#12 - Separuh Bersalah, Separuh Terluka

20 6 0
                                    

Raka berkali-kali menghela napas tak sabar. Kenapa hari ini terasa lebih panjang dari biasanya, sih?

"Jam di kelas nggak bakal berubah jadi Chloe Moretz, kali. Jangan dilihatin terus, lah!" celetuk Adnan risih.

"Gue tahu, kok. Bu Santi di depan juga nggak bakal berubah jadi J-Law," sahut Raka sambil menumpukan dagu di atas tangan kanannya.

Adnan mendengkus. "Najis, ih. Nggak nyambung banget."

"Lo yang mulai," balas Raka cuek.

Ketika bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, Raka buru-buru memasukkan peralatan sekolahnya ke dalam tas. Ia bahkan langsung tancap keluar kelas tanpa permisi.

"Raka!" panggil Dessy dari kejauhan.

Mendengar panggilan itu, Raka otomatis berhenti di tengah koridor. Karena badannya cukup besar, terpaksa ia harus menyingkir sebelum diteriaki karena sudah menutupi jalan.

"Buru-buru amat, sih. Untungnya gue tepat waktu ke kelas lo," keluh Dessy sambil berusaha mengatur napas.

"Sorry," ucap Raka sambil menggaruk tengkuk.

"Ya, dimaafin. By the way, lo tunggu di sini dulu, ya. Gue mau fotokopi catatan hari ini di kantin. Mumpung belum tutup."

"Nggak usah di sini. Gue tunggu di perpustakaan aja, gimana?" tawar Raka.

Dessy melihat jam tangannya. "Emangnya masih buka?"

"Kalau tutup, ya gue nunggu di luar, lah," katanya santai.

"Oh, ya udah. Nanti gue ke sana."

Raka mengangguk dan langsung melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan di lantai dua. Sesampainya di sana, ia bersyukur karena sang pustakawati belum menggembok pintu.

"Raka, kamu mau ngapain ke sini? Udah jam bubar, lho!" sang pustakawati mengingatkan Raka.

Raka menyengir. Dia memang sudah dikenal baik oleh pustakawati ini karena kebiasaannya yang selalu mampir ke sini saat istirahat kedua. "Saya nunggu temen, Bu? Ibu sendiri belum pulang?"

"Sebentar lagi. Ini rekapannya belum selesai."

"Ibu mau saya bantuin, nggak? Mumpung temen saya belum dateng."

Sang pustawakati menggeleng. "Nggak usah. Sebentar lagi kelar, kok."

Raka mengangguk mafhum dan memilih untuk menunggu di depan perpustakaan. Karena sekolahnya ini memiliki bentuk seperti huruf U, dari tempat berdirinya saat ini, ia bisa menatap langsung kelas Sinta yang berada di gedung seberang.

Diam-diam Raka memerhatikan satu per satu teman-teman Sinta keluar dari kelas. Ingin sekali ia berlari menyambangi kelas Sinta. Sayangnya, dulu Sinta sempat bilang kalau ia tidak terlalu suka kalau Raka mampir ke kelasnya. Saat Raka tanya kenapa, Sinta hanya membalas jika ia tak mau menjadi objek perhatian banyak orang. Karena alasan itu pula Raka jadi merasa sungkan untuk mengenal lebih jauh lingkup pertemanan Sinta. Raka kemudian menghela napas panjang.

"Jangan kebanyakan narik napas begitu, nanti cepet ubanan," celetuk Dessy. Raka spontan menoleh sambil berdecak jengkel.

"Bawel," gerutunya.

Dessy terkekeh pelan sambil menyerahkan salinan catatan hari ini pada Raka.

"Titip, ya. Inget, lo harus kasih ini ke Suri hari ini juga. Soalnya gue yakin Suri bakal butuhin catatan ini."

"Iyaaa," sahut Raka ogah-ogahan, tapi meski begitu ia tetap menyimpan salinan itu ke dalam tasnya dengan rapi. Ia kemudian mengalihkan kembali fokus matanya pada kelas Sinta.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang