Dua

78 20 2
                                    

“Pagi, Ma.” Sera mengecup pipi pucat mamanya. Senyum tersungging di wajah cantik Sera. Dia merasa senang tidak melihat sang mama berdiri di depan jendelanya tadi pagi. Walau ia yakin hanya sementara,  tapi setidaknya mood mamanya saat ini cukup baik.

“Hai, Sayang. Gimana belajarnya semalem? Masih bingung?” tanya sang Mama sambil memberikan sarapan untuk Sera.

Sera menambil roti tawar buatan Ella, “Ah, udah enggak kok, Ma. Semalem udah browsing sama tanya guru les Sera dulu." Sera meminum susu putihnya, “Rotinya enak, Ma. Mama beli merk yang beda lagi ya?”

Ella yang sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri menoleh ke arah putri semata wayangnya, “Iya. Kenapa? Enggak enak? Kalau nggak enak buat Mama aja, jangan dibuang ya, mubazir.”

Sera menggeleng, “ Enggak, Ma. Rotinya enak kok.” Sera mengambil gelas susu yang isinya tinggal setengah dan meneguknya habis.

“Mama gimana semalem? Bisa tidur?” tanya Sera. Dirinya harap-harap cemas, semoga saja mamanya mendapat cukup tidur semalam.

“Mama bisa tidur kok. Cuma kadang bangun sendiri kalau keinget sama Papa.”

Sera tersenyum kecut.

Drrtt... drrtt...

Sera yang merasakan getaran di ponselnya segera mengangkat panggilan tersebut saat dilihatnya nama Feby yang tertera di sana. “Sera udah dijemput sama Feby, Ma. Sera berangkat dulu ya.” Sera mengecup kedua pipi mamanya sebelum melenggang pergi.

Feby, sang sahabat kini telah menunggu di depan  rumah bersama mobil pink kesayangannya. "Hai,  Feb."

Feby yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya menoleh ketika mendengar suara Sera. "Oh, hai juga,  Incess." Feby nyengir. "Diliat-liat lo tambah cantik aja. Bikin ngiri deh." Kali ini Feby cemberut, sesekali mendecak kesal.

Sera mengedik, "Yaah, mau gimana lagi? Udah dari sananya. Cuma sayangnya, incess lo satu ini sekarang bukan Incess emas lagi."

Mendengar itu, Feby terdiam cukup lama. Dia paham betul apa makna kata emas yang Sera maksud.

"Gak usah bahas itu lagi bisa, Ser?  Kok lo jadi minder gini sih orangnya? Kasian nyokap lo kalo dia tau ternyata lo jadi gini." Feby berujar tegas.

"Iya deh, iya."

Feby menginjak pedal gas,  mobil pink miliknya kini sudah meninggalkan pelataran rumah Sera.

***


"Sera!"

Sera mempercepat langkahnya. Tak memperdulikan seseorang yang sedari tadi memanggil namanya.

"Ser! Berhenti dong, please!"

Lagi-lagi Sera tak peduli. Dia tak mau bersusah-susah membalikkan tubuhnya hanya untuk meladeni sosok yang menjijikan yang saat ini sedang mengejarnya itu.

"Ser!" Langkah Sera terhenti ketika tangannya ditarik oleh cowok yang sedari tadi memanggilnya.

Sera masih tak memperdulikan cowok itu,  dirinya kini beralih menatap Feby, "Feb, lo duluan aja. Gue masih ada urusan."

Feby menatap Sera sekejap, "Oke."

Sera kini ditarik menuju ke tengah lapangan. Sesampainya disana, cowok tadi memanggilnya pelan, "Ser."

Sera menatap lawan bicaranya, "Apa?" Sera berujar dingin, matanya menatap sengit, bibirnya bergemeletuk menahan amarah.

"Gue ... Gue mau minta maaf."

Sera sabar, oke?

"Masih bisa lo nunjukin muka lo di depan gue? Bisa gitu minta maaf?  Setelah apa yang lo lakuin ke gue?"

Sosok di depannya kini menggenggam tangan Sera,  membungkuk dengan menjadikan salah satu lututnya menjadi tumpuan.

"Gue nggak niat selingkuh dari lo,  Ser. Loli yang waktu itu deketin gue. Cuma ... waktunya aja yang nggak tepat. Lo jadi salah paham sama gue." Mata cowok di depannya kini memerah. Sempat berpaling sedikit,  kemudian kembali menatap Sera dalam-dalam.

Sera muak.

"Jadi, please maafin gue. Gue nggak mau kita putus," ucap cowok itu sedikit bergetar.

Cukup sudah. Sera tak tahan.

Sera menendang dada cowok itu hingga tubuhnya terlentang. Dia tak peduli tatapan orang-orang yang saat ini melihatnya dari pinggir lapangan. Kakinya menginjak cowok itu, bibirnya masih bergemeletuk. Sera menatap cowok itu tajam, "Leon. Lo ngomong apa pun ke gue,  nggak bakal ngaruh. Gue nggak peduli. Lo pikir gue percaya sama omongan lo?"

"Ser ... Gue—"

Sera semakin menekan injakannya,  tak membiarkan  Leon berbicara.

"Kita semua tau lo itu playboy di sini. Lo masih mau ngelak? Berapa cewek yang udah lo siksa? Banyak! Dan lo,  masih mau bilang itu cuma salah paham gue yang liat lo berduaan sama Loli?"

Sera mendecih, "Lo itu basi tau nggak? Orang gak guna kaya lo, yang bisanya cuma bikin orang lain sakit. Mending pergi aja deh, jangan balik-balik." Sera melepas injakannya pada Leon. Melihat Leon yang berusaha bernapas normal membuat Sera tersenyum sinis.

Sera melenggang pergi. Namun, belum sampai ia melangkah, sebuah suara membuat dirinya harus kembali menahan amarah.

"Lo tuh sekarang miskin! Nggak usah belagu deh!"

Sera memutar tubuhnya. Leon benar-benar cari mati. Sera kembali berjalan menuju Leon yang saat ini masih tersengal-sengal.

"Sampah kaya lo nggak berhak ngehina gue. Sekarang gue emang miskin, tapi setidaknya gue bukan lo yang brengsek main cewek sana-sini. Gue masih punya harga diri."

Rahang Leon mengeras. Melihat itu Sera tersenyum sinis. "Jadi nggak usah belagu," ujar Sera lirih.

"Gue nyesel pernah pacaran sama bangke kaya lo." Untuk terakhir kalinya,  Sera menginjak kaki Leon keras-keras. Membuat sang empunya kaki mengaduh.

Sera melenggang pergi menuju kelas. Meninggalkan lapangan yang saat ini masih menyisakan sorak-sorai mengenai tingkahnya tadi.

Sera Liona berani mempermalukan sang most wanted SMA Tunas Bangsa.

Mungkin itu hot issue yang saat ini beredar. Ah, lagi-lagi Sera tak peduli. Dirinya tetap melangkah menuju kelas,  melihat Feby yang sudah duduk di samping kursi miliknya.

"Jadi gimana?  Udah beres ngurus tuh curut satu?" tanya Feby.

Sera menjentikkan jarinya,  tersenyum pongah, "Beres."

"Ser."

Sera menatap Feby, "Kenapa?"

Sera melihat Feby menggeleng pelan, "Kabar buruk, " Feby menjeda ucapannya sebentar.

"Ada guru baru lagi, " lanjutnya.

Sera menghela napas pelan, "Entar. Biar gue yang urus."

∆∆∆

Kritik saran pleasee.
Thank you.

ofidiest.


SerenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang