•.˙‧ Karena seramai apapun renjana yang kuberi, kau tak suah merasa •.˙‧
—tertanda, aku mataharimu dan kau saturnusku
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Play multimedia above!
•˙.˙‧ 𖤛𖤛 ‧˙.˙•
Gesekan sudu dan tala seakan menjadi melodi pengiring lamunan Altar, sembari menyawang Rhea diselingi senyuman dari tungku. Bahagia ternyata sesederhana itu.
Tibalah dimana saat tapak tangan singgah di pundak-nya, "Altar, ngelamun lagi hm?" tegur Wimala.
Wismala menarik pigura, dalam hati mengucap syukur memiliki putra seperti Altar.
Diusapnya surai Altar, "Udah sholat isya belum?"
"Udah kok, umi istirahat aja. Nanti biar Altar aja yang beresin meja makan."
"Ya sudah, setelah selesai membereskan meja jangan lupa makan terus belajar. Jangan tidur kemaleman," ucap Wismala. Seperti menasehati anak kecil saja.
"Iya umi, Altar tau kok. Altar udah gede, gitu aja diingetin."
"Iya kamu udah gede. Tapi—kamu belum bisa berfikir lebih dewasa."
"Maksud umi?"
"Kalau kamu sudah bisa berfikir dewasa, pasti kamu akan melupakan Non Rhea. Kamu seharusnya paham betul dengan posisi kita. Kalian berdua berbeda."
Altar membisu. Kalau boleh jujur, Altar juga ingin melupa—tapi serasa sangat sulit nyatanya.
"Altar tau umi."
"Nak, umi nggak nyalahin kamu atau perasaan kamu. Itu wajar, dan mungkin sulit buat kamu ngelupain Non Rhea. Tapi umi tetep minta, buang jauh-jauh perasaan kamu buat Non Rhea, bisa?"
"Tapi—"
Tiba-tiba seseorang menyela, "Altar, Mala?"
"Nyonya."
"Kalian lagi ngapain? Serius banget kayaknya, sampe dipanggil-panggil ga dateng-dateng."