Bagi Ragil dan kawan-kawan melaksanakan misi pada malam hari sudah biasa. Tapi saat harus melakukannya bersama warga sipil rasanya luar biasa. Harusnya memang lebih baik menunggu di dekat air terjun sampai matahari terbit sehingga medan yang dilalui tampak lebih jelas. Tapi...seandainya terjadi gempa bumi lagi dan longsor di dekat goa dan air terjun, detik itu juga mereka tinggal nama.
Namanya bencana memang siapa yang tahu karena itu pula mereka dengan berat hati tetap melanjutkan misi penyelamatan diri. Karena satu detik sungguh sangat berharga.
Semua menyalakan lampu hape untuk membantu diri masing-masing agar tidak salah berpijak.
Awalnya hanya Ragil dan Yos yang di atas sebelum anak-anak naik. Lalu Conan juga ke atas dan menunggu lebih ke atas lagi untuk menuntuk ke tempat yang sekiranya aman.
Rasa lelah itu terabaikan demi satu kata. Selamat. Dan atas inisiatif sendiri, para wisatawan itu termasuk Hilwana dan anak-anak saling membantu saat harus terus naik ke atas, saling mengulurkan tangan saat ada yang butuh bantuan.
Ketika di bawah sudah tak ada wisatawan yang tersisa, Ragil dan yang lainnya menyusul naik. Beberapa merangsek mendahului untuk mendampingi warga sipil. Yos dan Conan juga anak-anak ada di depan sendiri.
Sesuai kesepakatan, mereka akan mencari tempat datar dulu baru kemudian memutuskan langkah selanjutnya.
Setiap satu jam sekali berhenti beberapa menit sejak menanjak dari dekat air terjun. Kata Yos, normalnya satu jam sudah sampai di dekat jalan yang akan menuju goa. Seandainya bulan bersinar terang, akan sedikit membantu perjalanan mereka.
Ragil perkirakan waktu menunjukkan sekitar pukul tiga dini hari saat mereka sampai di tanah datar yang tak jauh dari sana katanya jalan menurun menuju goa yang mereka lalui siang harinya.
"Kita istirahat di sini. Yang laki-laki bersama laki-laki, yang perempuan bersama perempuan kecuali yang berpasangan resmi. Anggap saja rumput itu kasur kalian. Terlalu beresiko jika kita terus. Kita tunggu pagi datang," kata Elang yang diterjemahkan oleh Yos. "Adek-adek dekat Om sini." Ia menyuruh Pon, Salman dan Romi mendekat ke Suparman yang tengah duduk bersila.
Ragil, Conan dan Arjuna juga duduk berpencar di sisi luar para warga sipil itu.
"Nona, kenapa tidak tidur? Tidur saja. Kami akan menjaga kalian," tegur Ragil lembut tanpa memandang Hilwana yang duduk lagi. Hanya melirik lewat sudut matanya.
Elang yang masih berdiri dan hendak bicara dengan Ragil pun batal dan duduk di tempat lain. Ia tersenyum dalam hati.
"Tidak bisa tidur," jawab Hilwana sambil memeluk lututnya sendiri.
"Istirahat saja. Berbaring. Nanti pasti mengantuk sendiri," kata Ragil lembut. "Seandainya memungkinkan, kami akan mencarikan daun pisang untuk alas tidur. Tapi kondisinya begini."
"It's okay. Bukan itu. Hanya tidak bisa tidur saja." Ia tidak bisa bilang kalau takut gelap tapi tidak sampai fobia. Lebih tepatnya tidak bisa tidur saat gelap. Selama lima tahun terakhir, ia tidur dengan lampu strongking.
"Mau ngobrol saja sampai Nona tertidur?" tawar Ragil.
"Tolong jangan panggil Nona. Panggil Hilwana saja. Atau Hilwa."
Tiba-tiba dengan kurang ajarnya, jantung Ragil berdetak kencang.
"Hilwana," ulang Ragil seperti bernyanyi. Terasa ada yang menggelitik lidahnya. "Hil...wa...na. Baik. Hilwa." Ia mengangguk dan mengabaikan gemuruh jantungnya. "Panggil saja saya Ragil."
"Dokter Ragil?"
Ragil tersenyum. "Senyamannya Nona eh Hilwa."
"Bantuan akan segera datang kan?" tanya Hilwana lebih ke dirinya sendiri.
"Insya Allah. Allah Maha Pelindung," yakin Ragil." Anda sudah lama mengajar di sini?"
"Lima tahun," jawab Hilwana masih bertumpu pada lututnya sambil menatap punggung Ragil.
Ragil tersenyum dan mengangguk. "Alhamdulillah masih ada orang yang mau mengabdi di daerah begini." Cantik pula.
"It's a long story," gumam Hilwana. "Tapi saya memang suka mengajar."
"Anda orang mana?" Sejak awal Ragil yakin Hilwana bukan penduduk asli pulau. Garis wajah dan cara bicaranya beda walaupun bisa berbahasa yang sama. Menjadi seorang polyglot membuatnya lebih mudah mengenali gaya bahasa dan daerah asal seseorang. Ditambah pekerjaannya yang membuatnya bertemu rekan dari seluruh Indonesia. Belum tempat lagi penugasan.
"Saya?"
"Bukan. Rumput yang bergoyang."
Entah siapa tapi ada salah seorang rekan Ragil bersiul pelan.
"Saya...dari Malang," jawab Hilwana antara curiga dan tidak pada rekan Ragil.
Siulan kedua menyusul. Sama pelannya dengan tadi.
"Letkol akan senang ya, Bang Elang? Oleh-olehnya luar biasa," celetuk Arjuna.
Elang tersenyum sambil mengangguk menanggapi celetukan juniornya.
"Eyang saya tinggal di Batu. Saya ke sana kalau libur," kata Ragil ambigu.
"Oh." Hilwana mengangguk. Matanya mulai terasa berat.
"Kalau liburan, pulang ke Malang?" tanya Ragil.
"Saya? Belum pernah pulang. Mahal di ongkos," jawab Hilwana sedikit melemah.
Saat Ragil menoleh, ia melihat Hilwana yang mulai tertidur. Ia menunggu beberapa saat lalu membaringkan guru muda itu ke tanah berumput yang didudukinya. Setelah itu sambil menunggu pagi, ia tidur bergantian dengan rekan yang lain.
Baru saja, Ragil memejamkan mata, tiba-tiba terasa tanah bergoyang hebat yang membuat siapapun tersentak bangun dan berteriak histeris ketakutan.
"Allahu Akbar!"
"La illaha illa Allah."
Ditambah teriakan dan seruan dalam bahasa lain. Spontan yang perempuan dan pasangan saling berpelukan. Hilwana merangkak memeluk ketiga muridnya yang menangis sambil menyebut nama Allah juga diselingi memanggil nama orang tua mereka.
Mereka semua saling mendekatkan diri dan Ragil bersama kawan-kawan berada di sisi terluar mereka sambil mengawasi penuh waspada.
Gempa susulan. Tidak lebih lama dan tidak lebih besar dari sebelumnya.
Begitu mereda, praktis tak ada lagi yang tertidur.
"Kreeek! Gratak! Bugh"
Semua menoleh ke asal suara. Sepertinya ada pohon tumbang.
"Ya Allah...lindungi kami, Ya Allah. Selamatkan kami. Ampuni kami," gumam Hilwana sambil menangis.
Baru saja tenang, kembali terasa bumi bergoyang jauh lebih pelan. Begitu seterusnya sampai pagi. Gempa susulan. Kecil-kecil tapi sering.
Sepanjang sisa hari itu, semua menangis ketakutan.
Ya Allah, hanya kepadaMu kami berlindung. Kami pasrahkan segalanya padaMu. Mama, Papa, Mbak Ai, Mas Rahil dan semuanya maafkan aku jika ada salah dan doakan kami semua di sini, batin Ragil sambil menutup mata.
Saat ia membuka matanya, matahari telah bersinar penuh dan bumi kembali tenang.
Dan sesuai kesepakatan, Ragil dan kawan-kawan dibagi dalam dua tim. Satu kembali ke penginapan, yang lainnya turun ke desa. Ragil termasuk yang ke desa bersama Elang dan Suparman. Arjuna dan Conan ke hotel bersama tour guide dan para wisatawan.
Ya, Yos bukanlah penduduk asli pulau. Melainkan dari pulau utama. Selama bekerja, ia tinggal di mess penginapan bersama karyawan lain yang dari luar pulau.
Mereka pun menyusuri arah desa dan penginapan dengan rasa was-was dan ketakutan terutama Pon dan kawan-kawan.
Semakin menuju desa kondisinya semakin parah. Nyaris rata dengan tanah seperti daerah yang terkena gusuran. Dan sejauh mata memandang, mereka belum menemukan penduduk seorang pun.
Ke mana mereka semua?
🌴🌳🌴
Masih ada yang nungguin???
Sidoarjo, 15-02-2019
KAMU SEDANG MEMBACA
ISLAND
Short Story#01 Novelette (02-03-2019) #02 Bencana (21/02/2019) #29 Abdinegara (04/05/2019) #35 Militer (04/05/2019) Short escape yang seharusnya menjadi liburan manis harus berantakan. Terjebak dalam bencana alam membuat Letda Sahil Aditya dan keempat rekannya...