5 September 2014
Festival Kesenian Yogyakarta, atau yang biasa disingkat dengan FKY merupakan event tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah Provinsi. Event ini diselenggarakan antara 2 hingga 3 minggu menampilkan berbagai macam kesenian dan atraksi kebudayaan. Banyaknya seniman yang lahir dari kota ini, maka tidak heran kota ini mendapat julukan kota seni dan budaya. Tahun itu merupakan FKY yang ke-26. Aku dan Diyah pun tidak ingin melewatkan salah satu event-nya.
Semenjak aku mendapat pinjaman sepeda dari ibu kost, aku dan Diyah menjadi leluasa untuk bermain bersama dengan kayuhan sepeda. Jumat sore, kami memutuskan untuk pergi ke Pasar Kangen. Hari Jumat, yang juga merupakan weekend-nya bagi para mahasiswa. Sementara hari Sabtu, kami menduga akan jauh lebih ramai, karena tentunya tempat itu akan menjadi destinasi favorit para pelajar maupun keluarga.
Pasar Kangen merupakan pasar yang menjajakan barang-barang yang berbau tradisional. Dari berbagai jenis makanan dan jajanan, barang-barang koleksi antik dan lawas, baju-baju kuno, hingga para penjaja yang berpakaian jadul. Sebuah euforia untuk mengobati rindu para pecinta masa lalu. Itulah mengapa ia dinamakan pasar kangen. Pasar Kangen tahun itu, diselenggarakan di Pasar Ngasem, kawasan selatan Keraton Yogyakarta.
***
Usai isya, kami melaju menuju arah keraton. Kostan menuju alun-alun setidaknya memakan waktu kurang lebih 20 menit. Kami adalah dua manusia nekad, belum tahu persis di mana lokasinya, kami sembarang saja berangkat. Kami hanya mengira-kira, satu petunjuk, daerah selatan alun-alun. Saat itu, kami hanyalah mahasiswa pas-pasan, hp kami belum Android apalagi iOS, sehingga kami tidak bisa bergantung pada google map. Hingga ujung jalan barat Alun-Alun Utara, kami hanya menemui gang kecil. Kami pun berhenti.
"Kok malah jalan kecil sih Yah." Keluhku usai menghentikan sepedaku sembari menoleh ke arah Diyah yang berada di belakangku.
"Kayaknya bukan sini deh Yus jalannya. Apa belok pertigaan tadi ya?" Diyah menunjuk pada pertigaan jalan setelah Masjid Agung.
"Iya kali. Kita kesana aja deh." Ucapku.
Diyah pun memimpin jalan. Sampai di pertigaan, kami belok ke kiri, ke arah barat. Hingga di ujung jalan, kami menemui sebuah gapura besar. Sepertinya itu pintu barat keraton. Lantas kami pun mengambil jalan ke arah selatan. Di jalan itu, kami sudah menemui keramaian jalan. Kami tidak salah lagi, ini adalah jalan menuju Pasar Kangen.
Kami sampai di ujung jalan, setidaknya 500 meter dari ujung jalan telah di penuhi parkir sepeda motor maupun mobil. Kami pun memilih tempat parkir yang dekat dengan pintu masuk.
Ini adalah pertama kalinya kami mengunjungi Pasar Kangen, meski ini adalah tahun ke-3 kami di perantauan. Di dalam kami menemui lautan manusia. Kami pun mulai menelusuri stand demi stand. Kami tidak berniat untuk membeli barang-barang, kami hanya sekedar melihat-lihat. Tidak lupa, kami pun mengabadikan keberadaan kami dalam event itu. Kami benar-benar berkeliling. Ke arah timur, lalu ke selatan, lanjut ke barat, lalu ke utara.
***
Tidak terasa jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah 9. Sesuai kesepakatan, kami pun menyudahi berkeliling. Kami keluar dan menuju tempat kami memakirkan sepeda tadi. Sebuah nilai plus ketika berkendara dengan sepeda, kami tidak perlu membayar biaya parkir. Selain itu, tukang parkir cenderung akan memperlakukan kami layaknya penduduk pribumi.
Kami kembali melewati alun-alun dan ke arah KM 0. Kami terheran-heran, jalan yang tadi sepi waktu berangkat, entah mengapa kini di penuhi dengan manusia yang duduk di tepi jalan. Bahkan kendaraan pun harus mengalah oleh lalu lalang manusia-manusia itu, rambu lalu lintas tidak berguna.
"Ada acara apa sih Yah? Masa iya, mau ada demo." Ucapku masih penuh tanda tanya.
"Iya, ini ada acara apa ya Yus." Diyah sama saja.
Tepat setelah kami mencapai seberang jalan, titik nol sisi utara, terdengar sebuah alunan musik menggelegar. Kami pun tertarik untuk sekadar menengok ke belakang. Rupanya ada sebuah pertunjukan video grafis yang menggunakan gedung kolosal di ujung perempatan sebagai latar dan layar.
"Nonton ini dulu yuk Yah." Ajakku antusias.
"Ya udah yuk." Diyah pun mengiyakan.
Kami pun memakirkan sepeda kami di dekat tiang lampu lalu kami mengambil duduk seperti yang lainnya. Kami begitu terkesima dengan pertunjukkan itu. Bagaimana tidak, grafis itu memang didesain dengan latar gedung dari arah timur dan utara, dan tepat sekali menyesuaikan dengan latar kosong yang berupa jendela gedung.
Pertunjukan itu sudah cukup lama berlangsung, aku pun mengecek jam di ponsel. Sudah jam 9 lebih. Sudah terlalu malam, kami pun segera beranjak. Di sini memang masih ramai, namun kami tidak bisa menjamin kompleks indikos kami masih ada suara manusia. Terlebih lagi, indikos kami sangat dekat dengan makam. Tidak ada alasan lebih mendesak selain itu.
Kami pun menyusuri jalan maliboro, melintasi rel kereta apa dan berlanjut ke arah Tugu. Tidak di KM 0 tidak pula di Tugu, masih ramai dengan manuia yang sedang mencari hiburan.
"Eh Yah, mau foto di sini nggak?" Tanyaku saat akan menyeberangi perempatan itu. "Mumpun banyak temennya nih. Kita belum punya foto di sini kan? Kita udah 3 tahun di sini lo Yah." Aku terus membujuk Diyah.
"Hmm, ya udah Yuk. Nggak usah lama-lama ya tapi." Balas Diyah.
Kami segera memakirkan sepeda, sembari menengok ke kanan dan kiri, bila saja ada tukang parkir yang menegur. Usai mengunci sepeda, kami pun menuju petak Tugu Jogja tersebut.
Layaknya para wisatawan lainnya, kami pun mengambil beberapa gambar berlatarkan Tugu Jogja di sisi utara. Diiringi dengan sorotan cahaya remang dari kendaraan yang berlalu lalang, menambah sisi keromantisan salah satu sudut kota itu. Kami bergantian mengambil foto lalu berdua dengan swafoto.
Tidak terasa waktu menunjukkan pukul setengah 10 lebih sedikit. Kami pun segera menyudahi kesibukan kami tersebut. Kami pun mengambil sepeda kami yang berada di tepi jalan. Kami kembali melaju ke arah utara melewati kerumunan Tugu yang masih ramai.
Keramaian kendaraan berkurang setelah kami berbelok di perempatan. Sementara usai memasuki gang, jalan senyap sekali. Kanan dan kiri hanya sebuah tembok menjulang tinggi. Kami mencapai kembali di kost hampir jam 11. Rasa-rasanya kami baru saja menjadi anak dunia malam.
Perjalanan kami kali inisangat memuaskan. Seakan kami baru saja mendapatkan sebuah paket doorprice.Bagaimana tidak. Yang dari awal kami hanya berniat menikmati satu macamhiburan, namun kami malah mendapat 3 macam hiburan. Anggap saja itu penebusanatas 3 tahun belum mengenal tentang Jogja. Bukan kami yang menebus kepadaJogja, namun Jogja yang menebus kepada kami atas segala keterbatasan yang kami miliki.Ah, Jogja baik sekali malam itu kepada kami. Terima kasih telah menghadirkanmalam indag yang tidak akan terlupa di benak kami.

YOU ARE READING
My Journey
AdventureIni adalah tentang perjalananku. Sebuah perjalanan singkat yang menjadi bagian dari perjalanan panjangku