Mudik

4 0 0
                                    

22 Juni 2017

Tibalah waktunya mudik. Aku berangkat dari kost jam setengah 4. Berhubung jalanan sudah ramai, aku putuskan untuk naik ojek saja biar cepat. Karena sebelumnya sudah memesan tiket, jadi aku tidak perlu lagi mengantre membeli tiket.

Di dalam kereta, aku bersebelahan dengan seorang perempuan muda. Kami pun sedikit berbincang-bincang. Ternyata mbak-nya sudah bekerja. Ia pergi ke Solo bukan untuk mudik, melainkan hendak ke Pasar Klewer. Kami pun membahas Pasar Klewer. Bahkan selama ini, aku belum tahuu jika Pasar Klewer pernah terbakar sekitar tahun 2012 dan pernah pindah lokasi. Jika tidak mengobrol dengan mbak ini, mungkin aku tidak akan pernah tahu. Lalu kami saling menanyakan perihal kesibukan dan keluarga. Singkat cerita, kami berpisah di Stasiun Purwosari. Padahal jarak Pasar Klewer lebih dekat jika dari Balapan. Akan tetapi, kata mbak-nya, akses trasnportasinya lebih mudah jika dari Purwosari.

***

Aku sampai di Balapan jam 7 kurang. Seperti biasanya, aku langsung menuju dan menunggu di pintu gerbang. Hampir 10 menit aku berdiri tegak. Aku mulai merasa lelah, lalu lepaskan saja beban tas yang cukup berat. Hingga penumpang yang turun sudah sepi, masih saja belum terlihat juga motor matic yang aku tunggu. Aku sempat berniat untuk naik ojek saja. Hendak menghubungi kakakku, tetapi HP mati.

Lima menit kemudian muncullah motor itu. Aku segera menghampiri.

"Tantee" Keponakan yang berada di depan menyapaku.

"Lama banget sih mas?" Aku langsung saja mengomel tanpa menghiraukan ocehan keponakanku. Di sini aku merasa seperti seorang nenek sihir.

Bukannya menunjukkan rasa terimakasih karena sudah di jemput, malah mengomel tidak jelas. Bagaimana lagi, aku sudah terlanjur kesal. Baru ketika sudah setengah jalan, rasa kesalku sedikit reda. Aku pun mulai basa-basi pada keponakan, menanyakan perihal adeknya.

Sampai di rumah sudah terdengar adzan. Aku pun harus menunggu kakak pulang dari tarawihan.

"Nih, makan dulu." Aku diberikan sisa ta'jil.

Akan tetapi, rasanya lauknya kurang menarik, mungkin karena efek kecapean. "Sekalian nitip tusukan di angkringan dong, Mas." Pintaku.

Kakak baru pulang hampir jam 9. Aku makan sebentar. Usai dari itu, kami pun melaju menuju desa.

***

Kebetulan kakak dari Jatim bersama ketiga anaknya sudah di rumah selama 2 hari. Malam seperti itu, aku kira mereka sudah tertidur. Terdengar berisik kedatanganku bersama ayah (panggilan anak-anak mbak karena mengikuti panggilan sepupunya), dua dari mereka bangun. Rumah seketika menjadi ramai. Aku mengeluarkan semua makanan yang aku bawa.

"Mbak Aci -panggilan mereka kepadaku-, ini apa?" Si kecil mulai berceloteh.

"Boleh dimakan ini, Mbak." Tanya si sulung.

"Itu roti, iya makan aja." Jawabku.

Karena seharian itu aku belum istirahat, tidak aku hiraukan perbincangan para dewasa, segera saja aku ke posisi tidur.

23 Juni 2017

Hari berikutnya, aku masih dalam rangka istirahat. Mungkin akibat dari beberapa hari sebelumnya, makan yang tidak teratur dan hanya ala kadarnya, di rumah aku menjadi kurang nafsu makan. Aku baru beraktifitas di waktu siang, bersih-bersih rumah nenek, yang biasanya digunakan untuk kumpul keluarga besar saat lebaran nanti.

Sore harinya ada agenda buka bersama dan reuni alumni SMA satu angkatan. Aku sudah berdandan rapi dan tinggal menunggu jemputan.

"Pergi sama siapa, Mbak?" Tetiba si bungsu nyeletuk.

"Sama temen." Jawabku.

"Namanya?" Lanjutnya.

"Diyah" Jawabku.

"Itu nama cowok kan? Pasti pacarnya" Ia mulai menggoda.

Seketika itu juga, aku ketawa terpingkal-pingkal. Dasar jaman sekarang, anak baru 5 tahun saja sudah tahu istilah pacaran. Aku tidak menghiraukan. Aku pun pergi ke belakang hendak berpamit kepada ibu karena Diyah sudah datang. Rupanya anak itu mengikuti di belakangku.

"Hayo mau pergi sama siapa. Aku bilangin Mbah Uti." Ia masih juga menggodaku di depan ibu.

"Bilangin aja, ye. Bilangin. Buruan bilangin". Balasku gemas.

Sambil malu-malu, ia tidak jadi bilang ke ibu. Aku pun hanya tertawa..

***

Kami berdua melaju jam setengah 5. Kami mampir ke toko sebentar untuk membeli bros. Saat di toko Diyah sudah berkeliling tapi tidak menemukan. Ia pun bertanya kepada pemilik toko. Ia pun ditunjukan tempatnya. Ternyata dipajang di dalam etalase, padahal dari tadi ia mencarinya di bagian aksesoris yang digantung.

"Ini mah gak bisa dipake, ya udah lah". Diyah mengeluh begitu membuka bungkusnya.

Aku mencoba melihat. Rupanya itu model bros yang bisa dikunci. "Ya ampun, gini cara bukanya, trus gini nguncinya". Aku meragakan sambil tertawa.

"Pakein dong, Yus." Pintanya. Aku pun menurutinya.

***

Kami sampai di SMA hampir jam 5. Kami langsung menuju ke aula. Cukup banyak yang datang sore itu. Singkat cerita, ada acara tausiyah hingga buka puasa. Usai solat Maghrib, kami kembali berkumpul, makan berat sambil disuguhi penayangan memori waktu SMA. Lalu ada hiburan dan games setelahnya.

Sayangnya aku tidak bisa sampai di ujung acara. Mungkin karena efek kecapaian dan salah pola makan. Sekitar Isya, aku tiba-tiba merasa pusing dan serasa ingin muntah. Aku masih mencoba untuk tetap bertahan. Hingga jam setengah 8, aku sudah tidak kuat lagi. Aku meminta Diyah untuk pulang saja lebih dulu. Ia pun menurutiku. Ya, di jalan rasanya aku sudah antara sadar dan tidak.

Tentang sebuahkehangatan keluarga, sahabat, teman sekolah, seorang asing sekalipun, seakanmenjadi pengisi semangat tersendiri. Ialah yang menjadikan setiap jiwa inginterus untuk menjalani hidup bersama mereka.

My JourneyWhere stories live. Discover now