- ALSYAVA - 16

2K 68 2
                                    

"If I'm right, aku ramal ... You can get through this all. "

***

Kak ini mau kemana sih?! Kenapa mataku harus ditutup?!" tanya Alsya bingung.

Renza terdiam, tak menjawab. Ia terus menutup mata Alsya dengan kedua tangannya dan menuntun Alsya menuju suatu tempat. Mereka berdua berhenti di tepi kolam renang, di belakang rumah Renza. Renza menuntun Alsya untuk duduk di tepi kolam, dan ia sendiri pun duduk di samping Alsya.

Alsya masih dilanda rasa bingung dan was-was—takut Renza berbuat yang tidak-tidak—mesti ia tahu Renza tak seperti itu. Alsya sedikit tersentak saat kakinya menyentuh sesuatu yang dingin dan membuat kakinya basah—air—ya, air.

Renza menurunkan tangannya dari mata Alsya, Alsya masih menutup matanya, sedikit demi sedikit ia membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah kolam renang dan beberapa jenis bunga yang berada di taman samping kolam renang.

Alsya menoleh ke arah Renza dengan bingung. "Kenapa kamu bawa aku ke sini?" tanyanya.

Renza lagi-lagi tak menjawab, ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Alsya semakin bingung saat melihat apa yang dikeluarkan kekasihnya itu. "Cutter?" gumam Alsya bingung.

Renza hanya tersenyum. Ia menggerakkan tombol—gagang yang berfungsi untuk mengeluarkan dan memasukkan isi cutter—ke atas. Ia mendekatkan cutter tersebut ke arah jari telunjuk tangan kirinya. Alsya membelalakkan matanya, sekarang ia tahu apa yang terdapat dipikiran kekasihnya itu, ia menatap tajam ke arah Renza dan menggelengkan kepalanya.

Sedangkan Renza hanya mengeluarkan senyumannya.
"Kak! Jangan bercan—"

Sret

Belum sempat Alsya menyelesaikan kalimatnya, Renza sudah menggoreskan cutter tersebut ke jari telunjuknya. "Astaga!" teriak Alsya spontan saat melihat darah menetes dari jari Renza ke dalam kolam yang membuat air kolam sedikit demi sedikit menjadi bewarna merah.

"Lo gila kak?!" bentak Alsya sambil mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu.

Keringat dingin keluar dari tangan dan pelipisnya. Badannya mulai melemas, sama seperti yang dialaminya ketika melihat darah—seperti sekarang ini. Ia segera mengeluarkan kakinya dari kolam dan ia memeluk kedua kakinya dengan erat.

Renza tersenyum, meski rasa perih di jarinya masih terasa. "Kamu bisa, Alsya!" serunya.

Rasa takut di dalam diri Alsya masih mendominasi, bahkan wajahnya juga memucat. Ia ingin berlari menjauh dari tempat ini, menghindar dari cairan kental itu. Tapi di sisi lain, ia juga tak bisa meninggalkan kekasihnya itu di sini sendirian dengan tangan yang terluka—meskipun hanya sebuah luka kecil—dan darah yang tak berhenti mengalir dari jarinya. Tidak. Ia takkan setega itu melihat kekasihnya terluka, karena bagaimanapun, Renza melakukan ini semua—melukai dirinya sendiri—demi membantunya.

Alsya tak habis pikir, apa Renza tak ada cara lain untuk menunjukkan darah kepadanya selain melukai dirinya sendiri? Alsya tak tahu harus berbuat apa, ia terisak.

"Alsya, kenapa kamu menangis? Kamu nggak mau membantuku mengobati lukaku ini?" tanya Renza dengan nada lembut.

Alsya mendongak, menatap Renza tajam. Ia memaki dalam hatinya. 'Dia itu kenapa sih?! Sudah tahu gue takut darah, masih saja menyuruh gue buat obatin lukanya.'

Tapi meski ia kesal, ia juga berusaha mengangkat tangannya untuk meraih tangan Renza yang masih meneteskan darah. Alsya semakin terisak saat darah Renza menetes di pahanya. Dengan tenaga yang masih tersisa, Alsya mengajak Renza berdiri. Alsya menuntun Renza masuk ke rumah dan menuju ruang tamu, meski lebih tepatnya, sangat terlihat jelas bahwa Renza yang menuntun Alsya karena kaki Alsya yang masih lemas dan bergetar.

