"Feb, ayo buruan pulang."
"Bentar deh, Ser. Gue mau nyamperin Gavin dulu deh bentar. Kasih congrats lah. Tambah ganteng juga orangnya." Feby cekikikan sebelum dirinya berlari kecil menuju tempat duduk Gavin yang sudah disesaki banyak orang. Sera muak dengan ini semua. Apa bagusnya sih, cowok yang baru pulang dari studi banding?
Ah, salah.
Jika saja Sera hanya tahu fakta bahwa seorang Gavin adalah murid yang benar-benar sehabis balik dari studi bandingnya, mungkin Sera akan berperilaku sama seperti teman-temannya. Memberi selamat, memuji betapa hebatnya sang murid emas sekolah, mengajaknya ngobrol, atau lainnya.
Sayangnya, Sera melihat bagaimana Gavin yang terlihat berbeda sebelum ini. Seorang Gavin yang babak belur.
Sekolahnya mendapatkan lagi satu orang berbahaya. Seseorang yang suka berkelahi–atau tawuran? Orang berengsek yang bener-bener gak guna. Sampah masyarakat.
Mengingat itu, kepala Sera berdenyut nyeri.
Sera tau ini bukan urusannya. Hanya saja melihat banyak orang memuji-muji orang yang terlihat baik di luar tapi ternyata buruk di dalam, terlihat sangat menjengkelkan.
Pemuja buta.
Enam bulan lalu, kejadian seperti ini sempat terjadi. Sera menjadi sosok pemuja buta, tergila-gila. Tak peduli sebejat apa sosok itu seperti yang orang-orang bicarakan. Tapi Sera tak mempercayainya. Karena baginya, sosok itu adalah malaikat penolong. Tidak hanya bagi Sera, tapi bagi keluarganya.
Ssshh.
Kepala Sera semakin berdenyut nyeri. Kilasan enam bulan lalu hampir saja kembali merasuki kepalanya.
Cukup sudah. Dirinya sudah tak tahan.
Sera bangkit berdiri dari duduknya, berjalan ke luar kelas. Persetan dengan Feby yang akan kebingungan mencarinya nanti, ia sudah tak peduli.
Sera berjalan cepat menuju halte depan sekolah, ia memutuskan akan pulang sendiri hari ini. Terlalu lama di kelas, membuat kilas enam bulan lalu selalu saja berputar di dalam kepalanya, bak sebuah film.
Melihat bus biru tua yang baru saja berhenti, Sera mempercepat jalannya. Di dalam bus, keadaan tak semakin baik. Bus penuh. Sera merasa sesak. Tubuhnya terus saja mengeluarkan keringat dingin.
Sera mengambil ponsel yang berada di saku seragamnya, mau ia tetap harus mengetikkan pesan, walaupun dengan jemari gemetar.
To: Feby
Feb, gue duluan. Gak usah cari gue.***
"Bi, jagain kasir bentar. Gue mau ke toilet."
Bian yang baru saja menata rak mengalihkan tatapannya. Ditatapnya Sera lamat-lamat. Sera sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Are you okay, Ser?" Bian menyentuh kening Sera dengan punggung tangannya.
Sera menghindar, mundur dua langkah untuk menghindari uluran tangan Bian. Bian yang melihat itu hanya bisa menghela napas.
"Lo sakit?"
Sera diam. Enggan menjawab.
Bian mengusap wajah frustasi. Jika sudah begini, ia tahu temannya benar-benar tidak ingin ditanyai.
"Fine. Gue bakal jagain kasir."
Bian mengangkat box yang berisi berbagai macam stok supermarket, membawanya turut serta ke meja kasir.
Melihat Bian yang sudah berlalu, Sera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Sesampainya di sana, Sera berjalan tertatih menuju ke arah wastafel.
Sera menatap wajah pucat yang lagi-lagi tampak di cermin. Mendesah pelan, kemudian memilih membasuh wajahnya agar tampak lebih baik. Jika bisa, tentu saja.
Kedatangan–atau justru kembalinya Gavin ke SMA Tunas Bangsa nyatanya malah mengingatkan Sera akan kenangan buruknya enam bulan lalu.
Sera bergegas keluar kamar mandi dengan langkah gontai. Raganya bahkan sudah terlalu lelah untuk melangkah cepat.
"Lo boleh ngisi stok lagi. Gue yang jagain kasir," ujar Sera begitu kembali sampai di bilik kasir.
"Yakin lo? Nggak pingsan kan? Muka lo udah putih itu. Pucat banget." Bian sangsi. Jelas saja, bagaimana bisa ia yakin kepada temannya yang tampak seperti mayat hidup ini menjaga kasir?
"Iya, paling cuma tiduran bentar nanti. Bangunin aja kalau ada pelanggan," sahut Sera.
"Oke deh." Bian kembali mengangkat box yang berisi stok supermarket, meninggalkan Sera yang saat ini menelungkupkan kepalanya di meja kasir.
"Permisi, mbak."
Baru sebentar Sera berusaha untuk terlelap, tapi sebuah suara mengacaukan segala usahanya. Sera menengadahkan kepala dan terkejut di detik berikutnya.
Di seberang meja kasir, berdiri Gavin yang juga tampak terkejut. Entah terkejut melihat Sera yang notabene adalah teman sekelas dan penolongnya semalam berada di sebuah supermarket dan malah menjadi seorang penjaga kasir, atau malah terkejut melihat wajah pucat putih semua–seperti kata Bian tadi.
Gavin tersenyum, "Lo Sera kan? Yang tadi pagi di ruang kepsek sama gue?"
Sera menatap Gavin tajam. Gavin tak peduli, ia masih menampilkan senyum terbaiknya.
"Lo juga mbak-mbak semalem. Iya kan?"
"Lo jadi kasir di sini? Lo–"
"Maaf, Mas. Bisa saya hitung belanjaannya?" Sera menginterupsi ucapan Gavin. Berujar dengan nada yang ia buat seketus yang ia bisa, dengan tangan yang mengepal erat berusaha untuk mengenyahkan kilas enam bulan lalu yang kini berusaha kembali menghantuinya.
Gavin mendorong pelan tiga botol minuman bersoda yang saat ini sudah berada di atas meja dengan menggunakan jari tangannya. Mendekatkannya kepada Sera.
Sera mengambilnya cepat.
"Dua puluh tujuh ribu," tukasnya setelah mendekatkan botol minuman tersebut ke arah scanner barcode.
Mendengar itu, Gavin segera memberikan beberapa lembar uang.
"Uangnya tiga puluh, kembali tiga ribu." Sera memberikan uang kembalian kepada Gavin.
Gavin menggeleng, "Nggak usah. Ambil aja."
"Gue duluan ya. Thanks. Oh iya, btw, see you next time, Sera." Gavin tersenyum, lalu bergegas meninggalkan supermarket.
Sera yang ingin menolak kembalian, seketika mengurungkan niatnya.
Sera terduduk lemas di kursi kasir. Bagaimana bisa ia akan tenang di sekolah jika Gavin berada di sana? Bagaimana ia bisa tetap damai duduk di balik meja kasir tanpa merasa gelisah jika sewaktu-waktu Gavin datang?
Satu yang ia tahu, Gavin benar-benar mimpi buruk.
***
Lagi-lagi, tolong cek ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenity
Teen FictionKalian pernah merasa menjadi sosok ratu di dunia ini? Aku pernah. Rasanya ... menyenangkan. Harta, pesona, keluarga. Semuanya ada, tak ada rasa kurang. Menjadi sosok yang tak memiliki celah. Ah, mereka menyebutku sempurna. Tapi takdir berkata berbe...