Sudah tiga hari Hilwana di rumah. Selamat dan nyaman. Keluarganya gembira sekali melihat kepulangannya terutama Mamanya sampai-sampai membuat syukuran untuknya.
"Mau ke mana? Kamu baru pulang lho," tanya Mamanya.
"Mau anterin titipan teman. Assalamu'alaikum." Ia menyalim Mamanya lalu ke garasi dan mengambil mobil merah cherrynya yang sudah lima tahun tak tersentuh. "Bismillah," ucapnya.
Dengan hati-hati ia meninggalkan garasi rumahnya menuju sebuah alamat yang ternyata sebuah lembaga kursus bahasa. Rainbow.
"Permisi, Mbak," katanya pada resepsionis.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis dengan ramah.
"Saya ingin bertemu Mbak Ai. Ada surat dari adiknya, Sahil. Pesannya harus saya serahkan sendiri pada Mbak Ai," beritahu Hilwana.
"Masya Allah! Mas Sahil selamat?" tanya resepsionis itu.
Hilwana mengangguk. "Iya. Dia selamat dan sehat walafiat walaupun sekarang masih di sana untuk membantu warga."
"Iya, baik. Saya beritahu Mbak Ai dulu. Maaf, nama Mbak?"
"Hilwana."
Lalu resepsionis menghubungi ruangan Ai. "Silahkan ikut saya," katanya setelah meletakkan gagang telepon.
Hilwana mengikuti resepsionis tersebut masuk ke sebuah ruangan di mana seorang perempuan manis berhijab syari sudah menunggunya.
"Tolong bilang Mbak Lastri untuk membuatkan minum ya?" pinta Ai pada resepsionis.
"Iya, Mbak. Permisi." Resepsionis itu pun keluar.
Ai menatap Hilwana sejenak. Dan tanpa sadar ia menggenggam kedua tangan Hilwana dengan kedua tangannya. "Adek s-selamat?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Adek?" ulang Hilwana bingung.
"Oh maaf, maksud saya Sahil. Adik bungsu saya." Ai tak mampu membendung air matanya.
"Oh." Hilwana mengangguk. "Ya. Dokter Ra--Sahil selamat."
"Terima kasih, Ya Allah." Spontan Ai memeluk Hilwana. "Oh maaf. Dan katanya ada surat untuk saya? Aduh...maaf, silahkan duduk." Ia mengajak tamunya duduk di sofa panjang. "Kenapa Sahil bisa menitipkan surat ke Mbak Hilwana?"
"Kebetulan saya juga korban di sana," jawab Hilwana.
"Tolong ceritakan kejadiannya," pinta Ai.
Hilwana pun menceritakan semuanya dari awal sampai akhir kecuali bagian lamaran Sahil. Setelahnya ia menyerahkan surat titipan Sahil.
"Saya diminta menunggu jawabannya," kata Hilwana.
"Baik." Ai mengangguk sambil menyusut air matanya dengan tissue dan mulai membaca surat Sahil. "Ah, bien. (Baiklah)" ia tersenyum sambil menatap lekat Hilwana yang langsung waspada. "Jadi...Sahil...ehm...kamu calon istri Sahil."
"Maaf?" Hilwana merasa salah dengar.
Ai mengangguk. "Kamu diminta menunggu jawabannya kan? "
Hilwana mengangguk.
Ai tersenyum lebar. Terlalu banyak kebahagiaan. "Sahil bilang di suratnya kalau saya disuruh meminta nomer teleponmu. Itu yang pertama." Ia bangkit dan mengambil hapenya.
Dan entah apanya dari Ai yang membuat Hilwana mengiyakan saja permintaan Ai dan...Sahil? Mungkin karena ia terlalu takjub dan blank.
"Besok tolong luangkan waktu untuk bertemu dengan Rahil," pinta Ai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISLAND
Short Story#01 Novelette (02-03-2019) #02 Bencana (21/02/2019) #29 Abdinegara (04/05/2019) #35 Militer (04/05/2019) Short escape yang seharusnya menjadi liburan manis harus berantakan. Terjebak dalam bencana alam membuat Letda Sahil Aditya dan keempat rekannya...