Mereka duduk di sofa, Alsya bertanya kepada Renza, di mana Renza menyimpan kotak P3K. Setelah Renza memberitahunya, Alsya izin kepada Renza untuk mengambil kotak P3K itu dan segera mengambilnya.

Dengan membuka kotak P3K, Alsya duduk kembali di samping Renza. Ia menarik napasnya, berusaha menahan rasa takutnya terhadap darah. Ia mengambil kapas dari kotak P3K tersebut dan meraih tangan kiri Renza, kemudian ia membersihkan darah yang ada di jari Renza dengan tangan yang bergetar dan mengeluarkan keringat dingin.

Renza memandangi Alsya sambil tersenyum, ia berharap caranya ini berhasil. 'I really hope!'

"Aw ... " Renza mengadu saat Alsya tak sengaja menekan luka goresan itu.

"Eh, maaf. Aku nggak sengaja," ucap Alsya yang merasa bersalah, Renza mengangguk.

"Lagian kamu kenapa sih kayak gini?!" tanya Alsya dengan nada galak.

Renza lagi-lagi tersenyum. "Karena aku ingin kamu sembuh," jawaban Renza yang sontak membuat tangan Alsya berhenti bergerak. Seharusnya Alsya tak menanyakan pertanyaan yang jawabannya sudah ia ketahuinya. Alsya menghela napasnya, ia menatap Renza.

"Seharusnya kamu nggak ngelakuin kayak gini. Kamu memikirkan kesebuhanku, tapi kamu nggak memikirkan keselamatanmu. Bukan gini caranya kak! Aku nggak suka lihat kamu terluka, apalagi itu buat aku. Nggak, aku nggak suka." Ucap Alsya dengan mata yang sudah
berkaca-kaca.

Renza menggeleng pelan. "Aku akan melakukan apapun demi kamu. Jangan nangis! Aku nggak suka lihat kamu nangis." Ucap Renza seraya menghapus air mata yang turun dari mata Alsya dan membasahi pipinya.

"Tapi kamu jangan kayak gini lagi! Aku juga nggak suka lihat kamu kayak gini. Memangnya nggak ada cara lain apa buat nunjukin darah ke aku selain melukai diri kamu sendiri? Kuyakin pasti ada."

"Iya maaf, entar deh aku cari cara lain," sahut Renza. Alsya mengangguk setuju, ia kembali membersihkan luka Renza dan membalut luka itu dengan plester.

"Selesai!" ucapnya bangga.

Renza terkekeh. "Aku merasa punya dokter pribadi," ujar Renza sambil terkekeh.

Sedangkan Alsya, ia mencoba untuk ikut terkekeh meski kekehan itu terdengar hambar di pendengaran Renza. 'Dokter? Apa mungkin bisa jadi dokter? Possible or impossible?' tanya Alsya kepada dirinya
sendiri.

Renza lagi-lagi hanya tersenyum, ia tahu apa yang dipikirkan oleh kekasihnya itu. Meskipun ia tak bisa membaca pikiran Alsya, tapi selama beberapa bulan bersama dengan Alsya membuatnya bisa mengenal setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh Alsya. Ia bisa membaca ekspresi itu.

"If I'm right, aku ramal ... You can get through this all." Ujar Renza sambil tersenyum. Senyum yang sangat meneduhkan bagi Alsya.

Alsya kembali tenang. Ia membalas senyuman Renza. "I think so too." ucap Alsya yakin. "Eh? By the way, boleh nggak aku jujur?" tanya Alsya.

Renza mengangguk semangat. "Why not?" ucapnya.

Alsya tersenyum miring. "Kamu nggak pantas jadi Dilan!" sarkasnya sambil terkekeh. Kekehan itu menjelma menjadi tawa yang menggelegar saat Alsya melihat raut kesal di wajah
kekasihnya itu

============================================

Moga suka sama chapter ini, jangan lupa vote dan commen ya...

❗Edit: 18 Juni 2023

Duh, nggak tau kenapa ini kalau aku baca-baca cerita ini lagi ... rasanya kek ... "What?! Ngapain dulu aku nulis gini?!" 😭

Btw, aku nulis cerita ini 3 or 4 tahun yang lalu (?) Pas masih SMP, sekarang dah Kuliah :)

Oh ya, next chapter bakal di re-update berkala ya, isinya sama sih nggak ada yang berubah dari 3 tahun lalu, hehe🙌

See you next chapter...
Follow my IG : @alungputri_06

♥HAPPY READING♥

ALSYAVA (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang