14

103K 1.6K 6
                                    

*Alexis Bledel POV*

            “Apa kau bisa membawa helicopter?” tanyaku ingin tahu saat kami sedang berada di dalam mobilku lagi. Tapi kali ini kami duduk di bagian paling belakang. Aku membuka pintu mobil belakangku agar kami bisa mengambil nafas lebih enak dari udara segar malam di parkiran gedung Christian Grey, lagi. Kami terduduk di sisi mobilku dan kaki yang tidak menyentuh tanah, atau lebih tepatnya aku menyilangkan kakiku sambil memegang sekaleng coca cola. Hari ini tidak begitu melelahkan sehingga aku masih bisa pulang ke rumah sebentar untuk bertemu dengan ibuku dan kembali ke lokasi syuting. Justin terduduk di sebelahku dan ia menyandar pada sisi dalam mobilku. Salah satu kakinya diselonjorkan dan yang satunya lagi ia tekukan. Ia memegang sekaleng coca cola juga. Keheningan terbentang di antara kami.

            “Ya,” Whoa! Ini adalah sebuah berita. Gila, apa dia bercanda?

            “Kau bercanda, kan?” tanyaku tak percaya. Saat matanya menatap aspal di bawah mobilku, ia mulai menatapku. Aku terpaku. Matanya langsung menghipnotisku. Astaga, Christian Grey-ku sedang menatapku dengan gayanya yang benar-benar keren malam ini.

            “Tidak. Aku terlahir memang untuk sebagai orang kaya,” ujarnya terkesan sombong. Aku ingin menggumam atau paling tidak mendengus, tapi aku tidak berani melakukan itu. Kakinya sekarang sudah berada di atas pahaku, kakinya telanjang. Ia tidak memakai sepatu atau apa pun. Tapi bulu-bulu kakinya ..astaga, samar-samar. Beberapa detik aku menikmati pemandangan kakinya dan langsung mendongak kembali.

            “Mengapa kau terdengar begitu sombong?” tanyaku kelewat jujur. Ia terkekeh, terkekeh pelan. Kemudian ia menarik kakinya dari pahaku dan mulai menekukan kedua kakinya sambil meneguk coca cola yang ia minum.

            “Karena itu adalah sifat keturunan. Bieber. Dulu saat aku masih 18 tahun, aku pernah diajari untuk naik helicopter dengan ayahku. Pernah oleng sedikit, hampir jatuh malah. Tapi aku bisa. Sekarang sudah lancar,”

            “Apa kau punya helicopter sendiri?” Justin menggelengkan kepalanya. Mengapa? Kupikir ia orang kaya.

            “Tidak. Sebenarnya, punya. Tapi aku tidak pernah memakainya lagi,”

            “Jadi kau bisa membawa Charlie Tango?”

            “Tergantung jenisnya apa,”

            “Aku tidak ingin membicarakan jenis-jenis helicopter. Itu terkesan kau akan sombong nantinya, aku sudah sangat yakin,” ujarku langsung dengan malas. Itu memang akan menjadi kenyataannya bukan? Pasti. Justin pasti akan menguliahiku dengan kata-katanya. ‘Jadi aku menaiki helicopter yang ini. Tapi, aku mempunyai yang lebih bagus lagi.  Tapi menurutku helicopter jenis ini juga bagus, yang itu tidak cukup bagus. Kau tahulah, ayahku memiliki banyak helicopter’. Mungkin begitu kira-kira apa yang akan dia katakana nanti. Kudengar ia tertawa dan tiba-tiba ia menarik pintu belakangku yang melayang di atas sana. Dan ia banting untuk menutup pintu belakang mobil kami.

            “Sekarang lebih nyaman,” ujarnya menekan kunci mobil belakangku dengan seringai pada bibirnya. Tiba-tiba ponsel Justin berdering. Oh, baiklah. Tidak jadi, dan syukurlah. Segala ketegangan ini meleleh tiba-tiba saat ponsel Justin berdering. Dengan cepat Justin mengangkat telepon yang ia dapat.

            “Ya, sayang,” ia langsung berucap saat mendekatkan ponselnya ke telinganya. Theo.

            “Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti …Iya, aku tahu, aku tahu. Jangan menangis,” aku tersendat. THEO MENANGIS? Aku ingin tertawa terbahak-bahak sekarang. Apa-apaan Theo menangis? Sungguh, sekarang aku sedang bertarung dengan mulutku agar tidak tertawa di depan Justin. Alhasil aku menundukan kepalaku agar ia tidak melihat senyumanku yang tertahan. Ia terus mengoceh dengan Theo dengan panggilan Sayang. Menjijikan. Tapi bagaimana pun, aku pernah bercinta dengannya.

Rolling the Camera [HerrenJerks]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang