Entah karena Hilwana sudah terlalu lelah atau cara Ragil berbicara yang membuatnya mengantuk. Yang ia ingat adalah saat Ragil menuntunnya masuk ke tempat berlindung untuk tidur.
Dan ia terbangun saat mendengar azan subuh berkumandang.
Subuh? Azan?
Kening Hilwana mengernyit. Memang dari kabar yang beredar Masjid besar di pulau tak mengalami kerusakan berarti. Sebagian musala ada yang rusak parah dan sebagian lagi juga tak mengalami kerusakan berarti. Tapi itu dari hasil pengecekan sekilas. Dan sampai kemarin mereka semua masih salat di dekat mereka berada kini dengan menggelar terpal entah milik siapa.
Dan sekarang ada suara azan? Musala terdekat juga masih jauh jaraknya dari tempat mereka berada. Siapa muadzin bersuara indah ini?
Karena tak lagi bisa membendung penasarannya, masih dengan muka bantal, Hilwana keluar dan melihat...
"Allahu Akbar!" ujarnya spontan lalu diam dan menjawab azan.
Allahu rabbi...adakah manusia sesempurna dia? Cakep, dokter, tentara dan muadzin? batin Hilwana kagum.
Lalu ia sendiri bersiap-siap untuk salat subuh, bergantian wudu dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain.
Ia baru wudu saat para lelaki hendak salat subuh dan...lagi-lagi ia dibuat kagum. Dokter Ragil yang itu tengah bersiap mengimami salat.
🌴🌴🌴
Usai salat subuh, Hilwana segera membantu membuat sarapan untuk semuanya.
"Selamat pagi, Bu Hilwa," sapa Sahil.
"Selamat pagi, dokter," balas Hilwa sambil tersenyum malu. Ia merasa wajahnya masih berantakan dan teringat bagaimana dirinya semalam. "Uhm, dok, panggil Hilwa saja. Jangan pakai anda. Rasanya seperti sedang di istana negara."
Sahil mengangguk. "Kalau begitu jangan memanggilku dengan dokter juga. Cukup Ragil atau Sahil."
Hilwana menggigit bibir bawahnya. "Tapi..."
"Kita bicara lagi nanti. I gotta go. Assalamu'alaikum," pamit Sahil lalu pergi agak buru-buru.
Sebelum melakukan pekerjaan lain, Sahil harus mengecek pasien-pasiennya dulu. Terutama mereka yang cedera berat dan bayi baru lahir itu.
Setelah berkeliling mengecek pasien-pasiennya, bersama keempat rekannya, Sahil mengecek bangunan-bangunan publik yang masih layak terutama musala terdekat. Dari keenam musala yang ada, tiga yang masih layak pakai tapi hanya dua yang air sumurnya juga layak pakai. Termasuk yang di masjid juga sumber air dan kamar mandi masih bisa dipakai.
"Ini berarti pusat gempanya dekat," komentar Conan.
"Kita butuh penerangan. Listrik baru masuk pulau ini tiga tahun terakhir, setidaknya warga tidak terlalu syok dengan kegelapan tapi tetap butuh penerangan," kata Elang.
Sahil mengangguk. "Kita koordinasi dengan perangkat desa."
"Dokter Ragil! Letnan Elang! Ayo sarapan dulu," panggil Abu saat melihat Sahil dan yang lain lewat.
"Iya, Pak. Terima kasih." Sahil mengangguk dan menuju dapur umum darurat itu.
"Berapa lama makanan itu bertahan?" gumam Suparman sambil mengikuti Sahil.
"Rasanya sekitar dua hari lagi karena untuk memberi makan orang sepulau," sahut Sahil. "Haji Cahyo memang baik ya?"
"Semoga hari ini atau besok bantuan segera datang," desis Arjuna.
"Ya. Kasihan anak-anak, orang tua dan korban cidera." Sahil mengiyakan.
"Silahkan seadanya." Hilwana yang memang masih di dapur menyilahkan kelima anggota TNI yang baru datang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISLAND
Short Story#01 Novelette (02-03-2019) #02 Bencana (21/02/2019) #29 Abdinegara (04/05/2019) #35 Militer (04/05/2019) Short escape yang seharusnya menjadi liburan manis harus berantakan. Terjebak dalam bencana alam membuat Letda Sahil Aditya dan keempat rekannya...