17

12 2 0
                                    

Angin malam berhembus, perlahan merasuk tubuhku. Aku tetap menatap langit, memohon kepada gemintang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Tempo hari Reifan datang mengunjungiku. Tak lama, ia harus kembali pulang. Ia berpesan bahwa ia mungkin akan jarang bahkan tidak aktif menggunakan sosmed. Tapi nyatanya, ia masih aktif di sosmednya dan mempublikasikan foto bersama teman perempuannya.

Dalam kata lain, aku cemburu.

Waktu menunjukkan pukul 00:20 kala ku menengok jam di ponselku. Beberapa pesan masuk, tapi tak satu pun dari Reifan.

Aku berjalan dengan langkah malas menuju kamar, berniat ingin merebahkan tubuh dan beristirahat. Baru saja aku memejamkan mata, ponselku bergetar. Aku menjawab panggilan itu

“Iya? Kenapa?”

“Hai Ca.. apa kabar? Kamu baik-baik aja kan?”

“Iya, aku baik”

“Syukurlah. Oh iya, ko kamu jam segini belom tidur?”

“Kalo kamu ga nelfon juga aku udah tidur ini”

“Hmm.. aku ganggu ya?”

“Udah jam berapa ini? Aku mau tidur”

Aku memutus sambungan telfonnya dan memilih untuk kembali beristirahat. Tak lama, satu pesan masuk

Reifan : Kamu kenapa sih? Agak beda kayanya

Tak ku tanggapi. Aku memilih untuk tidur.
Paginya, aku tiba disekolah dengan malas. Aku melangkah menuju ruang kelasku tanpa menghiraukan sekelilingku.

Bruk!

“S-sorry sorry, gue buru-buru” ucapnya dengan nafas yang terengah-engah

“Iya gapapa, santai” aku menunduk dan kembali berjalan menuju kelas

“Tunggu” aku menghentikan langkahku “Mendung banget kayanya, ada apa? Gabakal hujan kan?”

“Hujan? M-maksudnya?”

“Iya, wajahmu nampaknya mendung. Tak akan ada air mata yang jatuh, kan?”

“Ntahlah, semoga saja tidak”

“Ada yang ingin kau ceritakan? Tentang apa yang kau rasakan saat ini mungkin?”

“Tapi gue baik-baik aja, Za”

“Pulang sekolah gue tunggu di parkiran samping sekolah, okay?”

“Iya, gue masuk kelas dulu ya”

Hari itu tak jauh berbeda dengan hari-hari lainnya. Yang berbeda hanyalah pandanganku terhadap Reifan. Kenyataan yang membuat pandanganku terhadapnya berubah begitu saja, aku sudah merasa dibohongi olehnya,

Ryan Reza : Gue udah di parkiran
Me : Iya tunggu bentar

Aku menghampiri Reza yang sudah menungguku. Kami pun memutuskan untuk pergi ke salah satu restoran cepat saji yang ada tak jauh dari sekolah.

Sesampainya disana, kami memesan makanan lalu Reza memilih untuk menempati meja dibagian luar.

“Tumben ngajak gue jalan, ada apa?” aku membuka percakapan

“Gapapa ko, gue cuma mau nemenin lo aja”

“Nemenin?”

“Iya, tadi pagi mendung banget soalnya, gue takut ada hujan badai”

“Segitunya banget apa?”

“Yaa.. kan takutnya gitu. oh iya, gaada yang mau lo ceritain gitu?”

“Kalo itu sih ya pasti lo udah tau lah”

“Tentang?”

“Siapa lagi kalo bukan tentang Reifan”

“Lo suka ya sama dia?”

“Ya gitu lah, mungkin terlanjur sayang” aku mengangkat bahu

“Terlanjur sayang?”

“Ntahlah, mungkin perasaan gue salah. Tapi gue gabisa ngeboongin perasaan gue sendiri Za. Gue gangerti”

“Gangerti apanya sih Ca?”

“Za, lo tau kan dulu gue sedeket apa sama Reifan?”

“Ya, terus?”

“Gue udah ngerasa diboongin sama dia”

“Maksud lo?”

“Za, asal lo tau. Gue udah sedeket itu sama Reifan. Dia udah memperlakukan gue lebih dari sekedar temen.”

“Hmm, okay” Reza mengangguk “Lanjut”

“Coba lo pikir, cewe mana yang ga baper sama cowo yang selalu ada buat dia. Cowo yang selalu nemenin dia di kondisi apapun. Cowo yang selalu ngertiin suasana hatinya”

“Lalu..?”

“Gue udah terlanjur sayang sama dia. Bahkan gue rasa dia juga nyaman sama gue. Gue kira dia bakal ngerasain hal yang sama kaya yang gue rasain. Tapi ternyata diem-diem dia udah punya yang lain disana”

“Lupain aja, toh dia juga udah jauh disana kan”
“Kalo ngelupain dia segampang omongan sih gue udah ngelupain dia dari dulu”

“Ya emangnya, apa yang bikin lo susah ngelupain dia?”

Aku mengeluarkan buku catatan Canopus ku
“Ini buku lo?” raut wajah Reza berubah

“Ini buku yang dia kasih seminggu setelah dia pergi”

“Oalahh” ia mengambil buku ku dan mengamatinya

“Jangan dibuka, jangan baca isinya”

“Iyaa santai aja” ia tersenyum kepadaku “Kenapa harus ini gambarnya?”

“Pesawat kertas? Kenapa emngnya Za? Aneh ya? Hehe, itu gambar kesukaan gue. Kalo gue bosen, pasti gue gambar-gambar kaya gitu”

“Aneh? Siapa bilang?” Ia mengeluarkan buku catatannya dan menaruhnya dalam keadaan terbalik

“Ohh pamer buku juga? Mau keren-kerenan nih ceritanya?”

“Noh liat” ia membalikkan bukunya memperlihatkan jelas cover buku itu

“Za? Kok, kok buku kita covernya mirip? Gambar pesawat kertas..” aku mengamati buku catatan berwarna biru tua milik Reza itu “Bedanya cuma di tulisannya aja. Punya gue Canopus, kalo punya lo.. Ca-“

“Capella, bintang yang paling terang di rasi Auriga, bintang tercerah keenam di langit malam, dan juga bintang paling cerah ketiga di langit utara”

“Eh? Bintang? Kalo gasalah, Canopus juga nama bintang deh. Iya kan?”

“Iya, tapi Canopus sama Capella bukan dari rasi yang sama” Reza mengambil buku milikku dan menaruhnya bersebelahan dengan buku miliknya lalu memperhatikan keduanya “Ko bisa persis gini deh Ca?”

Aku mengangkat bahu “Ntahlah, gangerti”
15 menit terdiam mengamati ‘buku kembar’ kami. Tak tau bagaimana bisa ternyata buku milikku punya kembaran.

“Au ah bodo amat. Mungkin cuma kebetulan” ucapku sambil membereskan barang-barangku. Langit semakin gelap, tanda aku harus cepat pulang

“Gue anter ya” Reza menawarkan diri “Santai, rumah kita searah kok”

“Yaudah kalo lo yang mau nganterin mah”

“Yes!”

“Kenapa lo?”

“ng-ngga gapapa, yuk deh pulang”

Biar Hujan Satukan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang