Pagi ini SMA Tunas Bangsa sudah cukup ramai ternyata. Sera mengecek riasan tipis di wajahnya sekali lagi, sebelum dirinya membuka pintu mobil.
Sera harus terlihat seperti Sera biasanya. Sera yang terlihat wow. Bukan Sera yang terlihat seperti zombie berjalan. Bukan Sera yang terlihat mempunyai lingkaran hitam di bawah matanya. Bukan lagi Sera yang memiliki bibir pucat.
Make up miliknya memang kadang berguna disaat genting seperti ini.
Sera melangkah mendekati Feby yang sudah lebih dulu turun.
"Ayo buruan, Ser!"
Sera menghela napas sekali, segera menyusul langkah Feby di depannya.
"Oh iya, Ser. Semalam Gavin minta nomor lo ke gue. Kasih nggak?" Sesampainya di kelas, Feby memperlihatkan roomchat-nya dengan Gavin.
Benar saja, di sana tampak jelas seorang Gavin meminta nomor ponsel Sera.
"Nggak deh. Gue nggak kenal dia. Baru tau aja kemarin," ujar Sera kalem.
Tak sadar apa yang dia ucapkan, ternyata membuat Feby menatap Sera tak percaya.
"Lo serius tau Gavin baru kemarin? Bener-bener kemarin itu? Sumpah?!"
Sera tak menjawab. Ia memasang earphone di kedua telinganya. Tak peduli dengan Feby yang sedari tadi menggoncang bahunya.
"Ser! Ih jawab dulu!" desak Feby.
Sera mengalah. Ia melepas earphone nya, menatap Feby datar.
"Apa?"
"Lo tau Gavin bener-bener kemarin itu?Seriusan?"
Sera mengangguk.
"Lo kebangetan sumpah."
"Emang nyatanya gue enggak kenal sama dia. Lah kenapa? Penting emang?"
Feby mendecak, "Orang yang mendapat hak istimewa dari sekolah ini cuma dua. Lo sama Gavin. Lo masa nggak tau sih? Apa jangan-jangan lo nggak tau juga kalau yang dapet itu ada dua orang?" Mata Feby memicing menatap Sera.
"Gue tau. Tapi nggak tau kalau namanya itu Gavin. Toh, dia emang nggak pernah kelihatan kan?"
Feby mengusap wajahnya frustasi. Temannya satu ini memang benar-benar. "Itu karena dia studi banding, bego!"
"Iya iya. Kenapa sih emang? Dia orang penting?"
Cih, boro-boro orang penting. Orang gak guna mah iya.
"Penting," ujar Feby yakin.
Merasa tertohok, Sera mengangkat sebelah alisnya. Seakan bertanya, seriusan nih? Orang kaya gitu dibilang penting?
"Pentingnya seberapa?"
Cuih. Cuih. Cuih.
Bukan bermaksud penasaran. Sera hanya memastikan. Apalagi orang 'penting' yang menjadi topik pembicaraannya dengan Feby pagi ini, nyatanya menjadi mimpi buruk bagi Sera semalam. Mimpi buruk yang terburuk.
Sesorang yang membuat kilas balik enam bulan lalu terbayang lagi di pikirannya. Seseorang tak beretika, tak berguna, sampah masyarakat yang sama seperti orang itu.
"Pulang sekolah deh gue bilangin. Udah banyak yang dateng nih," ujar Feby.
Sera melirik sebentar ke arah pintu yang mulai memunculkan teman-teman sekelas mereka. Mengedik tak peduli.
See? Mari kita tunggu waktu pulang sekolah. Kita lihat, seberapa pentingnya orang-orang tak berguna seperti itu. Benar-benar penting, atau nyatanya menjadi orang yang sok penting.
***
Siang ini sepulang sekolah–seperti yang Feby katakan–akan memulai cerita panjang yang sungguh tak penting menurut Sera.
Keduanya kini duduk sila berhadapan di atas tempat tidur milik Feby. Dengan Sera yang sedari tadi menguap malas, berbanding terbalik dengan Feby yang menggulir layar ponselnya antusias.
"Namanya Gavin Nolandra. Ehmm... Bentar."
Sera menatap jengah Feby yang saat ini sedang sibuk membaca wacana mengenai seorang Gavin, mungkin memilah informasi mana yang akan ia beritahu kepada Sera–yang lagi-lagi Sera yakini tak penting.
"Ulang tahun tanggal 25 November. Punya dua adik, cewek sama cowok. Bokapnya arsitek terkenal, nyokapnya IRT, tapi punya butik yang dikelola sama tantenya Gavin."
Sera melirik jemari Feby yang saat ini menggulir situs website sekolah.
"Nih, biografinya Gavin. Gavin itu dari semasa sekolah kanak-kanak, dia selalu mendapat peringkat teratas. Pernah ikut studi banding dua kali. Di SMP nya sama di SMA kita. Gavin dapet beasiswa penuh selama sekolah di SMA kita, sama kayak lo. Nggak cuma akademiknya aja sih, prestasi non-akademik nya Gavin juga bejibun. Futsal sama karate. Dia pernah jadi juara karate tingkat nasional." Feby menjeda ucapannya sebentar.
Sera menatap Feby datar. Ibu jari Feby terus saja scroll halaman website sekolah.
Gavin yang itu. Gavin yang menang ini. Yang juara itu. Ah bodo!
"OH MY GOD!" teriak Feby tiba-tiba.
Sera mengangkat sebelah alisnya. Kira-kira berita nggak penting apalagi yang sahabatnya bawa.
"GAVIN BELUM PERNAH PACARAN! Sumpaaahhh ini berita hot, Ser!"
Benar kan?
Nggak penting.
"Oh. Terus?" Sera berujar datar. Menatap Feby dengan pandangan tak minat.
Feby berdecak. Merasa gemas sendiri akan respon yang diberikan Sera.
"Gini looh, lo nggak ngerasa heran aja gitu? Secara kan ya, dia itu ganteng abis, pinter, kaya lagi. Baik banget lagi."
Sera mengedikkan bahu, "Udah takdir kali."
Feby memutar bola matanya, "Iyadeh."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Serenity
Teen FictionKalian pernah merasa menjadi sosok ratu di dunia ini? Aku pernah. Rasanya ... menyenangkan. Harta, pesona, keluarga. Semuanya ada, tak ada rasa kurang. Menjadi sosok yang tak memiliki celah. Ah, mereka menyebutku sempurna. Tapi takdir berkata berbe...