17

86.5K 1.5K 5
                                    

        “Apa yang kaulakukan?” tanya Justin saat ia keluar dari kamar dan kemudian pintu tertutup. Aku tak mendengar apa-apa lagi dari luar sana. Tubuhku sudah tertutupi oleh selimut sekarang, aku butuh mandi. Justin cepat sekali mengganti bajunya. Maksudku, boxer yang ia pakai. Bukankah ia memang datang ke kamar dengan hanya memakai boxer saja? Kuharap Theo tidak kembali masuk ke kamar. Tapi tiba-tiba knop pintu berbunyi saat aku mulai menggeser tubuhku untuk bangkit dari tempat tidur. Jantungku berdetak kencang dan memejamkan mataku, sebuah bisikan doa telah kuucapkan dalam hati. Jangan, jangan, jangan. Pintu mulai terbuka sedikit. Aku tersentak dan ingin mati sekarang.

            “Maafkan aku Justin,” ujar Theo terdengar sedih dari luar. Suaranya parau dan Justin terdiam sebentar. Mataku terbuka dan mencoba untuk tidak bergerak. Nafasku tertahan agar Theo tidak tahu kalau aku ada di dalam kamar ini. Meski aku tidak berpikir kalau ia adalah seorang zombie yang bisa tahu kalau ada manusia hidup di dalam kamar ini.  Aku tidak mendengar suara Justin selain :

            “Pergilah,” Justin mengusirnya. Astaga, aku kasihan sekali dengan Theo. Tapi dengan keadaan seperti ini aku tidak mungkin bisa meminta Justin untuk tidak bersikap jahat seperti itu. Aku menarik ke atas selimut yang masih menutupi tubuhku dan kuapitkan pada ketiakku.

            “Aku benar-benar maaf. Jika kau memaafkanku, telepon aku,” lirih Theo dan kemudian aku tidak mendengar apa-apa lagi. Mataku masih terjatuh pada pintu yang terbuka sedikit dan tiba-tiba terbuka lebar. Justin muncul dan ia langsung menghela nafasnya dengan tenang, bersandar pada pintu yang telah ia tutup kemudian ia merosot ke bawah hingga terduduk. Aku menatapnya dan menelan ludahku dengan ketakutan. Maksudku, wajah Justin sekarang sudah sangat memerah. Kemudian Justin menggelengkan kepalanya, frustrasi. Oh, kasihan sekali mereka berdua. Theo terlalu kekanak-kanakan dan Justin tidak pengertian. Aku tidak tahu mana yang salah. Tapi kurasa Justin harus memaafkan Theo. Bagaimana pun juga Theo telah mencoba untuk meminta maaf akan kesalahan yang telah ia perbuat.

            “Dia sungguh menyebalkan,”

            “Tapi setidaknya ia sudah meminta maaf,” aku langsung meresponnya. Wajahnya yang tertutup oleh kedua telapak tangannya mulai terlihat dan menatapku dengan tatapan Kau-Tidak-Mendukungku?  Aku hanya mengangkat kedua bahuku untuk meminta maaf padanya dan ia kembali mendesah. Tubuhnya tidak berkeringat karena aku cepat-cepat mengelapnya dengan selimut yang sekarang kupakai. Ternyata efektif juga untuk mengeringkan tubuh Justin yang tadinya berkeringat karena ..kau tahu sendirilah.

            “Aku tahu, tapi sungguh, apa yang sebenarnya ia harapkan?” ia bertanya.

            “Kebersamaan?” Aku menebak.

            “Kebersamaan? Dia bisa datang ke tempat syutingku jika ia mau. Jika ia ingin menungguku, menginap di dalam mobilku. Tapi dia tidak pernah ..aku sudah meminta padanya jika ia bisa. Tapi jika ia tidak bisa, tidak apa-apa. Aku tidak tahu apa masalahnya,” tutur Justin tidak menatapku melainkan pada lantai yang berada di bawah bokongnya itu.

            “Aku tidak tahu soal itu. Aku ingin mandi,”

            “Mau mandi bersamaku?”

            “Tidak,”

            “Mengapa?”

