4. Sedikit Beruntung

374 17 36
                                    

Ketika bangun, kata pertama yang terlintas dalam benakku adalah: sunyi

Meskipun kamar tidurku berada di lantai atas dan dinding ruangan ini kedap suara sehingga kebisingan baik dari bagian lain mansion maupun jalanan di luar tidak akan begitu terdengar, suasana pagi ini terasa berbeda dari biasanya.

Lengang, tak hidup, muram.

Pagi itu, seperti biasa Tania mengetuk pintu dan memasuki kamarku setelah mendapat izin. Dengan cekatan disiapkannya air mandi hangat dan pakaian untuk hari ini. Kali ini, anehnya, ia tidak banyak bicara. Tania mengucapkan beberapa patah kata mengenai di mana dirinya meletakkan pakaian yang akan kupakai, dan kemudian memintaku turun untuk sarapan setelah mandi.

Awalnya aku tak terlalu menaruh perhatian pada sikap anehnya hari ini, terlebih lagi menurutku kelakuannya yang sekarang jauh lebih baik daripada sosok Tania yang suka berbicara dan basa-basi. Dengan malas, kulemparkan pandangan ke arah setelan yang dipersiapkan oleh perempuan itu, kemudian tertegun.

Pakaian hitam?

Detik berikutnya, Tania masuk lagi ke kamarku. Aku menoleh, menatapnya yang juga tengah mengarahkan pandangannya ke arahku. Kami pun saling bersitatap selama beberapa detik, kemudian Tania tersenyum dan berkata, "Apa ada sesuatu, Tuan Muda?"

"..."

Kupandang perempuan itu dan terdiam. Sejak kecil aku telah dianugerahi bakat alami, yakni peka terhadap emosi orang lain. Memang tidak seeksplisit hingga membaca atau menebak jalan pikiran atau isi hati seseorang, tapi setidaknya aku bisa membedakan mana ekspresi yang asli dan mana yang dibuat-buat. Mana yang memang tersenyum bahagia dan mana yang menutupi kesedihan dengan senyuman. Mana yang memang sedih, dan mana yang berpura-pura memelas demi mendapat simpati. Mana yang benar-benar takjub atau senang atas sesuatu dan mana yang berpura-pura takjub agar tidak menyinggung orang lain. Lalu, wajah yang kulihat kali ini tampak murung tapi juga seolah tidak sebegitu terpengaruh akan sesuatu, seolah bukan hal yang patut menjadi urusannya.

Kupikir, wajah murung Tania ada hubungannya dengan kejadian kemarin malam ketika dinding emas nan elok dapur mansion telah berubah kehitaman dalam sekejap akibat ulahku, dan para pelayan memintaku bertanggung jawab. Tapi melihat setelan serba hitam, pikiranku langsung terarah pada jawaban yang lebih meyakinkan.

"Apa ada yang meninggal?"

Tania terkejut, raut wajahnya seketika berganti menjadi ekspresi "bagaimana Anda bisa tahu?" dan terdiam sejenak. Ia mengangguk kemudian.

"Siapa?"

Tania kelihatan menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Penasihat Utama Kerajaan Tan ... Johann Alexander."

Alexander? Sepertinya tidak asing. Kuulang-ulang nama ini dalam kepala seraya mencoba mengumpulkan bongkahan memori yang tersusun acak-acakan dalam ingatanku.

Alexander ....

Johann Alexander ....

Penasihat Utama Johann Alexander ....

"!!!"

Mataku membelalak. "Ahli Strategi Alexander?!"

Tania sempat terkesiap dengan seruanku dan mengelus dada sebentar. Ia mengangguk kecil.

"Bukankah dia orang yang dikagumi Ayah?! Dan dia mati?! Bagaimana bisa mendadak begini?!"

Tania sempat terdiam sejenak, kemudian membantuku berdiri dan mengarahkanku ke kamar mandi yang bak mandinya telah terisi air hangat. "Saya tidak tahu detailnya," ucapnya beberapa saat kemudian. "Mungkin Tuan Muda bisa bertanya langsung pada Tuan Besar nanti ketika beliau sudah kembali." Setelah berkata begitu, ia berjalan menuju pintu dan berniat menutupnya ketika mendengarku bersuara lagi.

The Prime ArdrakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang