8. Rista yang Baik Hati

637 48 0
                                    

Pemakaman Ridho dihadiri oleh banyak teman-teman sekolahku, kami tidak mengikuti pelajaran sekolah hari ini. Masa bodo dengan sekolah, saat ini yang terpenting ialah penghormatan terakhirku untuk Ridho. Selama proses pemakaman berlangsung, Tante Ratna masih menangis, ia tidak hanya duduk berlutut dan menangis, meski sudah ditenangkan dengan keluarganya, ia tetap menangis.

Setelah pemakaman selesai, Adam keluar TPU untuk merokok, sedang aku mengambil motor. Namun, aku yang berniat mengambil motorku di parkiran, mendapati banyak teman-teman sekolahku di sana. Semakin aku mendekatinya, semakin terdengar olehku, bahwa mereka sedang membicarakan kejadian semalam. Aku duduk di atas motorku, mengikuti mereka yang sedang ngobrol sambil duduk di atas sepeda motor masing-masing. Aku mendengarkan apa yang direncanakannya.

"Pokoknya kalo ketemu, lu langsung lapor, kita cari, kita abisin aja." Kata Jeki, salah satu anak tongkrongan kami. Aku mendukungnya, orang-orang seperti ini memang harus diberi pelajaran. Ia menabrak, dan kabur begitu saja, tanpa ada tanggung jawab untuk membantu Ridho. Bagaimanapun juga, ia harus dihukum.

"Iye Jek, nanti gue tanya-tanya warga sono." Kata salah satu diantara mereka.

"Nanti gue liat-liat kalo ada cctv, gue minta rekamannya." Kata salah satunya lagi.

Jeki mengangguk. "Pokoknya kalo dapet info, kabarin."

"Iya, Jek." Teman-teman membalas ucapan Jeki.

Aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu, aku masih benar-benar belum bisa menerima kejadian semalam. Mood-ku sedang tidak enak untuk membahas apa yang akan dilakukan untuk mencari orang yang telah menabrak Ridho semalam. Saat ini aku hanya ingin istirahat, karena semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak, aku harus menenangkan pikiranku, dan memulai mengikhlaskan kepergian Ridho.

Aku menyapa mereka sebentar untuk pamit, lalu menjemput Adam yang sedang merokok, dan pergi meninggalkan pemakaman.

--

Waktu terus berlalu, hari terus berganti hari. Aku dan Adam menjalani kehidupanku tanpa Ridho. Sulit untukku beradaptasi, kehilangan Ridho sangat terasa untuk kehidupanku di sekolah. Siapa lagi yang mau mengajarkan kami materi-materi sekolah, jika bukan Ridho?

Aku dan teman-temanku tidak pernah hadir untuk ke rumah Ridho di malam hari, mendoakan semoga Ridho dapat di terima di sisi Tuhan, dan berdoa agar keluarganya diberikan ketabahan. Setelahnya, aku langsung pulang. Tidak menghabiskan waktu di warung kopi Mang Udin.

Hari-hari tanpa Ridho aku lewati. Entah kenapa, setelah kepergian Ridho, aku jadi malas sekali nongkrong sepulang sekolah, jadi malas nongkrong di kantin saat jam istirahat. Sekalipun aku pergi ke kantin, benar-benar hanya untuk membeli makanan dan minuman untuk di makan di kelas.

Beberapa teman-temanku mungkin menyadari perubahanku, tapi tidak satupun dari mereka yang mempermasalahkan itu, tidak seorangpun yang menanyakanku mengapa sekarang jarang nongkrong. Munking mereka paham, bahwa aku sedang berduka, atau mungkin mereka hanya canggung untuk menanyakan hal ini padaku.

Bahkan, Adam, sahabatku yang selama ini selalu bersamaku, tidak juga menanyakan hal ini. Adam bertemu denganku di kelas, namun berpisah saat jam istirahat dan saat pulang sekolah. Ia tetap nongkrong di kantin, dan di warung kopi Bang Udin sepulang sekolah.

Setelah seminggu aku menjalani kehidupan tanpa Ridho, aku merasakan sendiri efeknya, kini aku benar-benar kesulitan memahami pelajaran sekolah, Adam juga, tapi tidak terlalu mempedulikan mengenai sekolah. Aku merasakan efeknya, kini aku tidak memiliki teman yang sering menasihati jika kami melakukan hal-hal yang tak baik.

Selain teman-teman tongkrongan, di kelas, aku merasa seperti tidak disenangi oleh siswa-siswi lain. Di kelas teman-teman sekelasku terlihat enggan untuk bicara denganku, hanya sedikit orang yang mau mengajakku bicara. Awalnya, aku pikir, mereka bersikap seperti itu karena menyadari bahwa aku dan Adam bukan anak baik-baik. Sebab, sejak awal sekolah di sini, aku dan Adam kerjaannya nongkrong dan sering membuat kegaduhan. Di kelas pun kerjaannya hanya tertidur, dan terkadang berisik bersama teman-teman yang lain. Jarang sekali mengerjakan pekerjaan sekolah, sekalinya mengerjakan, itupun nyontek Rista, dan dikerjakan di pagi hari.

Namun semakin hari aku semakin merasa mereka hanya enggan bicara denganku, namun tidak dengan Adam. Padahal aku dan Adam sama-sama sering nongkrong, sama-sama sering tidur saat jam pelajaran, sama-sama rusuh, sama-sama sering bertengkar dengan siswa lain. Tapi kenapa mereka seperti tidak ada apa-apa dengan Adam, namun enggan bicara denganku? Entahlah. Setidaknya ada Rista, teman sekelas yang masih mau berbaik hati denganku.

Rista berbeda, ialah satu-satunyaa temanku yang mau membantuku. Bahkan anehnya, ia pernah mengingatkan aku dan Adam untuk mengerjakan PR yang harus dikumpulkan siang hari. Ia memberikan pekerjaan rumahnya pada kami untuk disalin, padahal kami tidak memintanya. Aneh, kan? Disaat orang-orang enggak mau ngasih lihat tugasnya ke orang lain karena takut dicontek, Rista justru dengan sengaja memberikan tugasnya padaku.

Ini yang membuatku berpikir bahwa Rista tidak keberatan untuk kami minta pekerjaan rumahnya. Selain cantik, Rista memang sangat baik, mungkin ia tidak mau melihat kami dihukum oleh guru sebab tidak mengerjakan pekerjaan rumah.

"Menurut lu, gue orangnya kayak gimana?" Kataku pada Rista, ia duduk di sampingku saat aku menyalin tugas sosiologi hasil kerjaannya di waktu istirahat sekolah.

"Pemales!" Jawabnya ketus. Rista ini memang sedikit tomboy, bicaranya tidak lemah lembut, meski ia berkerudung, ia tidak berbeda dengan perempuan lainnya, bicara sesukanya, seadanya. 

"Yeee. Serius gue." Aku berhenti menulis dan melotot padanya.

"Ya gue juga serius, lu itu pemales. Kerjaannya nongkrong doang, enggak pernah belajar." Balasnya. Aku terdiam sejenak. Benar juga katanya, aku memang pemalas. Belajar hanya ketika ada ulangan atau ujian, mengerjakan pr saja selalu di sekolah, pagi-pagi, dan hanya menyalin.

"Selain itu?" Aku nanya lagi.

"Lu itu kan tinggi, badan lu juga berisi. Nah lu itu kumisan, dan ada jenggotnya juga. Ditambah, lu itu pendiem, jarang ngomong, jadinya serem." Rista jawab. Aku memikirkan kata-katanya. Mungkin ini penyebab murid-murid lain enggan bicara denganku, bukan hanya karena tingkah lakuku, tapi karena penampilanku yang agak berantakan.

Postur tubuhku memang seperti apa yang rista katakan, aku tinggi, dan badanku agak berisi. Aku berkumis dan berjenggot tipis, tapi untungnya kulitku tidak hitam. Dari dulu, aku enggak pernah perhatiin penampilan, aku juga enggak peduli kata orang, yang penting aku masih punya teman yang baik, sudah cukup bagiku.

"Yeee, songong lu." Aku pura-pura kesal. Padahal seharusnya aku berterima kasih, sebab Rista telah memberitahukan pendapat orang terhadapku.

"Padahal waktu awal-awal sekolah, lu enggak serem, lu enggak ada kumis sama jenggot. Jadi lumayanlah." Lanjutnya. Entah perkataan itu jujur atau tidak, bisa jadi hanya untuk menghiburku. Tapi aku tidak terlalu menghiraukan itu, aku hanya tertawa tipis menanggapinya. Aku mengingat-ingat, dan menyetujui apa katanya. Karena, saat masuk SMA, banyak teman-teman perempuan yang mengajakku bicara.

"Kalo Adam?" Aku nanya lagi.

"Adam mah ganteng." Jawabnya singkat.

--

Support saya dengan vote, follow, dan share cerita ini ya :) Terima Kasih

Cerita Cinta Anak Rohis ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang