❛ simposium yang menata
secorak album begitu arum,
kini mulai termuseum. ❜Altar terpegun deru, sebuah kata yang dari dulu ditakutinya telah terpental langsung dari pigura Danu dengan seru.
"Kamu punya perasaan lebih ke Rhea kan?" tanyanya semenit yang lalu, yang membuatnya gagu tak tahu.
Jikalau berbohong, sudah berapa banyak dosa yang ia kutip? Sungguh situasi yang berat telah menimpa hari ini.
"S-saya──"
"Jujur Altar, saya hanya butuh anggukan atau gelengan. Tidak perlu penjelasan."
Terangguk sudah hulunya, begitu juga raganya, "Maaf tuan, jangan pecat umi" ucapnya bersimpuh dalam kaki.
Helah nafas Danu kian menyuruk, "Sejak kapan?"
"S-sejak pertama kali saya melihat Rhea tuan, sepuluh tahun lalu."
"Pantas saja. Aneh jika kamu terlalu melindungi Rhea yang notabenya hanya majikan kamu. Ternyata ada alasan lain rupanya. Sungguh mengecewakan."
"Maaf kan saya tuan. Tolong jangan pecat umi, saya janji akan melupakan Rhea tuan."
"Tidak bisa, kalau kamu terus menerus berada didekatnya, mana bisa kamu melupakan Rhea. Maaf Altar, meski pun Rhea tetap akan saya sekolahkan ke luar negeri kamu dan ibu kamu juga harus pergi dari rumah ini."
"Tapi tuan──"
"Rhea akan pergi seminggu lagi setelah surat pindah sekolahnya selesai diatur. Silahkan gunakan waktu seminggu itu bersama Rhea, saya mengijinkan. Karena setelahnya──Rhea akan saya jodohkan. Tentunya dengan orang yang sederajat dan seyakinan."
Tentu saja, Altar sudah pasti menduga. Cinta yang terlindas kasta serta agama mana mungkin dapat bersama. Terlebih——jika hanya satu yang merasa.
Yang Altar heran dari semua——mengapa begitu sakit dirasa?
Petang berdatangan, kebiasaan kembali dilakukan. Menyawang, hanya saja kali ini bukan ke awang-awang melainkan bilik Rhea yang seharian ini tertutup lekat.
Sesak rasanya.
Altar yakin sekali, gadis itu sedang menangisi kebodohannya saat ini. Altar jua yakin, Rhea butuh teman curhat pelepas duri.
"Satu minggu," gumamnya.
Tungkai kembali terayun masuk. Mengendap ke gudang bawah tanah tempat persinggahan saat dirinya dan Rhea dulu mengikis warsa.
Peti yang senantiasa terkunci kini terbuka lagi. Altar mengambil alih, diambilnya sepasang popi tuan puteri dengan sang mentri. Yang teramat usang kini.
Sakit hati kian menjadi-jadi, sungguh perpisahan ini akan segera terjadi.
Dibawanya sang peti mati penuh histori. Pelan namun pasti menyelinap bilik Rhea, sang rasi sekaligus tuan puteri.
knock knock knock!
Cklek.
"A-altar?"
"Hai tuan puteri, ini sang mentri!"
Rhea, gadis itu mengusap pipi. Tersenyum sudah kini. Altar, sahabatnya yang paling berarti yang akan selalu ia ingat nanti.
"Rhea ngga mau pisah sama Altar. Tuan puteri ngga mau pisah sama mentri."
Altar menaut lengan, berusaha menguatkan. Biar dilihat rembulan. Dirinya benar berat untuk melepaskan.
"Rhea, jangan lupain Altar ya? Tuan puteri ngga boleh sedih lagi, hari ini mentri akan menemani sampai besok pagi. Ayo kita ke alam mimpi!"
"Rhea ngga mungkin lupain Altar. Rhea ngga mau tidur, Rhea cuma mau Altar terus sama Rhea. Altar mau nungguin Rhea pulang nanti kan?"
Altar temenung, air mata sungguh tak kuat dibendung.
"Altar? Altar janji kan? Altar bakal nungguin Rhea nanti kan?"
"I-iya" satu kata mencelos. Sadar tak sadar menculas. Kini yang paling penting baginya senyum Rhea yang terulas.
Dan, petang itu——mereka yang menyebut dirinya bagai tokoh fiksi tuan puteri dan mentri menangis menjadi-jadi. Meraup rindu yang tak bisa diakhiri.
Dunia ini memang keji, yang satu sangat mencintai, yang satu tak menyadari. Mereka bisa saling mendampingi, tapi hanya untuk sesaat kini.
Tak menyangka jika fiksi ini akan jadi duri bagi para rasi.
Altar dan Rhea,
tengah burduka kini.ding! 🕊
merpati datang menghampiri!pesan penulis ::
aku ngga tega ngaramin mereka.
tapi——mau bagaimana lagi?
ada yang masih menunggu?#dariseniuntuksangnurani.
©awknnaaa, 2O19.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBEDO ✓
Fiksi Remaja⚝‧̍̊ ‧⇴ saturn book series。 ⌠" ia interpretasi kartika esa yang merapung di antariksa.⌡ ━━━━━[📹] 2019 © awknnaaa