14

16 2 0
                                    

Hari-hari berlalu. Ini sudah satu minggu aku tak mendapat kabar apapun dari Reifan setelah ia pulang dari rumahku hari itu. Namun seingatku, aku mendapat selembar kertas yang terlipat rapih diatas meja belajarku. Aku sebenarnya tak memikirkan apapun tentang kertas itu, karena kufikir kertas itu memang milikku yang ku taruh disana.

Sesampainya dirumah, aku langsung mencari kertas itu. Beruntungnya, kertas itu tetap ada disana. Aku membuka lipatan kertas berwarna biru muda itu. Dengan saksama, aku membaca kata demi kata yang tertulis disana.

Jaga diri baik-baik ya! Jangan sedih-sedih disana, Reifan tau Ica pantas buat bahagia. Oh iya, maaf ya Ca Reifan pamitnya cuma lewat kertas ini aja. Tapi Ica jangan marah ya, Reifan sayang ko sama Ica. Salam buat orangtua Ica, Reifan udah pamit ko sama mereka. Sampe ketemu lagi ya Ca, Reifan sayang Ica’

Aku terdiam memandang rintik hujan yang mulai turun bersamaan dengan airmata ku yang perlahan mulai membasahi pipi. Kini, aku kehilangan seseorang yang aku sayang. Ia pergi saat aku mulai mencintainya.

Aku memejamkan mata, berusaha untuk tak larut dalam kesedihan. Ponselku terus-menerus berbunyi, namun aku tak menggapinya. Hujan pun mulai reda, ku rasa aku pun harus berhenti larut dalam kesedihan itu.

Aku membuka ponselku, kala bergetar kembali. Beberapa panggilan tak terjawab, disertai dengan puluhan pesan singkat yang masuk. Aku tersenyum dibuatnya. Namanya terpampang jelas di layar ponselku.

Reifann : Ca, Ica lagi apa? angkat dong telfon Reifan

Aku tak membalas bahkan membuka semua pesan darinya. Aku memilih untuk menunggu panggilan darinya saja. Tak lama, ia benar menelfonku kembali. Segara aku mengangkatnya.

“Ca? Ica? Kamu apa kabar Ca? Reifan kangen Ca sama Ica. Reifan baru satu minggu disini, belum punya temen. Bete banget dari kemaren gapunya kuota buat chat Ica, gapunya pulsa juga buat nelfon Ica. Maaf ya Ca, Reifan pergi tanpa pamit sebelumnya ke Ica. Reifan juga sebenernya gamau pergi, tapi Reifan harus ikut orang tua Reifan”

Mendengar suaranya, membuat airmata ku berhasil menetes. Aku benar-benar merindukan sosoknya. Aku tersenyum, berusaha untuk menahan tangisku.

“Ica? Jawab dongg Reifan kangen banget sama Ica”

“Iya Fan..” suaraku bergetar, menahan tangisku yang semakin menyesakkan “Ica juga kangen sama Reifan”

“Ca? Jangan nangis atuh Ca, Reifan juga sedih kalo Ica nangis. Jangan nangis ya Ca, Reifan bakal bener-bener merasa bersalah kalo Ica nangis karena Reifan”

“Ica kangen sama Reifan, sampe kapan Reifan disana?” tak bisa dibayangkan betapa aku harus menahan rindu kepada teman terbaikku, teman yang mungkin akan menjadi satu-satunya pertemanan yang disertai dengan rasa cinta didalamnya.

“Kayanya, Reifan bakalan menetap disini sih Ca. Tapi nanti kalo liburan, janji deh Reifan bakal main kesana. Oke? Oh iya Ca, udah dulu ya telfonnya. Aku harus bantu Bunda beres-beres rumah. Bye Ca, love you my Princess. Jangan sedih terus ya, kamu baik-baik disana”

“Bye Fan, love you my Prince” sambungan telfon pun terputus. Aku kembali merasa sepi, tak ada lagi yang akan menemani hari-hariku disini.

~ ~ ~ ~

Aku bergegas bersiap berangkat menuju sekolah saat waktu menunjukkan tepat pukul setengah-tujuh pagi. Setelah aku menyelesaikan sarapanku, cepat aku mengenakan sepatu lalu bergegas pergi.

Tepat didepan pintu, aku mendapati sekotak paket terbungkus rapih tanpa disertai nama sang pengirim. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil kotak itu dan membawanya ke sekolah.

Sesampainya aku disekolah, aku berlari menuju kelas. Takut-takut terlihat guru kedisiplinan bahwa aku datang terlambat. Adelin mencegatku diujung koridor. Dia memandang heran barang yang aku bawa.

“Apaan tuh Ca?” Adelin mendekat, lalu merebut kotak yang aku bawa. “Dari siapa?” ia meneliti kotak milikku yang ia pegang.

“Ehhh siniin! Gue gatau ini dari siapa, makanya gue bawa  ke sekolah. Siapa tau pengirimnya bakal nyamperin gue ke kelas” aku kembali merebut kotak tersebut lalu berjalan menuju kelas.

Aku kembali duduk seorang diri. Reifan yang sudah pergi meninggalkan kota ini,  menjadikan aku harus duduk sendirian.

Hari itu ada satu pelajaran kosong. Harusnya, aku mengisinya dengan membaca novel. Namun, kotak pemberian anonymous itu membuatku sangat penasaran.

Setelah berfikir jutaan kali, aku pun akhirnya memutuskan untuk membuka pembungkus yang melindungi kotak itu. Hal pertama yang aku temukan adalah sebuah amplop dengan sticker berbentuk pesawat kertas berwarna biru muda. Itu sticker kesukaanku.

Aku membuka amplop itu dan membaca surat yang ada didalamnya.

Disini, setiap malam langit kulihat sangat kosong. Karena gugusan gemintang yang paling menawan hanya ada didalam sorot matamu. Dan kini, mustahil untuk aku memandangnya kembali.

Tak perlu terheran, kau pasti tau kotak ini dari siapa.
Tertanda, Pangeran paling tampan

Aku tesenyum dibuatnya. Ya, aku tau siapa pengirimnya. Tak lain, orang yang paling menyenangkan untuk aku rindukan. Semakin penasaran, aku membuka kotak tersebut.

Disana, aku menemukan sebuah buku dengan hard cover berwarna biru tua dengan gambar pesawat kertas pada sampulnya dan bertuliskan “Canopus”

Didalamnya terselip sebuah kertas hitam dengan pesan yang tertulis dengan tinta berwarna putih.

Buku ini sengaja aku berikan padamu. Karena aku tau, selama hadirku tak bisa menemani hari-harimu, pasti banyak yang ingin kau ceritakan padaku. Maka, tulislah semua itu disini, dibuku ini. Sebelum kita kembali berjumpa nanti, diwaktu yang belum kita ketahui.

Judul buku ini menggambarkan dirimu didalam hidupku. Kau begitu menawan bagai Canopus. Dan aku berharap, aku takkan pernah kehilanganmu.

Senyumku merekah kala aku membaca pesan darinya. Tak sabar ingin cepat-cepat menuliskan apa saja yang ingin aku curahkan padanya.

Ketika bel pulang dibunyikan, aku bergegas mengambil langkah untuk menuju ke rumah.

Sore itu langit tampak indah dengan warna langitnya yang biru terbias jingga. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai dengan mereka yang lelah dengan pekerjaan mereka hari ini.

Sesampainya dirumah, aku membuka lembar pertama buku pemberian Reifan.

Lembar Pertama
Satu minggu semenjak kepergianmu yang harus menyusul keluargamu untuk tinggal disana.

Disini sampai hari ini, hujan belum juga datang. Mungkin karena semesta mengerti bahwa hujan adalah cerminan hatiku. Sementara, kini separuh aku telah kau bawa pergi.

Aku senang ketika memulai hari ini dengan kejutan yang kau berikan. Doaku selalu menyertai hari-hari mu disana. Jangan bersedih, aku pun rindu kamu.

Biar Hujan Satukan KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang