di daun yang ikut mengalir lembut, terbawa sungai ke ujung mata
---
Sayub-sayub kumandang maghrib terdengar dari langgar kecil, dalam sebuah pemukiman di pelosok Kabupaten Gunung kidul, Provinsi Yogyakarta.
Pemukiman bernama Desa Pringwuling dengan populasi tak lebih dari 70 kepala keluarga tersebut mendadak hening.
Para wanita muda dan ibu-ibu sibuk mengunci kediaman mereka setelah semua anak-anaknya diperintah masuk kedalam, sedangkan para ayah dan pemuda menuai garam dan bawang putih di area pekarangan. Kemudian berbondong-bondong melangkah ke masjid dengan berbekal obor dan seutas tasbih.
Bapak-bapak tersebut kemudian berjalan beriringan, mata mereka begitu awas memantau sana sini. Bahkan Youngjae, salah seorang diantara mereka nekat membawa senapan rakitan demi mengamankan kampungnya.
"Bahaya Jae." Bisik Dowoon pada si Youngjae, "kalau pistolnya njebluk di celanamu gimana?"
"Ndak lah, ini udah aman kok. Safety proof! Udah terbungkus pakai pelindung dari kulit." Jawab pria beranak 3 itu dengan penuh percaya diri.
"Sok inggris!" Cela Dowoon meremehkan. "Memangnya kamu yakin bisa nembak?"
"Yo bisa! aku sudah latihan nembakin burung di hutan. Yakin, pasti bisa bunuh dedemit sialan itu!"
Desa tersebut memang tidak lazim.
Letaknya yang sangat terpencil dan dikelilingi hutan rindang menumbulkan serangkaian mitos yang terlanjur melekat pada stigma penduduk. Salah satunya merupakan; pantangan bagi orang-orang selain pria dewasa yang sudah akil baligh untuk keluar rumah selah matahari terbenam. Hal ini kuat diyakini, karena adanya eksistensi makhluk-makhluk asral yang mendiami hutan yang mengelilingi desa tersebut selama beratus-ratus tahun, yang mengancam keselamatan ibu-ibu dan anak-anak mereka setelah kumandang magrib tiba.
Makhluk tesebut dinamai waja getih, yang artinya gigi darah atau gigi berdarah. Disebut begitu karena konon katanya, waja getih gemar menghisap darah wanita dan anak-anak dengan taring (gigi) nya yang runcing. Dan, konon katanya lagi, siapapun yang menjadi korban waja getih akan meninggal saat itu juga.
Tapi percaya atau tidak, mitos itu benar adanya.
Sayang bukannya pindah dan menetap di tempat yang aman, penduduk desa malah nekat beranak pinak dari windu ke windu di sana. Karena meskipun mencekam di malam hari, Pringwulung merupakan desa asri dengan tanah subur nan makmur. Penduduk merasa eman meninggalkan tanah warisan nenek moyang mereka itu hanya karena sesosok makhluk aneh yang bahkan sudah tidak pernah lagi muncul selama berpuluh-puluh tahun.
"Bapak!" Seruan keras dari seorang anak membuat gerombolan bapak-bapak tadi menoleh serentak.
Yoongi, si pemilik panggilan 'bapak' tersebut membelalakan matanya dramatis. Ngeri melihat putra semata wayangnya yang masih bau kencur berlarian di padang gelap malam sendiri tanpa perlindungan.
"Astaghfirullah..."
"Ya Allah ada apa?.."
"Ada apa ini?"
Seruan-seruan kekhawatiran telontar bersahutamn sembari menghampiri anak yang sudah bercucuran keringat itu.
"Kenapa le? ... Ada apa?" Yoongi membawa bocah 12 tahun itu kedalam gendongannya.
Sementara yang lain berdiri melingkar, Dowoon menyampirkan sarung ke badan sang anak agar waja getih tidak sempat melihat wajahnya.
"Pak, bu'e pak... bu'e kejang kejang... terus bu'e pingsan... Jeongin sudah bawa bu'e ke kamar tapi bu'e pingsan di kamar.." Bocah bau kencur tersebut bicara ngelantur. namun sang bapak menangkap jelas maksud perkataan anaknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Waja Getih
Fiksi Penggemar[COMPLETED ON OCTOBER 2019] Kisah penculikan seorang anak, dan hubungannya dengan legenda turun temurun yang terlanjur mengakar dalam stigma penduduk Werewolves and Vampires Alternative Universe a hyunjeong story written in bahasa indonesia