☆12

8.7K 915 148
                                    

"Itulah alasan saya kabur," kata Hilwana saat mereka di perjalanan ke rumahnya. "Karena Papa mau menjodohkan saya. Itu juga alasan saya nggak mau pulang."

"Memang orang yang dijodohkan sama kamu siapa?" tanya Sahil lembut. "Kalau memang baik, kenapa enggak?"

Hilwana mendesah dalam. "Saat saya kuliah sih polisi. Tapi dia ingin mempercepat pernikahan dengan alasan pindah tugas, sata menolak. Saya masih mau kuliah. Menjelang wisuda...sama anak kolega bisnis Papa. Bapaknya pengusaha hotel. Nggak tahu anaknya kerja apa. Jadinya buru-buru saya cari kerja di luar Jawa yang transport dan komunikasinya sulit. Biar nggak mudah dihubungi."

"Kok gitu? Nggak ikhlas dong ngajar di pulau itu?" tegur Sahil.

"Saya suka ngajar. Dan saya memang ingin berbagi ilmu di daerah terpencil. Tapi nggak bisa saya pungkiri alasan terkuat untuk pergi karena nggak mau dijodohin. Hari gini lhooo..." bibir Hilwana mengerucut.

Sahil tersenyum. "Nggak semua hasil perjodohan itu buruk. Dan setelah obroloan tentang visi mis kita tadi, saya cukup yakin kalau kita cocok."

"Sok yakin deh."

"Mama, Mbak Ai, Mas Rahil...semua nggak ada yang pacaran. Mama malah produk perjodohan. Nggak ada salahnya kok dijodohkan itu...ya asal nggak ada yang ditutupi dari kedua belah pihak. Jujur. Kunci keberhasilan itu kejujuran kan?"

Hilwana mengangguk pelan. "Ya."

"Ngomong-ngomong terima kasih sudah datang ke rumah. Saya nggak nyangka..." Sahil menoleh ke arah Hilwana sebentar lalu fokus ke jalan lagi. "Sudah berapa kali ketemu Mama?"

"Empat kali ini. Tadi Mamanya Mas Sahil minta saya datang, katanya Mbak Mia ingin ngajak makan siang bareng," jawab Hilwana sungkan sekaligus tersanjung.

"Oh ya? Sepertinya ipar saya yang satu itu suka ya sama kamu."

"Kata Bu Frannie, Mbak Mia ingin makan dengan kakak cantik. Biar anaknya ikutan cantik katanya. Ada-ada saja." Hilwana tertawa kecil dengan tersipu. Dan ipar Sahil tersebut memang selalu membuatnya tersipu.

Sahil manggut-manggut.

🌴🌴🌴

Sesuai dugaan Sahil, rumah Hilwana adalah sebuah rumah megah di hunian mahal. Sebuah rumah yang memiliki satpam sendiri. Dengan carport dan garasi luas.

"Ayo, silahkan masuk," ajak Hilwana.

Sahil mengangguk sambil tersenyum tipis. Matanya memindai lingkungan sekitar rumah megah tapi nyaman tersebut dengan cepat.

"Hilwa, datang dengan siapa?" tanya seorang wanita pertengahan lima puluhan yang masih cantik dan Sahil bisa menggambarkan rupa Hilwana nantinya di usia yang sama.

"Mama...ehm...ini Letda Sahil yang menolongku dan wisatawan saat terjebak di goa waktu itu." Hilwana mengenalkan mereka berdua dan sesuai pesan Sahil saat di pulau untuk tidak menyebut kesatuan mana dan apa pekerjaannya yang lain. Hanya Letnan Dua.

"Oh...Masya Allah." Mama Hilwana segera menghampiri Sahil sambil tersenyum lebar. "Terima kasih ya, Pak, sudah menyelamatkan anak saya," ucapnya tulus sambil menjabat tangannya. "Siapa tadi namanya?"

"Sahil, Ibu. Assalamu'alaikum," kata Sahil membalas jabatan tangan Mama Hilwana.

"Wa'alaikumussalam. Saya Ibu Atiqah, Mama Hilwa. Silahkan duduk. Silahkan. Yuk? Tolong sini bentar, Yuk." Ia memanggil ARTnya. "Mau minum apa?"

"Tidak usah repot-repot." Sahil tersenyum.

Mereka semua pun duduk dan ART sudah diminta membuat teh.

ISLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang