"Gak bawa payung lagi, Ser?"
Sera yang baru saja sampai di supermarket terkejut mendapat pertanyaan dari Evan, rekan supermarketnya.
Sera menunduk, menatap baju kerjanya yang saat ini hampir basah kuyup. "Ah, iya. Gue lupa."
"Jangan kebiasaan hujan-hujanan, Ser. Kalau nggak bawa payung, ya bisa teduh dulu. Hujan-hujanan bisa bikin demam. Apalagi lo kebiasaan di AC."
Sera mengangguk, tak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Sungguh, saat ini ia sedang tak memiliki mood. Bahkan hanya untuk berbicara sekalipun. "Gue ganti baju dulu."
Sera berjalan menuju lemari yang memang di khususkan untuk tempat cadangan baju. Ia mengambilnya satu dan segera menuju kamar mandi.
Selesai berganti baju, Sera menuju wastafel untuk membasuh mukanya sebentar. Menatap wajah pucatnya di cermin. Tangannya meraba bagian bawah mata yang semakin menghitam. Dia gagal tidur lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Sera?"
Sera yang melihat bayangan Bian di cermin segera membereskan barang-barang miliknya. "Oh, hai Bi." Sera berusaha tersenyum.
"Kenapa? Ada masalah lagi?" tebaknya.
Sera menggeleng, "Enggak."
"Beneran?"
Sera mengangguk pasti, "Iya, Bi."
"Gue duluan, Bi."
Sera berjalan meninggalkan bilik kamar mandi. Meletakkan tasnya di dalam loker pegawai dan segera menuju ke bagian kasir.
"Gue udah selesai. Lo udah boleh pulang."
Sera mengedikkan dagunya ke arah pintu, mengisyaratkan agar Evan segera pergi.
"Lo keliatan capek gitu. Mau gue temenin?"
"Ini udah shift gue. Lo boleh pulang."
"Gue cuma niat bantuin." Evan mengedik, "Tapi kalau lo nggak mau, ya udah."
Evan meninggalkan bilik kasir, membiarkan Sera menempatinya.
"Jangan terlalu memforsir tubuh. Lo bisa drop nanti." Evan mengingatkan. Dirinya kini sudah berada di ambang pintu.
Sera mengangguk sekenanya, "Oke."
Tak lama setelah Evan pergi, Bian kembali dari kamar mandi, "Evan pulang?" tanyanya
"Hm. Baru aja."
"Ser, gue mau cerita."
Bian menumpukan kepalanya dengan satu tangan, menjadikan wajahnya menghadap ke arah Sera, "Bokap gue tadi pulang."
"Dia ngambil duit yang sebulan ini gue tabung terus pergi lagi. Padahal niatnya itu mau buat bayar sekolah Riko." Bian menghela napas.
Sera menatap Bian prihatin. Temannya ini menanggung beban yang sangat berat. Harus membayar sekolahnya dan sekolah adiknya, Riko. Ibunya meninggal setengah tahun lalu. Dan ayahnya, selalu meminta uang kepada Bian entah untuk apa.
"Lo udah nyari tau, duit yang bokap lo ambil itu buat apa?"
Bian menggeleng, "Gak guna juga kalau gue cari tau, Ser. Sekalipun gue tau tuh duit buat apa, gue juga nggak bakal bisa larang bokap gue. Akhir-akhir ini dia jadi tambah tempramen, takutnya nanti Riko dia apa-apain."
"Lo udah nggak punya uang lagi emang?"
"Ada sih. Tapi itu aja cuma sedikit. Makanya gue sekarang mau tambah rajin lagi kerjanya. Siapa tau nanti gue dapet tambahan."
Bian menegakkan tubuhnya, "Gue mau beresin rak dulu deh." Bian bangkit, meninggalkan Sera yang masih terpaku menatap punggung Bian.
Rasanya... Dia begitu benci dengan laki-laki brengsek seperti itu. Laki-laki yang gak guna dan hanya bisa kasih beban buat orang lain, mereka sepantasnya gak ada. Bener-bener gak ada.
***
Sera berjalan pulang ke rumah. Malam ini jalanan cukup lengang. Jejak hujan tadi sore pun masih membekas. Benar-benar malam yang tenang.
Beberapa kali Sera berhenti berjalan hanya untuk mengistirahatkan tumitnya yang terasa pegal. Walaupun sudah enam bulan berjalan, tapi tetap saja rasanya masih belum terbiasa. Maklum, selama hampir 17 tahun hidupnya, Sera tak pernah berjalan kaki. Hanya saja kejadian tak terduga enam bulan lalu harus membuat Sera mau tak mau harus berjalan. Benar kata Leon, dirinya saat ini menjadi miskin.
Sera yang menatap jalan di depannya seketika menyipitkan mata saat melihat bayangan hitam di bawah remang lampu jalan. Bayangan itu tampak bergerak, terlihat membungkuk. Semakin Sera berjalan, bayangannya semakin jelas.
Ternyata ... Cowok?
Sera tetap berjalan, mencoba tak peduli saat jaraknya dengan cowok itu semakin dekat.
Namun buruknya, cowok itu menyadari keberadaan Sera.
"Mbak!" teriaknya memanggil Sera.
Mau tak mau, Sera berhenti berjalan. Menoleh ke arah cowok tadi.
Menggaruk tengkuknya sebentar, "Maaf, bisa minta bantuan?" Dagunya mengedik ke arah motor di depannya, "Mogok."
Sera masih bergeming. Cowok di hadapannya ini sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Lebam biru di sudut bibir, baju lengan atas yang tampak banyak bercak darah, bahkan bekas luka mengering di pelipis.
"Saya nggak paham otomotif."
Cowok itu terkekeh, "Bukan, maksud saya itu bisa bantuin kasih arah ke bengkel yang deket daerah sini apa enggak. Saya juga tau kok mbaknya nggak paham otomotif."
"Jadi, mbaknya tau bengkel di deket sini?"
"Saya nggak tau masih buka apa enggak. Tapi kalau mau, tinggal lurus aja, nanti Belokan kedua terus belok kanan. Cuma agak jauh kalau dari sini."
Sera kembali berjalan. Lebih baik dia segera pergi.
"Mbak!"
Sera lagi-lagi berhenti. Mau cowok ini sebenarnya apa sih?!
Dirinya memutar tubuh, kembali menatap cowok tadi yang saat ini menguntai senyum manis.
"Makasih ya," ujarnya.
Sera mendengus. Tak membalas ucapan terima kasih itu, dirinya kembali berjalan.
Cowok itu sepertinya sehabis berkelahi. Atau mungkin tawuran? Dilihat dari seragam yang masih dikenakannya, cowok itu masih SMA. Seragam yang samar-samar Sera kenal.
Ah, tapi Sera tak peduli.
Karena baginya, cowok yang suka berantem itu, cowok brengsek. Dan cowok brengsek, harus dijauhi.
∆∆∆
Sera, yaampun Ser.Oh iya, cek ya. Kalau ada yang salah gitu, typo, EBI kurang tepat, apalah.
Sankyu.
ofidiest.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenity
Teen FictionKalian pernah merasa menjadi sosok ratu di dunia ini? Aku pernah. Rasanya ... menyenangkan. Harta, pesona, keluarga. Semuanya ada, tak ada rasa kurang. Menjadi sosok yang tak memiliki celah. Ah, mereka menyebutku sempurna. Tapi takdir berkata berbe...