            “Karena kita tidak akan selesai-selesai mandi jika bersama-sama,”

            “Berarti kau mengharapkanku, ayo kita mandi,” Justin berdiri dari lantai dan kemudian menyeringai padaku. Tangannya yang besar mulai meraup tubuhku yang mungil. Aku mulai protes namun aku mulai terbuai oleh ciuman yang menghasutku sehingga aku mulai tersesat.

***

            “Whoa!” aku benar-benar terkejut saat Justin benar-benar membawa sebuah helicopter dengan seorang lelaki yang berada di sebelahnya. Aku berdiri di atap gedung tinggi ini dan menatap helicopter yang Justin bawa itu. Dia tidak berbicara omong kosong. Justin benar-benar bisa membawa helicopter. Well, ini hanyalah sebuah percobaan. Dan kulihat Gavin yang terduduk di atas kursi sutradara sambil tersenyum penuh dengan kebanggaan pada Justin. Aku tidak melihat manajer Justin beberapa hari ini. Mengapa? Aku tidak tahu. Mungkin pertanyaan itu bisa kusimpan sekarang.

            Rambutku berterbangan kemana-mana dengan Dravin yang berada di sebelahku dan merangkul bahuku. Ia cukup tidak menyukai ide Gavin yang menyuruhku dan Justin untuk berlatih bercinta. Meski aku tahu, pasti Gavin tidak percaya kalau aku dan Justin benar-benar melakukannya tadi siang.

            “Aku tidak percaya kau benar-benar melakukannya,” Dravin berbicara dengan normal saat kebisingan helicopter masih terdengar. Justin masih berada di langit bersama dengan George, pemandu artis untuk ..kau tahu, kapan kita masuk atau kapan kita keluar dari ruangan. Semacam itulah. Aku menoleh padanya dan mengangkat kedua bahuku. Dan ternyata bukan hanya Gavin yang tak percaya, Dravin juga. Selanjutnya siapa? Oh, ibuku tidak akan percaya.

            “Apa sebenarnya yang kauharapkan, Dravin?” aku mengeluh padanya dan menjauhkan tubuhku dari rangkulannya sehingga sekarang aku berhadapan dengannya. Kugerakan kepalaku ke salah satu sisi dan menatapnya dengan mata menyipit.

            “Aku hanya tidak ingin kau mendekatinya. Kau tahu, dia itu gay,”

            “Kurasa ia biseks,”

            “Tidak mungkin!” ia bersikeras. Aku memutar mataku dan melipat kedua tanganku di depan dadaku yang menyembul sekarang. Sialan.

            “Kau tidak bisa melarangku untuk menjauhinya. Dia Christian Grey dan aku pasangannya. Bagaimana bisa? Di mana otak sialanmu, Dravin?” aku mulai kesal padanya yang berpikiran pendek. Rasanya aku ingin menendang wajahnya yang seperti kuda menyebalkan ini. Dan aku tidak tahu mengapa ia begitu bersikeras agar aku menjauhi Justin meski kenyataannya adalah tidak. Dravin melotot padaku dan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Sekarang aku sangat merasa bersalah padanya. Aku tidak pernah memarahinya seperti itu. Atau aku tidak pernah berbicara kotor padanya –oke, mungkin pernah, tapi itu hanya untuk candaan. Kepalanya menggeleng-geleng kemudian ia beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju satu pintu yang berwarna hijau yang terbuat dari besi. Aku mendesah pelan. Mengapa ia begitu marah?

            Aku sedikit menjauh saat helicopter mulai mendarat di atas gedung ini. Rambutku semakin berkibaran dan tiba-tiba Fransesco muncul dari belakang dan memegang kedua pundakku. Well, aku harus berterimakasih padanya karena mungkin sebentar lagi aku akan terbang karena angin yang benar-benar kencang ini. Saat posisinya benar-benar pas, Justin mematikan mesin helikopternya dan langsung melompat dari sana. Ia memakai jas yang begitu panjang sehingga seperti ia memakai gaun yang kaku sekali. Tampan, sangat. Kakinya berjalan padaku dan bibirnya tersenyum padaku. Ia merentangkan tangannya dan memelukku.

            “Kau akan aman,” ujarnya di telingaku dan tiba-tiba ia menarik wajahku, bibirku dan bibirnya benar-benar bersentuhan. Fransesco menjauh.

***

Rolling the Camera [HerrenJerks]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang