Alih alih meninggalkan kamarnya, Revy pun memasuki ruangan dengan pintu kaca dan terdapat lampu sorot berwarna biru di dalam ruangan. Ia pun menyentuh beberapa peralatan fotografinya dan sekilas peralatan podcast di dalam studio kecil dan penuh lukisan monokrom itu.
Revy duduk,
Mengetuk mikrofon dengan jari telunjuknya sebanyak dua ketukan. Ia pun menarik napasnya dengan perlahan kemudian mematikan kembali mikrofon miliknya itu dan beralih mengambil selembar kertas dan membuat coretan dengan tulisan menyambung namun rapih ituTulisnya
Jika aku jabarkan semua apa yang menjadi keluh kesah, mungkin aku hanya dapat mendengar orang orang dengan segala algoritma kalimat motivasi, yang sebenernya harus dibenah ya kesadaran diri sendiri.
Menjadi anak pertama, kelak harapan banyak jiwa untuk terus dapat membuat suasana rumah tetap hidup. Namun aku saja sampai titik ini masih bertanya dimana jati diri? Kenapa aku masih suka hilang kendali atas diri sendiri?
Jawabannya belum ada.
Karena, aku sudah salah langkah dari awal. Dan terakhir aku ingat, pintu rumah itu tertutup dengan keras.
Dulu,
Aku kira dihalaman ini perkara demi perkara seraya lepas perlahan membuat keyakinan seolah ditetapkan. Kemarin kemarin sepertinya aku gagal mendirikan definisi menjadi kuat sendirian. Ya memang, ternyata pada akhirnya kita kembali kacau. Usaha demi usaha yang kemarin kita cicil dari yang mulai terkecil sampai akhirnya kita mempertanyakan banyak hal yang kemungkinan terjadi.Untuk sekarang,
Aku tetapkan diriku sebagai subjek yang hanya omong kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Re)toris [SEDANG DALAM REVISI]
Roman pour AdolescentsSatu hal yang ingin aku lakukan, Mengajarimu bagaimana cara merespon cerita orang dengan baik.