Akhirnya setelah masa tanggap darurat dinyatakan selesai, Sahil dan rekan-rekannya ditarik dari pulau. Sahil juga mendapat izin cuti tambahan sebagai apresiasi telah menyelamatkan warga sipil saat terjebak di goa. Tentu bersama keempat rekannya yang lain.
Biasanya Sahil jarang mengambil hal semacam itu karena merasa kewajibannya tapi karena ia butuh jadinya diambil. Dan kini ia melangkah riang saat keluar dari taksi yang membawanya pulang.
"Assalamu'alaikum...Mamaaa...Mbak Ira...aku pulang nih?" panggilnya. "Ck! Papa bilang Mama di rumah lho...bohong nih Papa ih..." dumelnya.
"Lho, Dek Sahil pulang?" ujar Mia yang baru datang. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Mbak Mia darimana atau baru datang?" tanya Sahil sambil meletakkan ranselnya.
"Baru datang. Tuh Mas Rahil di depan. Aku kan mau makan opor ayamnya Mama," jawab Mia sumringah.
Mendengar opor ayam disebut, wajah Sahil juga ikut sumringah. "Wah, asyiiik...alhamdulillah sekali pulang hari ini."
"Enak aja. Itu aku yang minta Mama khusus buat aku. Nanti sisanya juga mau aku bawa pulang. Aku udah bawa wadahnya."
"Pardon? Ih, rakus. Masa sebanyak itu dibawa pulang sendiri sih?" gerutu Sahil. "Papa dan yang lain juga makan ih."
"Pokoknya itu punyaku," tegas Mia.
"Ma belle, buat apa bawa opor sebanyak itu? Kita cuma berdua," tegur Rahil lembut. "Dek, ada tamu tuh, nggak malu apa rebutan opor?"
"Tapi kan aku pengen opornya Mama..." rajuk Mia.
"Tamu?" Sahil menoleh ke arah yang ditunjuk. "Oh...Bu Guru Hilwa di sini? Waaah..." ia tersenyum sumringah.
Sementara yang tengah disebut namanya berdiri mematung dari arah dapur, dengan ekspresi seolah ia berada di dimensi lain.
"Lah, kok bengong?" ujar Sahil heran.
"Ya jelas bengong...lihat aslinya kamu kayak gini," celetuk Rahil. "Sana, samperin. Pingsan nanti." Ia menggeplak bahu adiknya lalu mendorong istrinya lembut ke meja makan.
"Mamaaa...Mas Rahil mukul nih! Ck! Baru pulang udah kena pukul ih," adu Sahil.
Frannie baru keluar dari dapur dan menggeleng gemas. "Adek, cuci tangan dan kaki. Kita makan sekarang," perintahnya mengabaikan aduan Sahil. Lalu menoleh pada tamunya sambil tersenyum. "Ayo ke meja makan, ibu hamil sudah datang."
"Eh...oh...iya, Ibu." Hilwana yang masih syok terpaksa mengangguk.
Tak lama mereka pun duduk bersama dan mulai makan siang.
"Syok ya lihat Adek seperti tadi?" tanya Rahil dengan senyum di kulum.
"Eh...saya..." Hilwana tak tahu harus berkata apa.
"Jangan dianggap serius walaupun perdebatan konyol itu serius," kata Rahil. "Istri dan Adik saya setipe. Kadang suka ngotot hal konyol. Bersama istri saya beberapa kali pasti bisa menebak sifatnya kan?"
Hilwana mengangguk.
Sedang Sahil, manusia yang tengah dibicarakan, tengah makan dengan tenang seolah mereka membicarakan orang lain.
"Mama, nanti aku juga bawa pulang opornya lho." Mia mengingatkan.
"Sisain ih," sahut Sahil.
"Iya deh." Mia mengangguk dengan bibir mengerucut. "Padahal kan aku yang pengen."
"Kan aku juga suka." Sahil keukeuh.
🌴🌴🌴
Satu jam kemudian, Sahil dan Hilwana duduk di ruang tamu. Tampak mata hanya berdua tetapi Frannie dan Rahil ada di ruang tengah yang bisa melihat langsung keduanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ISLAND
Conto#01 Novelette (02-03-2019) #02 Bencana (21/02/2019) #29 Abdinegara (04/05/2019) #35 Militer (04/05/2019) Short escape yang seharusnya menjadi liburan manis harus berantakan. Terjebak dalam bencana alam membuat Letda Sahil Aditya dan keempat rekannya...