#15 - We Are So Pathetic

20 6 0
                                    

Selesai makan malam tadinya Raka mau langsung pulang, tapi karena Mama Nita memaksanya untuk tetap tinggal sampai ibu atau ayahnya pulang, jadilah dia duduk bengong di sofa depan televisi sendirian.Suri tadinya menemani, tapi karena datang panggilan alam, gadis itu kemudian meninggalkannya.

Beberapa saat kemudian, Suri datang lagi dengan membawa tiga buah kaset CD di tangan. Di belakangnya ada Rere yang mengikuti. "Mau main yang mana?" tanyanya sambil menunjukkan CD-CD itu di hadapan muka Raka.

Raka yang sedang malas melakukan apapun memilih CD dengan gambar sesosok makhluk berambut biru yang mengedarai mobil warna serupa pada bagian kaver. Setelah itu ia memerintahkan Rere untuk duduk di pangkuannya.

Suri menyengir lalu dengan segera mengeluarkan peralatan PS3 punya Jun dari dalam rak. "Kita main bentaran dulu, Boy. Kalau lo kalah, lo mesti traktir gue es krim Mcd," katanya dengan muka sengak.

Dahi Raka mengerenyit dalam, lalu melirik tangan gadis itu. Suri yang mengerti atas tatapan Raka kemudian tertawa. "Nggak apa-apa, sekarang udah nggak begitu sakit habis minum obat. Jadi, lo mau nggak? Takut lo? Huh, cupu."

Raka berdecak meremehkan. Ia yakin kemampuannya dalam bermain game konsol jauh lebih mahir ketimbang Suri. "Kalau gue menang, lo beliin gue ayam goreng paket double combo!"

"Lo kan udah makan, masa mau makan lagi?" Suri bertanya kaget. "Pantesan badan lo segede Hulk."

Raka mendengkus dongkol. "Bodo amat. Deal, nggak?"

Karena mudah terhasut, Suri pun langsung menyetujui. "Deal! Gue nggak bakal kalah!"

.

.

.

Dua puluh menit berlalu, kedudukan mereka rupanya imbang. Suri yang mengetahui hal ini pun terus-terusan meledek Raka. "Masa kalah sama gue, sih? Tangan gue lagi sakit lo ini. Katanya jago?"

Raka menggeram sebal. "Ronde berikutnya lo bakal nangis."

Suri tertawa sombong. "Gue nggak takut, Boy!"

Beberapa menit berlalu, entah mengapa ketegangan di antara mereka menguap. Tak ada satu pun dari mereka yang berteriak-teriak heboh seperti biasa ketika mereka sedang berduel. Yang terdengar di sana hanyalah dengkuran halus Rere.

"Jadi, gimana?" tanya Raka dan Suri bersamaan, tanpa sadar. Kaget, mereka berdua pun melirik satu sama lain, lalu tertawa keras. Duel antara mereka pun sejenak terlupakan.

Suri adalah orang pertama yang mengakhiri tawa gelinya. "Gimana apanya?" tanyanya memastikan.

"Soal Kak Wildan," ujar Wildan dengan tangan yang memainkan bulu-bulu panjang pada buntut Rere.

Suri terdiam selama beberapa detik. Embusan napas berat darinya kemudian terdengar. "Nggak tahu. Lo sendiri?" tanyanya sambil mengepalkan tangan, ragu apakah dia harus mengatakan kalau dia melihat Sinta tengah berjalan dengan pemuda asing atau tidak.

Raka menghela napas panjang. "Ya udah, lah."

"Hah? Ya udah, gimana?" tanya Suri bingung. Jawaban ini benar-benar di luar prediksinya. Yang ia tahu, perasaan Raka terhadap Sinta tak main-main. Raka benar-benar tulus menyayangi Sinta.

"Ya, udah. Gue ikhlasin aja." Raka kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. "Kalau dia emang mau putus dari gue, ya, mau diapain lagi? Lagian kalau itu yang bisa bikin Kak Sinta bahagia, gue ikhlas ngelepasin dia, kok."

Suri tertegun. Dadanya seperti dicubit mendengar ucapan Raka yang begitu putus asa, meski tak bisa dipungkiri ia sangat senang karena Raka akhirnya menyerah dengan perasaannya. Dalam hati ia pun berjanji untuk membuat Raka melupakan kesedihannya itu. Tiba-tiba, tawa menyedihkannya berkumandang. Sambil menerawang, gadis itu pun bergumam, "We are so pathetic."

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang