Sebelas

67 5 4
                                    

"Tau nggak sih? Kemarin kan ya, gue lihat Sera ke mall. Buseeetttt, barang-barang yang dia pake itu ori semua, Coiiii!" Cewek ber-name tag Dela Ardesta tersebut memilin rambutnya pelan. Polesan make up—yang sebenarnya dilarang oleh sekolah—terpoles sempurna di wajah oval miliknya.

"Kemarin juga waktu gue mau pulang dari sekolah kan ya, gue ngelihat Sera nolak Geri di parkiran. Geri loh inii, kapten futsal sekolah kitaa. Omaigaattt!" Teman Dela, Kia, yang tak pernah absen memules kuteks berwarna terang semerah darah di kuku panjang miliknya—yang lagi-lagi sebenarnya dilarang oleh sekolah—menyahut pelan, walaupun di akhir kalimat, berujar histeris.

"Kalo itu mah udah nggak kaget lagi gue. Sera kan emang terkenal nolak cowok. Geri sih belum seberapa, itu loohh si Leon bahkan katanya udah ditolak lima kali sama si Sera," Orang ketiga sekaligus terakhir, Inessa yang lebih sering dipanggil Ine, menyahut pelan.

"Eh masaa sihhh? Mental baja banget tuh si Le—EH ITU SERAA!" Kia memekik histeris. Membuat kedua temannya gelagapan.

Ketiganya beranjak menuju tempat Sera berada. Penggosip ulung di belakang, namun harus tetap jadi teman paling perhatian dong kalau di depan? Itulah motto tiga serangkai Dela-Kia-Ine, yang kini berlarian heboh menuju tempat Sera memakirkan mobilnya.

Sebenarnya, hari ini tidak ada acara khusus, hanya hari sekolah biasa. Tapi ya, bagi penghuni SMA Tunas Bangsa, acara penyambutan Sera Liona di pagi hari sebelum pelajaran berlangsung layaknya peraturan tak tertulis yang secara tak resmi dibuat oleh siswa-siswi SMA Tunas Bangsa.

Mungkin bagi mereka yang mengagumi sosok Sera Liona, peraruran tersebut dijadikan hukum wajib.

"Pagi, Sera."

"Iya, pagi."

"Kemarin kamu menang Olimpiade lagi ya? Pasti di kasih hadiah sama papa lo lagi."

"Enggak, kok."

"Papa lo pengusaha yang kaya banget itu bukan sih? Galih Brian 'kan?"

Sera mengerjap matanya pelan, menguak kepingan memori dalam ingatannya. Dia begitu populer dulu—ah sebenarnya sekarang juga masih—tapi tidak dianggap se-wow itu.

Tapi kini dia tau, kepopulerannya juga karena nama papanya yang menjadi pengusaha terbesar se-Nusantara. Papa yang sangat disayanginya. Tapi sayang seribu sayang, kebahagiannya dan kepopulerannya, kini lenyap tak bersisa.

Iya karena orang nggak tau berterima kasih. Orang yang berengsek. Orang yang sukanya mukulin orang lain.

Kaya ...  Gavin?

Tapi lo nggak bisa berspekulasi kaya gitu kali, Ser. Lo yakin dia habis tawuran, habis mukul orang kaya apa yang lo bilang itu dari mana?

Nggak mungkin kan—

Lo nggak mikir hal lain selain dia jadi pelaku misalnya?

Terus, jadi apa? Nggak mungkin kan, Gavin jadi—

Kalau sebenarnya dia itu korban, dia yang dipukulin, bukan dia yang mukulin gimana?

Arrgghh, Feby sialan! Sera memejamkan matanya pelan. Napasnya menderu-deru, giginya bergemeletuk tak karuan. Ia mencengkram benda di tangannya kuat-kuat, menghentaknya keras. Berengsek!

"SERA YA AMPUN. LO NGAPAIN SIH?!" Feby menarik tangan Sera. Membuang jauh-jauh benda yang berada di genggaman tangan sahabatnya. Napasnya tak beraturan, di tatapnya telapak tangan kanan Sera yang kini berlumuran darah.

Sera gelagapan. Menatap tangannya yang sudah dalam kondisi tak baik. Tangan kirinya gemetar pelan. Menoleh pelan ke arah di mana benda yang dibuang Feby berada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SerenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang