2

58 4 0
                                    

Hari masih terlalu pagi. Kala ku membuka ponselku, muncul satu nama pada kolom notifikasi. Tak lain dan tak bukan,
Ka Ardi : P
Ka Ardi : P
Ka Ardi : Hari ini lo sibuk ga? Gue jemput ya? 15mnt lgi gue nyampe rumah lo

Begitulah Ardi yang ku kenal, pangeran gabut yang selalu mengajakku pergi kemanapun ia mau. Dia tau jika aku akan selalu meng-iya kan ajakannya, karena aku tak tega jika harus membiarkannya pergi sendirian, seperti anak hilang.

Me : Buset, gercep parah lo kalo urusan beginian

Ka Ardi : Bacot dah. Udh sono siap-siap. Gue udh nyampe, gue tunggu dibawah. Gece lo.

Aku bergegas mengganti  baju, mengambil tas dan pergi menemui Ardi yang sudah menunggu didepan rumahku. Tak seperti biasanya, kali ini ia terlihat lebih ganteng dengan pakaiannya dan dengan membawa si blue, motor kesayangannya.

“Nih, pake helm. Harus safety riding kitaa” Ardi menyodorkan helm kepadaku.

“Tumben, biasanya juga lo cuek kalo gue gapake helm. Arogan pula kalo bawa si blue” aku menyindir Ardi, lalu mengenakan helmnya.

“Kan hari ini bawa ade gue sendiri, yakali arogan” jahilnya kumat, Ardi tiba-tiba memukul helm yang aku kenakan

“Ishhh apaan sih mukul-mukul?!” dengan cepat, aku mencubit kedua lengan Ardi

“Eh aduh sakit Caa.. apaan sih, kan gue ga nyubit Caa.. Aw! Sakiit bodohh” Ardi meringis kesakitan

“Iya tapi lo mukul helm dikepala gue!” aku melontarkan pembelaan. Ardi membalas cubitanku. “Apaan sih ka?! Gue gigit nih!” aku menarik lengan Ardi,

“Eh iya iya ngga gue cubit lagi ko, iya asli sakit banget tangan gue Ca. Gila lo ya” Ardi mengelus-elus lengannya yang ku cubit.

“yaudah ayo berangkat, kelamaan kalo ribut dulu mah”

“Yaudah sih kan lo yang ngajak ribut duluan”

Ya seperti itulah yang terjadi setiap kali kami bertemu. Itu sebabnya aku begitu kesal dengannya karena ia selalu mengajakku bertengkar setiap kali bertemu. Sekalipun itu disekolah, didepan banyak temannya. Ardi tetaplah Ardi yang selalu suka mengajakku bertengkar.

“Tumben ka lo ngajak gue riding, gabiasanya. Ada apa?”

“Gaada apa-apa, gue cuma kangen aja sama lo. Mau ngabisin waktu seharian berdua sama lo” jawabnya santai

“But, why me?” aku masih berusaha mencerna kata-katanya

“Karena cuma lo yang bisa ngertiin gue, yang selalu mau gue ajak pergi kemanapun itu. Dan itu pula sebabnya gue nganggep lo udah kaya ade gue sendiri” Ardi tersenyum, lalu menjitak kepalaku, “Kenapa nanya begitu Ca?”

‘Gue nganggep lo udah kaya ade gue sendiri’. Harusnya aku senang karena sudah dianggap adik olehnya. Tetapi setelah mendengar kalimat itu, aku merasakan sesuatu yang sedikit menyesakkan dihatiku.

~ ~ ~ ~

Akhir-akhir ini Ardi sama sekali tak memberiku kabar. Di sekolah pun aku tak pernah bertemu dengannya. Dia juga tak meng-update apapun di sosmednya.

Kenapa lagi-lagi ia menghilang begitu saja?

Tapi, mengapa aku begitu peduli dengannya?

Apakah hatiku menaruh rasa yang berbeda padanya? Tidak, tidak mungkin aku mempunyai perasaan pada Ardi.

Aku sadar ia telah menganggapku sebagai adiknya, maka dari itu aku tak boleh mengharapkan sesuatu yang lebih darinya.

Hari itu terasa berbeda. Suasana hatiku sedang sulit dibaca. Mengindari keramaian, aku memilih untuk pergi ke kantin saat jam pelajaran berlangsung. Aku sering melakukannya ketika suasana hatiku sedang tak mau diganggu. Aku memilih meja paling pojok. Aku duduk menyendiri dengan membaca novel dan mendengarkan musik.

“Lo Alisha? Yang anak IPS itu kan?” seseorang menghampiriku, aku sama sekali tak tau siapa dia.

“Iya, kenapa?” aku melepas earphone yang aku kenakan dan menutup novel yang sedang kubaca

“Gue boleh duduk disini?” ia menunjuk kursi dihadapanku

“Iya iya gapapa duduk aja, santai. By the way, ada apa ya? Ada yang mau diobrolin?”

“Ng-ngga ko, gaada apa-apa. Gue cuma mau kenalan aja sama lo”

“ohh kirain ada apa”

“Lo mabal? Atau emang lagi pelajaran kosong?”

“Ada guru sih tadi. Gue males belajar, pelajaran lintas minat Fisika. Gue tadi  izin mau ke perpus, minjem buku. Tapi daripada gue balik ke kelas dan harus belajar, mending gue kesini” jelasku

“Anak IPS brandal juga ya” sindirnya “Oh iya, kenalin, gue Ryan Fahreza Mahardika. Terserah mau manggil gue Reza ato Dika, senyaman lu aja. Tapi kalo udah nyaman, manggil sayang juga gapapa ko”

“Eh gimana-gimana?” aku tertawa mendengar perkataannya.

“Aduhh garing ya gombalnya?” ia menggaruk kepalanya

“Ngga ko, ngga garing. Cuma ya kurang greget aja gitu”

“Nanti pulang sama siapa Sha? Bareng gue aja ya”

“Pulang nanti? Ojek online paling, kaya biasanya”

“Sama gue aja Sha, mau ga?” Reza tersenyum sambil sesekali mengangkat alisnya, wajahnya seperti menandakan bahwa ia ingin sekali aku meng-iya kan tawarannya

“Gapapa nih? Ga ngerepotin? Rumah gue jauh loh”

“Gapapa Sha, ini gue yang mau nganterin lo pulang, santai aja” ia tersenyum “Nanti gue samperin ke kelas lo pas udah bel pulang”

“Apapun itu. Intinya jangan bikin gue nungguin lo. Nunggu itu gaenak. Apalagi kalo yang ditunggu itu gapasti, beuhh gaenak banget deh rasanya”

“Lah? Curhat mba?” Kami tertawa bersama. Perkenalan singkat namun berkesan. Sorot matanya membuatku merasakan sesuatu yang berbeda dihatiku.

Biar Hujan Satukan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang