Raka melotot. Hal ditakutkannya benar-benar terjadi di luar dugaan. Entah skenario macam apa yang Tuhan mainkan saat ini, karena tahu-tahu, dua orang yang sedari tadi berkeliaran di dalam kepalanya malah berpapasan di tangga sekolah. Oh, bagus sekali.
"Suri!" teriak Raka, tanpa peduli kalau saat ini masih masuk jam mengajar dan siswa dilarang membuat keributan.
Tiga kepala spontan mendongak. Dari atas Raka dapat melihat Mata Suri terlihat tak fokus, ditambah lagi dengan bibir yang melengkung ke bawah dan bergetar kecil. Ia yakin sekali kalau teman masa kecilnya itu dapat meledak kapan saja. Raka pun cepat-cepat menuruni anak tangga.
"Lho, kamu mau ke mana, Raka? Ini belum waktunya jam istirahat, kan?" tanya Wildan bingung.
Raka menggeram tertahan. "Saya tadi mau ke toilet sebentar, Pak. Tapi nggak jadi," tukasnya asal. Dengan cepat ia meraih lengan kanan Suri.
"Apa-apaan lo, Ka?" protes Suri ketika Raka dengan seenak udel menariknya untuk menaiki tangga.
Raka sendiri memilih untuk tak menggubris protes Suri. Ia bahkan melewati Wildan begitu saja sambil membuang muka, Padahal ia tahu itu sangat tidak sopan. Namun, mau bagaimana lagi, yang ada di dalam pikirannya adalah membawa Suri pergi dari sini bagaimanapun caranya.
Setelah beberapa menit berlari, tanpa sadar Raka membawa Suri menuju lantai dua. Tepat di depan perpustakaan yang letaknya berada di ujung sayap kiri gedung sekolah, akhirnya mereka berhenti.
Suri buru-buru menyentak kasar tangan Raka. "Lo itu apa-apaan? Kenapa pakai lari-larian segala, sih?!" bentaknya kesal.
"Berisik banget lo!" Raka balik membentak dengan suara beratnya yang menggelegar. Suri sampai mundur selangkah karena kaget. "Suri, Sorry," gumamnya sambil mendekati Suri. Sayangnya, baru saja ia ingin memberikan sebuah tepukan menangkan, gadis itu sudah lebih dulu menghindar.
"Jadi, Kak Wildan ngajar di sini? Dunia itu sempit amat, sih," ucap Suri sambil mendengkus geli. Ia pun memilih untuk berbalik menghadap tembok—sebuah kebiasaan yang ia lakukan jika gadis itu sedang merasa gundah. Raka paham betul dengan tabiatnya yang satu ini.
Dahi Raka berkerut ketika mendapati punggung kecil Suri bergetar. Oh, tidak. Raka paling tidak tahan kalau melihat Suri menangis. "Sur, are you okay?" tanyanya khawatir.
"Lo mau jawaban jujur atau bohong?" Suri melirik ke belakang sekilas.
"Yang mana aja, asal lo seneng."
"Gue kesel. Kesel banget!" geramnya sembari memukul dinding perpustakaan.
Raka mengatupkan bibir rapat-rapat dan menunggu unek-unek apalagi yang bakal dikeluarkan Suri.
"Tapi ... gue, gue sebenernya—" belum sempat Suri melanjutkan kalimatnya, Raka tiba-tiba saja mengalungkan dua tangannya di leher Suri lalu mendekapnya dari belakang.
Suri berjengit. "Eh, ngapain lo?" tanyanya was-was, takut ada yang menangkap basah kegiatan mereka.
"Biarin aja. Di sini sepi." Raka mendesah berat sebelum melanjutkan, "Gue nggak tahu sih bagaimana perasaan lo sekarang, tapi lo bisa pakai gue buat numpahin semua kekesalan lo sekarang," ucapnya sambil meletakkan dagunya di atas kepala Suri.
Suri tersedak ludahnya sendiri, lalu tersenyum kecil. "Kalau lo mau jadi samsak gue, boleh-boleh aja sih, Ka."
"Ngapain samsak? Lo bisa pakai dada atau pundak gue buat nangis, misalnya," ucap Raka asal.
Sayangnya, ia tak menyadari kalau perkataannya itu mengundang sebuah hantaman telak di bahu. "Aduh, kok mukul, sih?!" jeritnya sambil membungkuk.
"Thanks, ya. Soalnya lo udah bikin gue lega. Ya, meski cuma sedikit, sih," kata Suri sambil menyengir lebar. Gadis itu kemudian melangkah pergi sambil bersiul-siul ringan, meninggalkan Raka yang tengah mengaduh kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Regrets
RomanceAda dua hal yang membuatku menyesal. Pertama, jatuh hati padamu. Kedua, terjebak dalam kelemahan diri sendiri. ----- Suri hanya ingin membalas perlakuan Sinta terhadap Raka (sahabat masa kecilnya) karena Sinta telah mencampakkan Raka tanpa kejelas...