha sekeras mungkin untuk menghindari Gavin. Setelah dirasa jaraknya sudah cukup jauh, Sera berhenti. Membungkuk sejenak, untuk mengatur napasnya.

Mengingat kejadian beberapa waktu lalu, Sera semakin meyakini. Dia harus menghindari orang-orang berengsek. Minimal menjaga radius aman. Karena orang-orang seperti itulah yang sangat dibenci Sera.

Entah sampai kapan. Sementara atau mungkin–selamanya?

***

Typo?

SerenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang