Tiga

55 17 0
                                    

"Selamat siang."

Sapaan tegas dan tenang dari seorang guru membuat kelas IPA 11.2 seketika hening. Semua murid menoleh ke arah depan kelas.

Guru baru lagi, eh?

"Selamat pagi." Seluruh murid membalas sapaannya.

"Mohon maaf sebelumnya, saya rasa ini akan memotong jam pelajaran kalian. Perkenalkan nama saya Bu Widi, guru mata pelajaran fisika kelas 10 dan 11 IPA," ujar Bu Widi penuh penekanan.

"Berhubung saya menjadi guru fisika baru di sekolah kalian, saya harap kalian akan selalu menaati segala peraturan di jam pelajaran saya." Bu Widi diam sejenak.

Matanya bergerak liar menatap ke seluruh penjuru kelas kemudian berdeham pelan.

"Pertama, gak ada handphone,"

Ayla yang sedang curi-curi waktu mengetik pesan, seketika gelagapan. Melihat ke arah Bu Widi yang sedari tadi belum mengalihkan tatapan darinya.

"Kedua," jeda Bu Widi sebentar. Matanya kembali menjelajah, "Gak boleh tidur."

Seketika semua mata siswa membelalak terbuka.

"Ketiga, deadline tugas harus tepat waktu, gak boleh telat. Daaan keempat, semua murid harus selalu patuh sama saya. Mengerti?"

"Mengerti, Bu."

"Baik, akan saya absen dulu."

Bu Widi mengambil buku absensi kelas. Melihat itu, Sera menghela napas. Ah, dilihat-lihat guru barunya itu adalah guru muda yang banyak mau. Ini bakal susah.

Alin Biantara

Arimbi Lintang

Barliana Putri Persada

Satu. Dua. Tiga. Empat.

Sera menghitung dalam hati. Harap-harap cemas.

Sepuluh. Sebelas. Dua belas.

Feby Anastasya

Sera yang melihat Feby mengacungkan jarinya menjadi semakin gusar.

Gino Satria Atmaja

Iris Gisela Alista

Dua puluh. Dua puluh satu. Dua puluh dua.

Sandra Disti Ifana.

Dua puluh lima.

Sera menahan napas.

"Sera Liona Ga-"

"Sera Liona G," potong Sera cepat.

Bu Widi mengangkat wajah, menatap Sera bingung. "Maaf?"

"Sera Liona G, Bu. Ge." Sera menekankan ucapannya.

"Tapi di disini tertulis Ga-"

"Saya bilang Ge ya Ge, Bu!" potong Sera, lagi.

Bu Widi mengangkat sebelah alis. Menatap salah satu muridnya itu.

"Gabriella?"

Semua murid terkejut.

Berani-beraninya guru itu menyebut nama terakhir Sera. Ah, dilihat dari wajahnya yang merah padam, sepertinya Sera akan mengamuk. Semua anggota IPA 11.2 paham bagaimana reaksi Sera jika mendengar nama itu.

Sera menggeram. Astaga. Guru kolot ini benar-benar.

"Bisa Bu Widi hanya menyebutnya Ge?" Kali ini Feby yang angkat bicara.

Bu Widi berjalan mendekati tempat duduk Sera, "Loh, memang kenapa? Nama kamu kan memang begitu. Saya hanya membaca apa yang tertulis di buku absensi."

Sera menatap Bu Widi. Berusaha menahan dirinya agar tak segera mengamuk. "Bu Widi, saya cuma minta sama Ibu buat nggak nyebut nama terakhir saya. Apa susahnya sih, Bu?" Sera berujar tertahan. Matanya menyalang tajam. Dia benar-benar tak suka nama belakangnya disebut. Hanya baru-baru ini.

"Bu Widi minta kita semua buat nurutin semua kata Bu Widi. Tapi Bu Widi aja cuma disuruh bilang Ge aja susah banget. Saya bisa laporin Ibu ke kepala sekolah dengan tuduhan ketidaknyamanan saat belajar mengajar dengan Ibu."

Sera melanjutkan, "Jadi, Ibu milih ngelanjutin absensi dengan menyebut nama belakang saya Ge atau saya laporin ke kepala sekolah?"

Bu Widi menatap ke arah Sera. Muridnya ini sepertinya tidak main-main. Memilih aman, Bu Widi kembali ke depan kelas. Dia kembali membuka absensi kelas, "Nomor dua puluh lima," Bu Widi menjeda ucapannya sebentar, "Sera Liona Ge."

Mendengar itu Sera tersenyum, begini lebih baik. Sera mengangkat tangannya.

Karena nyatanya, bukan hanya Ella yang tidak mau mendengar nama itu. Dirinya juga. Dia tidak mau rasa sakit hari itu terngiang-ngiang. Dia memang munafik. Lebih munafik daripada teman-teman supemarketnya.

***

"Sera pulang." Sera berjalan gontai menghampiri sang mama yang sedang menonton televisi. Hari ini begitu melelahkan. Dimulai dari guru kolot, sampai tugas yang tak ada henti-hentinya.

Senyum tersungging di bibir pucat Ella, "Capek, Sayang? Kamu istirahat dulu. Kamu ada tugas?"

Sera menggeleng lemah. Tugas yang diberikan guru-gurunya tadi siang sudah ia kerjakan sepulang sekolah tadi. Jika ia mengerjakan di rumah, sudah jelas tugas itu tidak akan pernah dikerjakan.

"Kamu nanti kerja lagi?"

Sera berusaha menguntai senyum, "Iya, Ma. Minggu depan Sera udah gajian. Jadi harus rajin-rajin berangkat."

"Ya udah. Kamu istirahat sekarang."

Sera berjalan pelan menuju kamarnya. Setiap hari, dirinya selalu merasa lelah seperti ini. Andai saja Sera tak sekuat tadi, mungkin saja ia sudah gila berbulan-bulan yang lalu.

Sesampainya di kamar, Sera melepas seragam yang masih dikenakannya. Lebam biru tercetak samar di lengan kiri atas. Sepulang sekolah tadi, Sera sempat diserempet motor, alhasil spion motor itu menyenggol lengan atasnya.

Selesai berganti pakaian, Sera berjalan menuju ke tempat tidur. Mencoba terlelap.

Please, sekali ini aja biarin gue tidur tanpa obat sialan itu. Gue mohon.

∆∆∆

TBC.

ofidiest.

SerenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang