[21] Untuk Menuju Kehidupan Yang Baru

128 22 0
                                    

Tiga tahun terakhir bisa dibilang adalah hidup yang paling enak yang pernah hadir dalam hidup seorang Bagaskara Ivander Jalandra. Mendapat pekerjaan menjadi seorang buruh pabrik membuatnya bisa hidup dengan lebih baik ketimbang saat ia masih di kota dan bekerja sebagai buruh bangunan. Setidaknya, selama tiga tahunan ini, Bagas bisa selalu rutin makan tiga kali sehari menggunakan lauk-pauk yang bisa dibilang jauh lebih layak daripada dulu. Jika dulu Bagas hanya bisa makan sehari sekali, paling banter dua kali, kali ini ia bisa makan tiga kali. Selain itu, sekarang, Bagas bisa tinggal di suatu kamar kontrakan yang jauh lebih bagus daripada kamar kontrakan kecilnya saat ia di kota dahulu. Meskipun tidak bisa dikatakan bagus dan mewah, tapi kontrakan di kota tempatnya bekerja layak untuk dihuni oleh manusia. Bagas tahu, semua yang terjadi pada dirinya saat ini bukanlah berasal dari kuat gagahnya sendiri. Melainkan karena kuasa Tuhan. Pada akhirnya, Tuhan mau memberikannya kehidupan layak setelah sekian lama hidup dalam ketidaklayakan. Ya, Bagas sangat bersyukur akan hal itu.

Meskipun pada akhirnya ia bisa meraih semua itu, Bagas tetap merasa bahwa hidupnya masih tidak lengkap. Ayah, Ibu, dan adik pertamanya telah bahagia di surga. Tak dapat dipungkiri, Bagas merindukan mereka bertiga. Di dunia ini, Bagas tidak memiliki siapa pun lagi yang tersisa di keluarganya. Kakek dan nenek dari ayah maupun ibunya sudah sama-sama meninggal dunia sejak ia kecil. Sebenarnya, masih ada satu dari anggota keluarganya yang masih hidup di dunia ini. Tapi, ia telah bahagia dengan jalan hidupnya sendiri. Adik bungsunya, entah beruntung atau apa, enam tahun lalu, saat adiknya berumur sepuluh tahun, adiknya diadopsi oleh salah satu keluarga. Meskipun sedih karena ia tidak bisa melihat adiknya lagi, Bagas bahagia. Ia bahagia karena setidaknya, adiknya tidak akan merasakan kesulitan yang ia rasakan. Setidaknya, adiknya bisa bahagia dengan hidup barunya. Ya, setidaknya.

Saat ini, Bagas sedang kembali ke kota asalnya. Kota yang menjadi tempat di mana ia lahir dan tumbuh. Kota yang menjadikannya orang kuat seperti sekarang ini. Ada tiga alasan bagi Bagas untuk kembali ke kota asalnya. Pertama, berziarah ke makam ayah, ibu, adik, serta kakek-neneknya. Kedua, menemui Indira untuk menghapus kerinduannya. Ketiga, melihat sahabat-sahabatnya yang masih ada di kota tersebut dari kejauhan. Mengapa demikian? Karena Bagas tidak sanggup melihat mereka dari dekat karena, jika ia pergi lagi, ia akan sangat-sangat merindukan mereka. Jadi, lebih baik memandang dari kejauhan, bukan?

"Gas, kamu gendutan ya."

"Iya?"

"Iya. Kamu lebih gendut daripada dulu kamu selama masih di sini. Syukurlah."

Bagas hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Indira. Waktu itu siang hari. Bagas dan Indira sedang menghabiskan waktunya di salah satu warteg dengan nasi pecel di depan mereka. Sangat sederhana. Terlalu sederhana buat sepasang kekasih yang sedang merayakan hari jadi hubungan mereka. Tapi, tak masalah. Selama mereka ada satu sama lain, itu bukanlah suatu masalah sama sekali.

"Oh iya, Gas kamu masih suka menggambar, kan?"

Bagas mengangguk. "Iya. Kalau aku nganggur di kostan, kadang aku gambar-gambar gitu. Kenapa?"

"Kemarin aku ketemu Eza."

"Eza? Eza temen aku itu?"

"Iya."

"Ngomong apa dia?"

"Dia selama ini cari kamu, tapi kamunya gak bisa dihubungi. Aku sebenarnya mau kasih tahu kota tempat kamu tinggal. Tapi, aku tahu kamu nggak suka. Jadinya, dia cuma titip pesen aja."

"Pesen apa?"

"Kalau kamu mau, kamu dateng aja ke kantornya dia. Gak tahu kenapa, aku tanyain alasannya, dia gak mau jawab. Biar dia sendiri yang kasih tahu ke kamu."

"Oh..."

"Jadi, kamu mau?"

"Kapan aku bisa ke kantornya dia?"

BESTEVRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang