#3 - Kenapa Datang Lagi?

40 7 1
                                    

Satu jam upacara, tapi serasa setahun bagi Raka. Wajahnya mirip orang sekarat, bahkan siswi-siswi tukang gosip yang katanya tak tahan panas pun masih terlihat baik-baik saja ketimbang dirinya.

"Lo udah nyiapin wasiat belum?" tanya Adnan iseng.

"Buat apaan?" dahi Raka berkerut bingung.

"Ya, siapa tahu aja lo bakal dipanggil lebih dulu."

"Eh, sembarangan!" teriak Raka sambil menggebrak meja. "Lo pikir gue mau mati gitu?!"

"Ya, mungkin aja, kan? Habisnya lo kelihatan lesu, lemah, lunglai nggak berdaya gitu" ucap Adnan sambil cekikikan. "Lagian lo kenapa, sih?"

Raka menggigit bibir sebelum berucap, "Gue cuma lagi mikir ada apa sama Kak Sinta."

"Kak Sinta? Ada apa lagi emangnya sama dia?" tanya Adnan ogah-ogahan.

Raka tiba-tiba mendesah lelah. "Menurut lo, normal nggak kalau tiba-tiba aja orang ketakutan pas disentuh tangannya?"

"Tergantung siapa yang nyentuh, sih. Kalau yang nyentuh gue itu penjahat sambil nodongin senjata ke gue, ya gue takut."

Raka terdiam mendengar jawaban blak-blakan Adnan.

"Emangnya kenapa, sih?" tanya Adnan yang mulai penasaran.

"Tadi di UKS gue sempet ketemu Kak Sinta. Dan, lo tahu, reaksi pas gue pegang tangannya mirip kayak orang yang baru ketemu setan. Persis Sabtu kemarin sebelum dia kabur dari kedai kopi sepupu lo itu," jawab Raka seraya menelungkupkan kepala di meja.

Adnan ingin tertawa, tapi setengah mati ia tahan. "Gue turut prihatin, ya, Bro. Mungkin dia anggap lo penjahat," ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu lebar Raka.

Raka mendengkus. Ia benar-benar tak punya tenaga untuk meladeni ledekan Adnan.

Tatapan jenaka Adnan seketika berubah serius. "Omong-omong, gue kok jadi kesel sama Kak Sinta, ya?"

Mendengar ucapan Adnan tadi, Raka terpelatuk. "Maksud lo apaan, hah?!"

"Eh, santai, dong. Nggak usah pakai nyolot!" seru Adnan sambil mengusap-usap dada, kaget setelah dibentak Raka.

Raka kembali mendengkus, lalu menurunkan sedikit nada bicaranya. "Ya, terus emangnya kenapa sampe lo kesel sama gitu Kak Sinta?"

Adnan menggaruk-garuk dagunya sebentar sebelum menjawab, "Begini, gue nggak habis pikir aja sama Kak Sinta. Logikanya, ngerokok bagi cowok kayak kita itu wajar—oke, emang nggak boleh, sih. Tapi menurut gue, reaksi dia waktu itu lebai banget, sampai-sampai dia minta putus cuma gara-gara dia lihat lo ngerokok doang."

"Nah, itu dia," rengek Raka sambil menenggelamkan kepalanya ke dalam tas. Adnan yang melihat cuma bisa geleng-geleng kepala. "Dia bahkan nggak ngasih kesempatan gue buat bertanya dan jelasin. Tahu-tahu, dia udah kabur gitu aja," lanjutnya sedih.

"Yang sabar, ya. Mungkin ini semua ujian."

Raka tiba-tiba memukul meja sambil melemparkan tatapan benci pada teman semejanya itu. "Ini semua gara-gara lo!"

"Eh, kok jadi salah gue, sih?" balas Adnan tak terima.

"Ya, iya lah! Coba Sabtu kemarin gue nggak minta ketemuan sama Kak Sinta di tempat sepupu lo, pasti jadiannya nggak kayak begini. Harusnya gue jemput aja Kak Sinta dari rumahnya. Jadinya, gue nggak bakal kepergok ngerokok dan kita nggak bakal putus!" serunya uring-uringan.

"Lho, bukannya lo yang bilang sendiri kalau Kak Sinta nggak mau dijemput di rumahnya? Gue kan cuma kasih saran. Lagian, coffee shop sepupu gue kan lagi promo. Kapan lagi lo bisa nge-date gratis, Bro!" tandas Adnan tak mau kalah.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang