07

156 19 4
                                    

Aku bergelung di atas selimut dan merasakan kenikmatan kasur empuk asrama akademi ini. Sejauh ini, tidak ada yang bisa mengalahkan empuknya kasur panti asuhan, namun hari ini, aku mendapatkan penggantinya.

Aku menatap langit kamarku dengan tatapan kosong.

"Sehabis ini, apa lagi?"

Kurasa, sudah cukup melelahkan untuk melatih kekuatanku, juga melatih bakat 'acting' ku dengan mengikuti klub drama juga bermain di film layar lebar. Ngomong-ngomong, hari ini adalah pekan liburan, jadi aku tidak begitu mempermasalahkan kehidupanku di dimensi manusia.

Tapi, masalahnya akan datang, saat masa liburan ini habis. Aku harus pintar-pintar membagi waktu, antara dimensi manusia dan dimensi sihir. Sekalinya salah berpindah tempat, semua penyamarannya pasti akan gagal.

Aku memasukkan tangan ke salam saku celana dan menemukan sebuah buku kecil.

"Oh iya!" pekikku tanpa sadar saat menyadari bahwa buku itu adalah jadwal harianku.

Dengan terburu-buru aku membuka buku tersebut dan meneliti satu per satu jadwal yang seharusnya kulakukan hari ini.

· Membuka portal
· Menyamar di dimensi sihir
· Mendapatkan informasi mengenai dimensi sihir
· Meneliti pembagian waktu

Ah iya, aku harus mencari informasi.mengenai pembagian waktu.

Kalau tidak salah, aku membuka portal sekitar jam tujuh pagi. Lalu, saat aku masuk ke dimensi ini, matahari telah berada di atas kepala. Alisku kembali bertaut saat memikirkan beberapa kemungkinan. Kemungkinan baiknya, memang ada perbedaan waktu sekitar lima sampai.enam jam antara dimensi manusia dengan dimensi sihir. Dimensi sihir lima sampai enam jam lebih dulu dibandingkan dimensi manusia.

Sedangkan kemungkinan buruknya, tidak ada perbedaan waktu. Karena.mungkin saja aku tidak sadarkan diri setelah keluar dari portal dan baru sadar saat matahari sudah berada di atas kepala.

Aku merengut, kalau memang tidak punya perbedaan waktu bagaimana?

Aku harus menyusun surat izin sekolah-- tidak bisa! Bukankah aku harus mengawasi Catherine?!

***

Hari ini adalah hari keduaku berada di dimensi sihir-- tepatnya di akademi sihir. Saat makan malam kemarin, aku terpaksa berhadapan dengan beberapa teman senasib yang kebingungan karena dibawa ke tempat yang jauh dari dimensi manusia. Ralat, sebenarnya bukan senasib, melainkan aku saja yang membuatnya terlihat demikian. Kami sama-sama terdiam dan tidak terlinat dalam percakapan.

Kalau aku tidak salah ingat, jumlah peserta makan malam kemarin sekitar tiga sampai empat puluh orang. Mayoritas adalah seorang penyihir angkatan Leonore, minoritasnya adalah kami. Penyihir yang selama sebelas tahun ini hidup di dimensi manusia.

Makan malam kemarin berjalan lancar dan cenderung sepi, hening. Seperti yang kubilang, tidak ada percakapan sama sekali kecuali suara perintah Leonore yang mempersilakan kami untuk memulai acara makan malam.

Lalu, hari ini aku hanya menghabiskan waktu untuk berkeliling akademi sambil melihat-lihat keadaan sekitar. Hitung-hitung, sebagai usahaku untuk mencari tempat yang aman untuk membuka portal tanpa ketahuan oleh pihak akademi. Karena tidak mungkin aku bisa leluasa membuka portal di dalam kamar asrama.

Mungkin saat ini bisa, tapi saat aku mendapatkan teman sekamar, kurasa membuka portal di dalam kamar asrama adalah hal yang paling buruk.

"Hai!"

Seorang gadis menyapaku.

Aku sangat ingin mengumpat tapi tidak bisa.

"Hai," balasku canggung dan berbalik ke arahnya.

Seorang gadis berambut cokelat dengan iris mata cokelat kemerahan.

"Anu... kalau kau tidak keberatan, apa kau mau berteman denganku?"

Aku mengernyit. "Boleh saja."

Ia tersenyum. "Perkenalkan, namaku Tiffany. Kamu?"

"Luna."

"Baiklah Luna. Kalau begitu, kita berkeliling yuk. Aku masih belum bisa menghafal seluk beluk akademi ini. Katanya, akademi ini dibangun dengan sihir lho."

"Bukannya kita juga punya sihir?"

Ia menoleh dan menatapku dengan antusias. "Wah kau juga mempercayainya?"

Sontak aku memalingkan wajah. "Tidak juga sih," sahutku berusaha terlihat tenang. "Tapi, sesuai dengan apa yang Leonore katakan, memang begitu faktanya, kan?"

Ia menganggukkan kepalanya senang dan kembali memperhatikan sekitarnya. Ini kali pertama aku.mendapat seorang teman di dimensi sihir, walau di sarang musuh.

Tapi saat itu aku tidak tahu, bahwa anak ini terlalu pintar untuk disebut naif. Bahkan, aku tidak tahu bahwa dia yang membuat penyamaranku terbongkar di kemudian hari.

***
Pelajaran sihir pertama dimulai tepat seminggu setelah aku berada di dimensi sihir.

Tidak ada yang menarik dari pembelajaran kali ini. Karena aku harus berpura-pura belum mendapatkan kekuatanku, berpura-pura antusias terhadap materi sihir yang diberikan, juga berpura-pura terkejut saat guru menunjukkan aksi sihirnya.

Kesialanku tak sampai di situ saja. Karena terlalu gemas untuk terus berpura-pura, kekuatan controllerku tiba-tiba muncul dan tidak sengaja membuat bangku melayang ke arah jendela. Otomatis, semua orang melihat ke arahku dengan tatapan terkejut, bahkan ada yang membuka mulutnya lebar-lebar.

Mereka berseru heboh setelahnya, sampai miss Sheila harus berteriak untuk menenangkan mereka. Miss Sheila menghampiriku yang pucat akibat tidak sengaja mengeluarkan sihirku. Alih-alih dimarahi, miss Sheila malah memberiku pujian dan menyarankan agar aku segera masuk ke tingkat dua.

Sukses, rahang bawahku terjatuh dan membuatku ternganga lebar. Kalau naik tingkat, itu artinya aku akan belajar sihir seorang diri?

Beberapa anak lainnya terus berseru heboh dan bertanya-tanya padaku bagaimana rasanya mengeluarkan sihir. Dengan cuek kuendikkan bahu agar mereka segera menjauh dan tak menggangguku lagi.

Dan seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, keesokan harinya, aku masuk ke tingkat dua dan menjadi satu-satunya murid yang mendapat kekuatan sihir besar.

Aku menepuk dahi karena gemas. Sampai kapan aku harus membuat kesalahan fatal seperti ini?

Lagi-lagi kesialanku berlanjut. Sekitar tiga hari mempelajari sihir, akademi.kedatangan murid baru, dan aku mendapatkan teman sekamarku. Ada satu rahasia besar miliknya yang membuatku dapat memanfaatkannya. Ia begitu pendiam dan menutup rapat dirinya dari dunia luar. Namun, aku pernah tak sengaja melihat buku catatan kecilnya mengapa ia begitu dibenci oleh teman-temannya.

Karena... ia adalah seorang, half blood.

Berbeda denganku, ia telah mendapatkan kekuatan sihirnya semenjak ia masih berada di dimensi manusia namun, ia tak cukup pintar untuk mengendalikan kekuatannya. Meski manusia lainnya tak mengetahui perihal kekuatan sihirnya, sihir manipulasi miliknya cukup membuatnya mengacaukan keadaan sekolahnya. Ia sering kali berhalusinasi hingga teman-temannya menganggapnya aneh. Dan seperti apa yang sudah kuduga, teman-temannya membencinya.

Aku tersenyum. Dia, akan kugunakan sebagai tameng penyamaranku.

************************************
Published : 22 Februari 2019

POM #1.5 Lunaria Evil [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang