#9 - Kenangan yang Membekas

26 6 0
                                    

Raka mendesah. Teringat cerita tragis Reno membuatnya kepikiran sepanjang perjalanan menuju rumah. Memang benar kata sepupunya Adnan itu, masalahnya dengan Sinta harus dibicarakan baik-baik. Ia tak mau terus-terusan diombang-ambing begini. Ia butuh kejelasan, meski fakta yang bakal diterimanya mungkin menyakitkan, tapi itu lebih baik dibanding ia harus menanggung rasa penasaran seumur hidup.

Jam digital di ponsel sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Raka mengumpat. Gara-gara kecelakaan, jalan yang biasa ia lewati ditutup sementara. Karena hal itu ia harus mengambil jalan yang jauhnya dua kali lipat. Sialnya, di jalan alternatif itu pun ia sempat terjebak macet. Perfecto combo. Seharusnya ia sudah sampai sekitar jam setengah tujuh tadi. Ugh ... dia pasti bakal kena semprot.

Raka menghela napas panjang, lalu menghembuskannya lewat mulut. Tarik, buang, tarik, buang, begitu terus sampai hatinya siap untuk mendengarkan omelan panjang ibunya yang sebentar lagi bakal ia terima. Suri selalu menertawai kebiasaannya ini. Katanya, dia jadi mirip ibu-ibu yang mau melahirkan. Ah, persetan soal Suri.

Pelan-pelan Raka mendorong pagar rumah. Di dalam garasi sudah terparkir sebuah mobil MPV warna abu-abu metalik milik ayahnya. Bagus. Sekarang bukan hanya ibunya yang bakal marah, ayahnya pun pasti ikut-ikutan murka.

Baru saja ia selesai memasukan motor ke dalam garasi, pintu utama mendadak terbuka dan langsung menampilkan sosok ibunya yang tengah melotot.

Raka spontan menyengir ngeri. "Eh, Mama. Assalamualaikum," sapanya sambil melesat mendekati ibunya. Dengan cepat ia meraih lalu mencium punggung tangan wanita itu.

"Nggak usah cengengesan! Kenapa jam segini baru pulang, hah?!" bentak sang ibu. Raka refleks melangkah mundur karena takut kena pukul.

Raka menelan ludah gugup. "Kan Raka udah bilang bakal pulang telat buat ngerjain tugas.

"Kamu janji pulang jam berapa, hm?" Ibunya bersedekap dan auranya begitu mengintimidasi.

Raka menyengir. "Jam tujuh." Tapi kemudian ia buru-buru menambahkan. "Ta-tadi ada kecelakaan, Ma. Jalanan ditutup, makanya Raka ambil jalan muter dari biasanya. Plus—"

Sang ibu mendengkus keras. "Kamu ini. Mama bilang kalau telat kasih kabar! Mama, kan, jadinya nggak was-was."

"Raka, kan, lagi naik motor. Gimana mau kasih kabar—aduh, iya Ma! Udah jangan dijewer lagi. Sakit."

Sang ibu akhirnya melepaskan capitan tangannya di telinga Raka. Masih dengan tampang geram ia memerintahkan Raka untuk masuk, tapi sebelumnya ia memberikan pukulan sayang di pundak pemuda itu terlebih dulu.

.

.

.

Usai makan malam, Raka berniat untuk menonton pertandingan bola. Namun sayang, belum sempat ia menyalakan televisi, ayahnya ternyata sudah lebih dulu menyabotase remot. Akhirnya, karena takut terkena omelan ibunya lagi, ia pun mengalah dan memilih untuk menonton melalui streaming saja. Sambil bersungut-sungut pemuda itu pergi ke kamar tidurnya di lantai dua.

Sesampainya di kamar, Raka langsung membanting dirinya ke kasur. Masih ada dua puluh menit sebelum pertandingan mulai. Karena bosan, ia pun mengambil ponselnya dari atas nakas lalu membuka aplikasi Whatsapp. Ada beberapa pesan grup yang belum terbaca dan dua pesan dari Adnan.

Raka sengaja mengabaikan pesan-pesan yang belum terbaca itu dan terus menggulirkan daftar yang ada di ponselnya. Ia kemudian baru berhenti pada sebuah nama profil.

Sinta Ayu.

Raka menggigit bibir bawah. Hatinya mendadak gamang. Bagaimana kalau pesannya kali ini pun tak dibaca oleh Sinta? Jujur saja, mungkin sudah puluhan kali ia mengirimkan pesan kepada gadis itu dan tak ada satupun yang dibaca olehnya.

Pemuda itu kemudian menghela napas berat ketika wallpaper ponselnya muncul. Di layar ponselnya kini terpampang foto Sinta tanpa masker yang selalu dipakainya. Gadis itu terlihat sangat cantik jika tengah tersenyum. Ia ingat betul kalau foto itu adalah foto yang ia ambil diam-diam pada kencan pertama mereka.

Raka seketika merutuki dirinya sendiri sambil mengacak-acak rambut. Tidak, tidak. Kencan pertama mereka merupakan kejadian yang sangat memalukan! Ketika itu, karena gugup, ia sampai lupa untuk mengeluarkan dompetnya dari bagasi jok motor. Sesampainya di toko buku tujuan, dengan sangat percaya diri ia menawarkan untuk membayarkan semua belanjaan Sinta. Sialnya, begitu petugas kasir telah menyebutkan total belanjaan, dirinya baru sadar kalau dompetnya tertinggal!

"Ugh, dasar konyol," desisnya sambil menahan geli. Kalau boleh jujur, di balik rasa malu, ia sebetulnya sedikit bersyukur karena berkat kejadian itu ia bisa melihat senyum Sinta yang jarang sekali ia perlihatkan.

Raka kemudian bangkit dari rebah, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. Selama beberapa detik Raka berperang melawan batinnya sendiri. Kirim. Tidak. Kirim. Tidak. Ah, bodo amat. Langsung hajar saja! Dalam satu tarikan napas, Raka langsung menuliskan beberapa kalimat yang merangkum seluruh unek-uneknya. Dan, di akhir pesan, ia menuliskan:

Kak Sinta, aku janji ini yg terakhir. Aku ga bakal ganggu Kak Sinta lagi setelah ini. Tapi, please kasih aku kejelasan. Besok aku bakal tunggu di perpus pulang sekolah.

Setelah menekan tombol kirim, Raka melemparkan ponselnya ke samping lalu beranjak dari tempat tidur. Masih ada sepuluh menit sebelum pertandingan. Ia pun memutuskan untuk mengambil sebotol air dingin dan cemilan untuk teman menonton.

.

.

.

Di saat yang bersamaan, Sinta kini tengah menangis meraung-raung. Kewarasannya seketika lenyap digantikan dengan teror yang menghantui. Tanpa sadar ia menggaruk-garuk lengannya tanpa henti. Goresan bernoda darah menghiasi permukaan kulitnya yang penuh luka parut.

Pintu kamar seketika menjeblak terbuka. Sosok pemuda berambut cokelat kemudian masuk bersama dengan seorang wanita dewasa berambut sebahu. Pemuda itu dengan sigap memeluk tubuh Sinta yang dilanda tremor hebat dari belakang, sementara si wanita berusaha menghalau tangan Sinta yang tengah mencoba menggaruk kembali.

"Dia datang lagi! Dia datang lagi," jerit Sinta frustrasi. Di dalam mimpi yang ia alami tadi, kejadian yang menimpanya bertahun-tahun lalu itu terulang seperti kaset rusak. Dengan jelas ia dapat menyaksikan gambaran kepulan asap rokok yang selalu ditiupkan ayah tirinya saat ia melecehkan dirinya, tawa keji lelaki itu saat menyundutkan puntung rokok di tangannya, dan mayatnya yang tergeletak di tanah dengan kondisi leher patah.

"Sinta, tenang dulu, Nak. Tarik napas panjang, lalu keluarkan," ucap pemuda itu menenangkan.

"Nggak mau, dia datang lagi! Dia datang lagi!" Sinta meronta-ronta dengan napas tersengal-sengal.

"Ayu, sayang ...." Wanita itu sekuat tenaga untuk menahan tangisnya. "Sayang, tenang. Dia nggak ada di sini. Di sini cuma ada mami sama Mas Indra."

Tubuhnya perlahan melemas. Raungannya berangsur reda, meski isakan masih ikut terselip dalam tiap tarikan napasnya. Akhirnya, malam itu Sinta tak berani memejamkan mata. Sebab, jika ia terlelap sedikit saja, sosok lelaki itu pasti akan kembali dan merenggut kewarasannya lagi.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang