8. YAKIN OPERASI (Part 2)

312 9 6
                                    

————————————————————
Diletakkan lah bed dan pasien itu tepat di sebelah bed ku. Jaraknya hanya sekitar lima langkah dariku dan hanya terhalang oleh tirai saja. Banyak keluarga Pasien sebelah yang menjenguk. Mulai dari yang muda hingga yang sudah berumur, lalu-lalang melewati bed ku. Aku hanya bisa melihat sedikit wajah mereka. Pertama sewaktu mereka melewati bedku, kedua saat aku mengintip sedikit dari celah tirai yang memang sengaja sudah aku tutup.

"TIIIIIIT........ TIIIT... TIIITT"

Suara dari alat yang berirama detak jantung itu membuat semua khawatir. Di tambah lagi dengan suara erangan dan rintihan Pasien makin membuat semua yang menjenguknya atau menunggunya menjadi sangat-sangat amat cemas.

"Uhhh.... Ughhhh..." bunyi erangan yang keluar dari mulut Pasien itu terdengar parau dan amat kesakitan. Erangan itu terus berulang. Sepertinya Pasien itu ingin mengucapkan sesuatu tapi sangat susah untuk dilontarkan dengan kondisi yang sudah kritis itu.

"Bertahan ya teteh, yang kuat."

Ucap salah satu saudaranya yang berperawakan sudah lumayan berumur. Aku sebut saja dia "Ibu".

Aku tidak begitu tahu maksud dari ucapan "teteh" itu. Mungkin "Ibu" itu menyebutnya begitu karena ada kemungkinan besar Pasien yang sedang dirawat itu anaknya sendiri. Menurutku begitu.

Sewaktu Aku sedang makan, ada perawat RS datang yang bertugas mentensi darahku. Tiap jam kalau tidak salah dia datang.

"Di tensi dulu ya kak." Kata perawat itu.
"Maaf, yang sebelah itu sakit apa ya?" Ujarku sambil berbisik pelan.
"Kanker ovarium kak. Sudah parah."

Ya allah. Kasihan sekali. Pasti banyak yang berharap dia sembuh... semoga kondisinya membaik. Itu sedikit ucapanku yang aku ingat.
Tapi.. Tuhan berkata lain.

————

Setelah orang tuaku datang (Mamah dan Bapa), Aku melanjutkan makanku dengan lahap. Dan.....

Detak jantung pasien itu semakin tidak beraturan. Naik, turun. Doa untuk keluarga pasien itu terdengar sangat sangat jelas. Jeritan salah satu keluarga memenuhi bisingnya dalam ruangan.
"Tetehh..... yang kuat tehhh. Ya allah tetehhh..."

"Ughhhh...ukhhhh...sakitt."

"Hrnghhhh....hrnghhhh...."

Gumaman dan erangan itu terus-terusan terdengar.

Semakin lama erangannya pun semakin melemah. Dan alat yang berbunyi itu sudah terdengar tidak berbunyi stabil. Yang jelas, saat ini suara dari alat detak jantung itu sudah menunjukkan kabar buruk. Artinya tidak ada lagi detak jantung yang stabil. Bunyinya "TIIIIIIIIIIIIIIT" tiada henti. Itu artinya tak ada denyut jantung. Meninggal.

Tak lama salah satu Dokter/ asisten dokter masuk ke ruangan, dan langsung memeriksa kondisi pasien.

"Innalillahi. Pasien sudah meninggal pukul **.***"
(Seingatku kejadiannya mau adzan magrib)

Atmosfer ruangan kamar ini menjadi duka. Semua keluarga yang ditinggalkan pasien itu tak bisa menahan air mata.

"HUUUUU HUUUUU..... TETEHHHHHH!"
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..."
"Jangan ninggalin mamah tetehhh. Jangan tinggalin dede juga. Kasian masih kecil HUUUUUU HUUUUU HUUUU......."

Yang disebut "Dede" itu mungkin anak dari Pasien tersebut.

Suara "Ibu" itu terdengar sangat sedih dan lantang. Tangisannya terdengar sampai ujung pintu masuk.

"Teteh udah gaada mah. Udah ngantunkeun" (Meninggal). Ucap  salah satu keluarga itu.

"Ya allah teteh! HUHUHHUUU."

Aku yang tadinya sedang lahap menghabiskan makanan langsung terdiam. Dan berhenti makan di saat itu juga. Bukan merasa jijik, tapi aku sedih. Mendengarnya aku langsung lemas. Ikut sedih walaupun aku tidak kenal siapa Beliau. Aku serasa ikut menangisi kepergian pasien itu. Mataku berair. Mamah dan Bapa ku juga terdiam. Tunduk. Dan tidak tahu harus bagaimana dan berkata apa.

Setelah itu, salah satu keluarga pasien membuka tiraiku. Mungkin itu suami dari Pasien yang sudah meninggal. Dan langsung bilang begini kepada orang tuaku.

"Maaf ya, kalau kami menggangu, tadi kami berisik."

Bapa ku langsung canggung dan bilang

"Tidak sama sekali pak. Tidak apa-apa."

Intinya seperti itu. Mereka bicara pakai bahasa Sunda. Dan aku masih mendengarkan kata demi kata keluarga pasien itu.

"Maafin teteh ya kalau teteh punya salah." Perkataan itu dia ucapkan kepada semua kenalannya yang berada di rumah sakit maupun lewat telepon.

Ya allah. Jadi pasien itu meninggalkan suami, dan anak yang masih sangat terbilang kecil untuk umurnya yang masih 3 tahun. Sedih sekali. Semuanya menangisi kepergian pasien itu.

Aku termenung.

Tangis pilu itu masih terdengar. Tetapi lama -kelamaan suasana menjadi sepi. Apalagi setelah jenazahnya di bawa dan di pindahkan ke ruangan lain.

Aku bertanya kepada Bapak ku.

"Pak, yang tadi kan sudah meninggal. Mamah Bapak gak bilang apa-apa ke keluarga mereka ikut berduka cita gitu?"

"Tidak. Yang penting sewaktu sholat tadi Mamah sudah doakan."

Balas Mamahku, dan Bapak juga ikut setuju dengan perkataan Mamah tadi. Betul juga ya. Yang penting mendoakan. Karena doa itu gak boleh di umbar, jadi buat apa dibilang-bilang.

Saat sedang sepi, dan tak ada yang sedang memeriksa bed itu, Aku penasaran ingin melihat bed yang tadi Alm Pasien itu tempati.

Mau lihat... pikiranku langsung seperti itu. Mulai kubukalah tirai itu sedikit. Sewaktu belum melihat jelas Bapa ku sudah langsung menegurku.

"Heh, jangan lihat kesitu."

Yah. Dilarang lihat. Yasudah. Padahal aku penasaran... kenapa naluriku seperti itu sih. Orangnya sudah meninggal gak sopan ya main tengok bednya. Mentang-mentang suka genre horror sama thriller, jadinya seperti itu. Dasar.

Tak lama kemudian ada pegawai bagian bersih-bersih kamar. Membawa peralatan kebersihan sambil melewati bed ku. "Permisi", katanya.

Dengan terampil dan cepat, pegawai itu langsung mengganti selimut, bantal, dan barang lainnya dengan yang sudah dia bawa. Yaitu yang baru dan bersih. Lantai pun di pel. Setelah itu dia pergi.

Aku tidak tahu kenapa Pasien itu dibawa ke ruang rawat inap saat kritis. Tapi bukan hal aneh lagi kalau di RS ada peristiwa seperti ini. Namanya juga Rumah Sakit. Orang sakit itu banyak. Mereka datang dan pergi. Ada yang pulang dengan kondisi membaik, dan ada juga yang pulang tetapi berkabung. Bukan aku yang mengada-ada. Tapi ini benar adanya.

Setelah shalat magrib, aku melamun.

Jadi.. kalau nanti Aku meninggal, mungkin suasana nya pilu seperti tadi ya.... dan kalau aku meninggal, aku gak bisa ketemu Mamah dan Bapa lagi dong. Ketemu teteh, Adik, juga S. Kalau Aku meninggal, S nangis gak ya?

Oh iya. Aku lupa kalau operasi juga resiko terburuknya bisa jadi kematian.

Me vs ScoliosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang