#11 - Tanpa Sengaja

18 6 0
                                    

Suri menguap lebar. Rere yang duduk di pangkuannya juga ikut menguap. Hari ini ia tak masuk sekolah. Enak sih tapi rasanya ada yang kurang. Selama ini ia tak pernah sekalipun absen sekolah karena sakit. Kalau kata Jun, badan adiknya itu tahan banting. Penyakit yang pernah hinggap di tubuhnya paling-paling cuma masuk angin atau flu saja. Tentunya semua itu bakal sembuh setelah dia minum obat dan tidur cukup.

"Suri, ayo. Taksi online-nya udah datang, tuh," ajak sang ibu.

"Ya, Ma," sahut Suri sambil menyambar tas selempangnya. Hari ini ia akan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada tangannya di rumah sakit setelah mendapat rujukan dari dokter klinik yang ia kunjungi tadi malam. "Rere, jaga rumah yang bener. Awas ngacak-ngacak barang," ucap pada kucing gendut peliharaanya sebelum menyusul sang ibu..

Sesampainya di rumah sakit, Suri mendadak menekuk muka. Ibunya yang melihat ini langsung tertawa.

"Aduh, panjang amat antriannya." Suri mendumel panjang ketika melihat namanya terdaftar sebagai pasien keempat puluh di layar monitor.

"Ya udah. Kamu duduk aja sini sebelah mama. Kalau kamu ngantuk tidur lagi juga bisa," ucap sang ibu sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.

Suri menurut sambil merengut. Sambil menyelonjorkan kaki, ia pun menyamankan punggungnya di sandaran kursi tunggu rumah sakit. Karena bosan, ia pun mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruang poli ortopedi. Sebagian pesan pasien di sana merupakan pasien patah tulang, ya meski ada sebagian kecil pasien dengan penyakit-penyakit tulang lain. Melihat mereka, seluruh persendian tulangnya mendadak linu.

"Kamu kenapa, Suri?" tanya sang ibu saat mendapati Suri meringis berkali-kali. Seingatnya tadi pagi ia sempat memberikan anaknya itu obat pereda nyeri yang telah diresepkan oleh dokter klinik.

Suri memandang ibunya ngeri. "Ka-kalau tangan Suri patah gimana, Maaa?"

"Nggak, Sayang. Udah kamu jangan mikir macam-macam." Sang ibu memberikan senyum menenangkan.

Gadis itu menghela napas pasrah dan memilih untuk duduk tenang sembari menunggu antrian. Lima belas menit kemudian ia mulai bergerak gelisah. "Ma, Suri haus, nih," katanya dengan nada memelas.

"Yakin cuma haus?" tanyanya sambil menatap geli.

"Ya, cuma itu doang, sih. Suri nggak laper, kok."

Karena sudah hapal betul dengan tabiat Suri, tanpa perlu diminta dua kali ibunya langsung menyerahkan selembar lima puluh ribu kepada anaknya itu. "Jangan jauh-jauh kelayapannya, ya."

Suri meringis sambil menyengir. Duh, ternyata rencananya sudah ketahuan. "Iyaaa. Nggak jauh-jauh, kok. Cuma deket-deket sini aja,"

"Ya udah sana. Tapi inget nanti kalau mama telepon kamu berarti nama kamu udah mau dipanggil."

"Sip!"

.

.

.

Destinasi pertama yang ingin ia sambangi adalah mesin penjual minum. Akan tetapi, begitu ia sampai tepat di depan mesin, sebuah ide mendadak terlintas. Ia jadi teringat tukang penjual otak-otak yang sempat ia lewati ketika memasuki kawasan rumah sakit. Untungnya, poli ortopedi berada di lantai satu, jadi ia tak perlu susah untuk kembali saat ibunya menelpon.

Baru saja ia melewati pintu utama rumah sakit, sebuah pemandangan membuatnya terpaku sesaat. Dua orang berbeda jenis kelamin berjalan mendekat. Yang lelaki berambut kecokelatan dan memiliki badan nyaris setinggi Raka, sedangkan yang perempuan berambut pendek dengan wajah ditutupi masker hijau. Meski tak melihat wajahnya langsung, Suri langsung mengenali bahwa sosok perempuan itu adalah Sinta. Sebab, tas ransel yang dibawa perempuan itu mirip seperti tas yang sering dibawa Sinta ke sekolah.

Ada urusan apa Kak Sinta di sini? Secara spontan, ia menyembunyikan diri di antara sekat dinding kecil saat Sinta dan lelaki itu melewatinya.

Suri merasakan jantungnya seperti jatuh ke lambung ketika keduanya mendadak berhenti. Ia pun semakin merapatkan diri ke dinding di belakangnya sambil menahan napas. Dalam hati ia terus berdoa semoga Sinta tak menyadari keberadaannya.

"Kenapa, Yu?" tanya si lelaki kepada Sinta.

"Nggak apa-apa," jawab Sinta dengan kepala menggeleng pelan.

"Kamu bisa, kok. Kamu kuat. Jangan nyerah, oke?"

Sinta mengangguk kaku. "Ya."

"Udah, jangan terlalu kamu pikirin. Rileks aja, ya," kata si lelaki sambil merangkul bahu mungil Sinta. Untuk sesaat, Suri merasa amarahnya bergejolak tatkala pemuda itu mendaratkan sebuah kecupan kecil di pelipis Sinta sebelum keduanya melanjutkan langkah.

Selama beberapa saat Suri memandangi punggung Sinta dan lelaki itu yang makin menjauh. Setibanya di sebuah persimpangan, keduanya berbelok ke kiri. Suri membaca papan penunjuk yang tergantung tepat di langit-langit persimpangan.

Poli Kandungan dan Poli Jiwa.

Tak sampai lima detik Suri memutuskan untuk keluar dari persembunyian. Napasnya memburu. Memikirkan reaksi yang bakal Raka tunjukkan setelah melihat adegan itu membuat dada Suri tambah panas. Sejauh yang ia tahu, Sinta tak memiliki kakak lelaki. Dia anak tunggal. Lalu, siapakah pemuda itu? Sepupunya? Pamannya? Atau mungkin pacar barunya?

Suri menggeleng ketika pikirannya makin liar. Bersamaan dengan itu ponsel di saku celananya bergetar. Ia pun buru-buru mengangkat panggilan itu.

"Ya, Ma. Suri ke sana!" katanya sambil bergegas untuk kembali.

Two RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang