#17 - Monster Itu

21 5 0
                                    

Setelah beberapa tahun menemani Sinta melawan traumanya, Indra tahu jika malam-malam mendekati peringatan kecelakaan itu akan menjadi malam yang menakutkan bagi Sinta. Gadis itu pasti akan terserang insomnia. Ataupun jika ia tertidur, mimpi buruk tentang kecelakaan itu pasti akan datang bagai monster yang memburunya ke mana saja. Itulah alasan ia dan ibunya harus siap siaga agar mereka bisa menanangkan Sinta jika serangan panik itu datang.

Lelaki itu kemudian menarik napas panjang, lalu melirik ke jam yang tertempel di dinding. Jarum panjang sudah menunjukan pukul sepuluh malam dan ini adalah waktu-waktu yang tergolong rawan ketika Sinta kambuh. Sepupunya itu bisa saja kembali histeris seperti kemarin malam.

"Ayu tadi sudah makan, Ndra?" sang bunda yang baru saja pulang dari salon kemudian mendudukan dirinya di sebelah Indra.

"Sudah, Mi. Dia juga udah minum obat."

Sang ibu menghela napas pelan. "Terkadang, mami pengen banget gantiin posisi Ayu. Mami nggak tega ngelihat dia begitu terus." Setitik air mata terjatuh. "Masa depan Ayu itu masih panjang, harus sampai kapan dia menderita begitu?"

Indra yang melihat dengan segera merengkuh ibunda tercintanya dalam dekapan hangat. "Indra percaya sama Ayu. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa menghadapi ini."

"Tapi sampai kapan? Sudah enam tahun padahal, tapi Ayu masih aja kambuh."

Indra mengusap-usap lengan ibunya dengan sayang. "Semua butuh proses, Mi. Pelan-pelan pasti Ayu bisa melupakan kecelakaan itu," ucapnya sambil menghela napas berat. Ya, kecelekaan enam tahun lalu yang menyebabkan ayah tirinya meninggal adalah penyebab dari penderitaan Sinta. Terkadang ia tak mengerti kenapa Tuhan membuat jalan takdir sepupunya menjadi seberantakan ini.

"Tapi, Ndra. Kamu merasa aneh nggak sih sama serangan Ayu yang sekarang? Biasanya dia cuma insomnia biasa, tapi sekarang dia sampai nangis ngeraung-raung begitu. Tadi pas konsul dia ada cerita sama kamu, nggak?" sang ibu bertanya khawatir.

Lelaki itu terdiam. "Nggak. Dia nggak cerita apa-apa."

"Apa kita tanya aja sama temennya Ayu yang beberapa kali pernah main ke sini itu—siapa namanya, ya. Eum ... kalau nggak salah Rina, kan?" Sang ibu buru-buru mengambil ponsel dari tas, tapi dengan cepat Indra mencegah.

"Mami inget nggak kata-kata Sinta apa? Dia nggak mau temen-temennya tahu tentang kondisinya. Jadi, kita tunggu aja sampai Ayu yang cerita sendiri, ya," pinta Indra.

Selama beberapa saat, sang ibu tak juga merespon. Indra yang tak menyerah pun kembali memintanya. "Mami?" panggil lelaki itu.

Sang ibu akhirnya menghela napas pasrah. "Ya. Kita tunggu sampai Ayu yang cerita sendiri." Tercipta jeda sejenak sebelum wanita itu melanjutkan, "Omong-omong kamu jadi mau partneran bisnis sama temen SMA-mu itu?"

Indra melirik sang ibu lalu mengangguk antusias, "Ya, jadi. Tinggal tunggu kontrak Indra di Surabaya habis aja, Mi."

Di balik tembok pemisah ruang keluarga dan tangga, Sinta menangis dalam diam. Percakapan antara bibi dan kakak sepupunya itu membuat beban di pundaknya memberat ratusan kali lipat. Ia tidak ingin begini terus. Ia tak ingin lagi menyusahkan mereka. Ia ingin sembuh. Ia ingin melupakan peristiwa itu. Namun, sepertinya monster yang bercokol di kepalanya sangat kuat hingga ia tak mampu melawan.

Sinta melangkah berat menuju kamarnya. Anak tangga yang tak seberapa banyak itu mendadak bertambah banyak.

Tak tahu sudah berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk sampai di kamarnnya, tapi Sinta merasa sangat kelelahan. Gadis itu kemudian menjatuhkan dirinya di tempat tidur, lalu menarik bantal untuk menutupi seluruh wajahnya. Air mata mengalir deras tanpa diminta. Dadanya sesak, seperti ada sebuah bongkahan batu yang mengganjal. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, tapi tak ada satu pun yang keluar.

Dia benci saat dirinya dalam kondisi seperti ini. Dia benci masa lalunya. Dia benci semuanya!

Perhatian Sinta terpecah seketika saat teleponnya berbunyi. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dari atas nakas. Ada sebuah pesan masuk dari Rina.

Sinta, Are you okay? Hari ini gak masuk knp?

Sinta terenyuh. Betapa kebaikan orang-orang di sekelilingnya membuatnya tak berdaya; Tantenya, Mas Indra, dan sekarang Rina. Gadis itu lalu membalas pesan itu dengan cepat.

Nggak apa-apa. Cuma sakit perut aja.

Sepuluh menit berlalu, Rina belum juga membalas. Sinta menduga kalau gadis itu pasti tengah belajar atau mengerjakan PR. Harusnya Sinta meletakan kembali ponselnya itu, tapi dorongan untuk mengecek pesan dari seseorang yang ia rindukan begitu kuat. Tanpa disadari, ia menggulirkan daftar pesan dan baru berhenti pada satu nama.

Raka

Air mata kembali mengalir deras. Puluhan pesan yang ia terima dari beberapa hari lalu belum ia baca sama sekali. Jujur, ia takut jika membaca pesan-pesan dari Raka akan membuatnya makin merasa bersalah. Kalau ada yang menganggapnya pengecut, ia bisa terima itu.

Karena ia yang tak mampu melupakan kejadian tragis masa lalu, Raka jadi terkena imbasnya. Ketika itu, imaji almarhum ayah tirinya tiba-tiba saja menggantikan sosok Raka. Melihat wajahnya yang tertutupi kepulan asap, jemari kokoh yang tengah menjepit sebatang rokok, serta suara serak yang memanggil namanya, entah mengapa membawa kembali ketakutan yang telah ia kubur dalam-dalam. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Apakah ... apakah lelaki itu kembali dari alam kubur untuk membalas dendam atas kematiannya?

Sinta berusaha keras untuk mengenyahkan pikiran itu, tapi tak bisa. Ia tak mampu melawan. Sosok lelaki itu mendadak berubah mengerikan dengan leher patah dan kepala yang dibanjiri darah. Satu-satunya hal yang terpikir olehnya saat itu hanyalah pergi dari sana. Pergi sejauh-jauhnya sampai sosok itu tak bisa mengejarnya.

Sinta mengusap kasar pipinya yang basah. Tidak. Raka tidak sepenuhnya bersalah karena membuka lagi trauma yang ingin ia lupakan. Ini semua karena dirinya yang lemah.

Dari lubuk hatinya yang terdalam, sejujurnya ia sama sekali tak ingin menjauhi Raka. Ia sangat menyayangi pemuda itu. Baginya, kehadiran pemuda itu sangat berarti karena ia selalu berhasil menghalau perasaan kosong yang membuatnya nyaris gila. Pemuda itu juga mampu mengisi hari-harinya yang sepi menjadi berwarna. Namun, setelah hari itu, entah mengapa tiap kali ia melihat Raka, bayangan ayah tirinya selalu menghantui.

Sinta sesenggukan membaca tiap pesan yang Raka kirimkan kepadanya. "Maaf, Raka. Maaf."

Dalam hati, ia berjanji akan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus menyusahkan tante dan sepupunya lagi. Akhirnya, malam itu ia habiskan dengan memutar video yang pernah Raka kirimkan sebagai hadiah ulang tahun sampai pagi menjelang.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang