5. Putra Marquess Sombra

303 13 20
                                    

-Beberapa Bulan Kemudian-

Saat ini Eve dan aku sedang bermain berada di ruang tengah. Ketika sedang tidak memperhatikan, Eve dengan iseng menggenggam sebuah mainan di salah satu tangannya dan menunjukkannya padaku dengan posisi punggung tangan menghadap ke atas. "Kakak, coba tebak mainan tadi ada di tangan yang mana?" tanyanya sembari tersenyum lebar.

"Hm, mau bermain tebak-tebakan? Kalau Kakak menang ... Kakak akan dapat apa nanti?" Aku tersenyum tipis menanggapinya.

"Hm, apa, ya?" Eve tampak menimbang-nimbang. Ia melanjutkan, "Kalau Kakak menang, nanti akan Eve peluk. Tapi kalau Kakak kalah, Kakak harus peluk Eve."

"Um ... bukankah itu sama saja, Nona Eve?"

Aku pun berpikir sejenak sambil mengingat-ingat kebiasaan Eve dalam mengenggam sesuatu. Beberapa detik kemudian, aku menunjuk salah satu tangannya. "Baiklah, aku memilih ini," ucapku sambil menunjuk tangan kirinya. Eve pun tersenyum sembari membalik tangan kirinya, lalu membuka telapak tangannya. Isinya kosong! Aku menggerutu, Bagaimana bisa? Bukankah dia kidal?

"Ahahaha ... Kakak salah!" ucap Eve sambil menjulurkan lidahnya.

Di luar dugaanku, ternyata adik kecilku ini lumayan pandai juga dalam mengelabuhiku. Aku jadi terpikir, bagaimana jadinya jika ia sudah dewasa dan mengenal dunia lebih luas lagi. Mungkinkah dia akan menjadi cendekiawan yang nantinya dipanggil oleh Kaisar dan mendapat akomodasi selayaknya bansawan tertinggi? Jika begitu, kuharap dia pun bisa mendapat pasangan yang sama berkualitasnya. Setelah beberapa saat aku pun berkata, "Oke aku kalah. Sekarang buka tangan kananmu!"

"Em ..." Dia terlihat ragu-ragu untuk membukanya, namun ketika akhirnya telapak tangan kanannya terbuka juga, ternyata tidak ada apa-apa di genggamannya. Eve tersenyum lebar. "Ehehe, maaf Kakak," ucapnya kemudian. Kutarik kata-kataku tadi yang mengatakan jika dia pandai mengelabuhiku. Dia hanya suka berbuat iseng!

"Heh, kalau begitu peluk kakakmu ini sekarang."

Dia menggeleng kepala. "Tidak mau! Kakak yang harus peluk Eve, bukankah Kakak yang kalah?" balasnya tidak mau kalah. Karena tidak ingin dia menangis dan memperpanjang masalah dengan Ayah atau Ibu, aku hanya bisa menuruti permintaannya.

"Baiklah. Oh, bagaimana kalau berpelukan saja? Kakak rasa itu lebih adil." Aku mengajukan usul. Begini-begini aku tetap masih menginginkan hadiah kompensasi karena telah dicurangi.

"Setuju!" Untungnya dia mau menurut begitu saja. Dia bersemangat dan langsung memelukku, aku pun juga membalas pelukannya.

"Dasar adik kecil hahaha." Kubalas pelukannya dengan lembut sambil sesekali mengelus kepalanya.

"Hehehe, itu karena Eve adiknya Kakak Bachtoru." Pelukannya semakin erat. Aku hanya bisa tertawa dalam hati.

Dasar anak kecil.

__________

Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali karena diminta ikut ke Desa Kaldehar dengan Ayah untuk menyelidiki sesuatu terkait wabah pertanian. Selama beberapa bulan ini kondisi Ayah juga tetap stabil seperti sebelum-sebelumnya, hanya butuh waktu beberapa hari baginya untuk pulih dari tragedi pembunuhan waktu itu. Tiga hari setelah pemakaman pun dirinya kembali menyibukkan diri dengan dokumen-dokumen kerajaan dan sering bepergian untuk mengurus banyak hal, salah satunya adalah hari ini.

Sepeninggal Penasihat Alexander, kursi penasihat utama kerajaan tetap kosong hingga sekarang. Banyak masyarakat sekitar yang berkumpul dan saling mengusulkan nama-nama kandidat yang cocok untuk mengisi posisi penasihat utama selajutnya, dari pemimpin desa yang sudah berumur maupun yang baru berumur dua puluhan. Tuan Ardrake, ayahku, bukanlah pengecualian. Tidak banyak orang tahu bahwa Ayah dan Tuan Alexander adalah kawan dekat—lebih tepatnya seperti semacam senior dan junior—dan sering diajak berdiskusi khusus mengenai beberapa hal penting di kerajaan ini. Tapi, entah beliau mengetahui perihal dirinya yang dikandidatkan sebagai penasihat selanjutnya, Ayah tetap berlaku normal seperti biasa dan bahkan tak pernah membicarakan hal ini di rumah.

The Prime ArdrakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang