Chapter 4. Rahasia

1.1K 256 462
                                    

"Kadang kau memang harus melepaskan, bukan karena sudah tak cinta, tapi karena kau lebih mencintai dirimu yang terus terluka."

February, 19, 2019

*****

Ibunya dan Namju duduk di meja makan, sama-sama mengarahkan tatapannya pada Baechu yang berselonjor sambil tertawa-tawa di sofa menonton tv. Kaos kaki berwarna ungu muda belum dia lepas, masih memakai piyama tidur dan bandana berhias telinga kelinci di kepalanya.

Wanita itu menghela nafas berat berkali-kali. Sarapan yang seharusnya membuat perut kenyang hanya terabaikan, teronggok di piringnya sampai mendingin. Sementara Namju bersikap seolah tidak peduli, makannya lahap karena dia tidak mau kelaparan siang nanti di sekolah.

"Dia tidak pernah memikirkan soal pekerjaannya, untung paman kalian orang yang baik dan ibu bersyukur memilikinya."

"Kenapa tidak membawanya ke psikiater lagi?" Namju merasa hal itu memang perlu mengingat kepribadian kakaknya yang suka menyendiri dan kabur dari rumah sangat merepotkan.

4 tahun itu bukan waktu yang singkat dimana seseorang harus berada pada satu titik yang sama tanpa adanya perubahan. Bersedih, berhalusinasi, dan terlalu berharap bahwa keajaiban akan datang. Lagi pula dunia ini bukan sekedar berpusat tentang cerita drama, tapi banyaknya kenyataan hidup yang tidak semua bahagia harus bisa diterima oleh akal sehat manusia. Sakit memang, tapi itulah kenyataan.

"Kau kan tahu sendiri dia selalu menolak ajakan ibu ke dokter. Nanti kalau ibu memaksa dia akan marah dan malah tidak mau pulang. Ibu ini serba salah."

Kali ini Namju menghentikan makannya lalu mendongak, sedikit merasa iba mendengar kalimat dari ibunya yang pagi-pagi sudah tidak bersemangat.

Kemudian ibu melanjutkan, " usianya sudah mendekati 27 tahun, aku khawatir tidak ada pria yang mau menikahi kakakmu dengan kondisinya yang seperti itu."

"Dia kan tidak gila," Namju kembali melahap sarapannya banyak-banyak. Pemikiran dari orang-orang semacam itu yang paling tidak bisa dia terima mengenai kakaknya. "Nuna masih menanggapi orang yang berbicara, dia bahkan bisa bekerja, menghasilkan uang. Dia masih berada pada level manusia normal kurasa. Gila itu kan kalau dia sudah tidak mau mandi dan bicaranya melantur, jadi gembel di jalanan."

"Aku tidak bilang putriku sudah gila, tapi dia punya harapan berlebih pada sesuatu yang memang tidak ada."

"Kalau begitu jodohkan saja dia dengang seseorang. Ibu kan punya banyak kenalan, cari salah satu dari mereka yang punya anak laki-laki, terutama yang sudah mapan," Namju langsung mengaduh begitu kepalanya dipukul sendok oleh ibunya.

"Yang jelek saja belum tentu mau, memangnya menikah itu hanya soal urusan uang dan tampang? Butuh perasaan, butuh pengertian dan butuh kerja sama. Ah sudahlah, kau belum mengerti soal itu. Sana berangkat sekolah, nanti kau terlambat."

Sambil memanyunkan bibirnya, Namju meletakan sendok serta garpu lalu meneguk air putihnya sampai tandas. Ibunya mungkin berpikir bocah itu tidak permah mengkhawatirkan kondisi kakaknya, tapi Namju diam-diam juga mencemaskan hal itu. Acuh bukan berarti benar-benar tidak peduli kan?

Baechu baru beralih ke meja makan setelah Namju menghilang dari balik pintu. Dia belum begitu merasa lapar tapi kalau dia tidak makan, ibunya pasti akan mengomelinya habis-habisan.

"Hari ini ibu menerima banyak pesanan membuat kue dan makanan lainnya, apa nanti kau mau kalau ibu suruh untuk berbelanja?" tiba-tiba ibunya teringat kejadian kemarin yang membuat putrinya masuk klinik karena melihat ada kecelakaan di jalanan. "Tidak jadi, biar nanti ibu yang membelinya sendiri saja," ralatnya cepat.

Cafe UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang