[05] Di Halte Bus dan Depan Gedung

319 44 3
                                    

Hari-hari selanjutnya dalam kehidupan Aaron adalah hari-hari yang biasa dan membosankan. Bangun pagi - pergi kuliah atau sekolah - pulang - tidur. Hanya itu saja, dan terus ia ulang selama sekitar enam tahun hidupnya. Sebelumnya, hidup sehari-harinya terasa menyenangkan. Selalu ada waktu bermain di sela-sela waktunya. Bermain bersama enam sahabatnya. Namun, itu adalah dulu dan rasanya mustahil hal-hal itu akan terulang lagi.

Benar kata orang, masa lalu kadang sangat berharga. Terlalu berharga, terlalu indah, hingga kita sendiri takut untuk mengingatnya. Karena setiap saat mengingatnya membuat dada kita bergejolak dan terus merindukan masa lalu yang sudah berlalu itu.

Setelah hari itu—hari di mana Aaron pergi ke lapangan untuk menepati janjinya, tidak ada yang berubah di hidupnya. Hidupnya begitu-begitu saja. Flat. Sampai kadang, ia bingung apa yang harus ia kerjakan, sebab ia tidak tahu apa kesukaannya dan apa yang perlu ia perjuangkan saat ini. Saat ini, ia hanya perlu kuliah, lulus, bekerja, dan bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa meminta bantuan orangtuanya. Tidak ada hal yang ia inginkan. Apapun.

"Ron, lo ke parkiran kagak?"

Aaron yang masih merampungkan tugas kelompoknya, mendongakkan kepalanya. Lalu, sedetik kemudian ia menggeleng. "Nggak. Nanti aja, gue sendiri. Lo duluan aja."

"Yaudah ya, gue duluan. Itu tinggal dikit doang kok. Hati-hati sekarang mau jam lima."

"Iya, santai. Percuma, gue gak takut sama begituan."

"Yaudah sih, gue cuma memperingatkan doang. Yok, gue duluan."

"Oke, hati-hati."

Ditemani dengan Aice rasa semangka di tangannya, Aaron terus merampungkan tugasnya. Ruang kelas sudah sepi dan ia tidak peduli pada rumor-rumor tentang banyaknya penunggu di kampusnya. Kata teman-temannya yang lain, penunggu itu biasanya menampakkan dirinya sekitar pukul lima sore. Dan saat itu, Aaron sendirian di kelas pada pukul lima sore.

Brak!

"Anjing."

Aaron langsung mengumpat ketika mendengar suara replika palu dan timbangan hakim-simbol keadilan jatuh di belakangnya. Niat awalnya yang tidak akan merasa takut akan apapun menjadi goyah. Bulu kuduk di sekujur tubuhnya mendadak langsung berdiri, membuat perasaannya tidak enak dan ia jadi parno sendiri. Benci untuk mengakui, tapi saat ia ketakutan ditambah dengan suasana mendung di luar, menambah rasa ngeri di seluruh tubuhnya, ia benar-benar ketakutan saat ini. Daripada berlama-lama di kelas yang akan semakin memperburuk keadaan, Aaron segera membersihkan semua alat tulisnya dan pergi ke luar. Entah perasaannya atau apa, tapi sepanjang jalan ia menuju parkiran, seperti ada yang mengikuti. Namun, ketika Aaron berbalik, tidak ada siapa pun.

Tuhan masih punya kuasa...

Nggak ada kuasa yang lebih besar daripada kuasa-Nya...

Tuhan masih sayang umatnya...

Nggak ada rasa sayang yang lebih besar daripada rasa sayang-Nya...

Tuhan masih sayang gueee...

Tuhan pasti lindungi gueee...

Sambil berjalan cepat, Aaron terus mengatakan kalimat tersebut dalam hati agar ia lebih merasa tenang. Ia percaya sepenuhnya pada Tuhan. Tuhan tahu cara untuk melindunginya. Berharap semoga semua hipotesanya selama beberapa menit tadi salah dan hanya perasaannya saja. Tidak ada yang mengikutinya. Hanya perasaannya saja.

Glek

Aaron masuk ke dalam mobilnya dan segera mengemudikan mobilnya pulang ke rumahnya. Tidak sanggup lagi jika berlama-lama di kampus. Aaron cemas, namun ia tidak gegabah. Ia masih bisa mengendalikan dirinya. Ia masih bisa mengemudi dengan baik dan tidak ugal-ugalan. Ditambah hujan yang turun membuatnya mendesah pelan. Entah apa yang terjadi hari ini hingga semua ini terjadi padanya. Dan untuk melengkapi harinya yang indah, ban mobil depan miliknya tiba-tiba bocor. Membuatnya harus terpaksa menghentikan mobilnya untuk melihat bannya.

BESTEVRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang