18

80.5K 1.5K 17
                                    

“Kau tadi sangat hebat,” ujarku mengakui kehebatannya dalam membawa helicopter. Aku benar-benar dibawa ke Seattle dari Portland oleh Justin. Itu sangat menakjubkan dan kami benar-benar serius saat mengambil gambar tadi. Sekarang aku dan Justin harus tidur sekamar di dalam kamar Christian Grey sedangkan para kru tidur di kamar yang lain. Bahkan ada yang di ruang tamu. Kami berkumpul bergerombolan di sini karena di sini adalah tempat yang akan kami pakai untuk besok dan hari berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi.

            Aku tidur bersebelahan dengan Justin dan otakku dari tadi memikirkan Dravin yang masih marah. Aku tidak tahu ia akan tidur di mana sekarang. Maksudku, dimana sekarang. Justin berbaring dengan kedua tangan yang berada di bawah kepalanya. Kemudian ia menoleh padaku dan tersenyum penuh dengan kebanggaan. Aku benar-benar menyesal karena aku telah memujinya. Kepalanya pasti sebentar lagi akan pecah karena kesombongannya. Sial.

            “Aku tahu. Aku sudah bilang padamu hari sebelumnya, bukan?” Justin mulai bertumpu pada siku-sikunya. Kepalanya menyentuh telapak tangannya dan tubuhnya tertidur miring. Aku cemberut, tubuhnya mulai mendekati tubuhku.

            “Apa yang kaulakukan?” tanyaku saat tangannya mulai berada di pinggangku. Aku tertidur miring sekarang. Ia hanya terkekeh pelan dan itu adalah suara terindah yang pernah kudengar. Masalahnya adalah aku takut malam ini kami akan berhubungan badan lagi. Maksudku, aku rasa aku tidak akan pernah puas dengan lelaki. Dan ini aneh. Apa sekarang aku berada di dunia yang berbeda? Maksudku, bukan dunia hiburan atau dunia nyata. Dunia yang berbeda. Aku tidak pernah menyukai lawan mainku sebelumnya. Meski aku pernah berhubungan dengan salah satu di antara mereka. Tapi ini berbeda atau hanya aku yang melebih-lebihkannya?

            “Menyentuhmu? Kau tahu, aku senang bisa menyentuhmu. Aku janji tidak akan ada apa-apa malam ini,” ia berujar seolah-olah ia tahu apa yang ada di pikiranku. Kuanggukan kepalaku, membiarkan tangannya bertengger di pinggangku. Ia meremasnya dan aku memejamkan mata. Sentuhannya menyambar pada pangkal pahaku. Sial, sial, sial! Aku ingin menamparnya karena aku menginginkannya. Kubuka mataku kembali.

            “Mengapa kau tidak menghubungi Theo? Apa dia tahu kalau kau akan pergi ke Seattle? Aku bukan tinggal di Portland atau Seattle, aku Atlanta. Aku juga telah memberitahu ibuku kalau aku datang ke Seattle malam ini,” celotehku padanya, bercerita lebih tepatnya. Memang. Aku dari Atlanta. Maksudku, ini Washington. Dan aku tidak tahu Justin berasal dari mana.

            “Aku tinggal di Portland. Serius. Pantas saja ibumu tidak datang untuk menemuimu,” ujar Justin mulai menaruh tangannya di leherku dan mengelusnya dengan lembut. Dia bilang dia tidak akan melakukan apa-apa. Memang ia tidak mengajakku dengan kata-katanya. Tapi apa yang sedang tangannya lakukan? Aku ingin mencium bibirnya sekarang. Mataku mulai bertemu dengan matanya yang berwarna abu-abu pekat itu. Kutelan ludahku dengan susahnya, kurasa Justin bisa merasakan leherku yang bergerak karena ludah yang tertelan.

            “Ah, aku hampir lupa. Jadi, mengapa kau tidak menghubungi Theo?” tanyaku setelah aku sadar kalau aku sendiri yang mengubah topik dalam beberapa kalimat dan Justin meresponnya hanya satu topik dari tiga topik yang kuberikan. Justin tidak memilih topik Theo. Sekarang jari-jari Justin yang panjang itu mulai menyentuh pipiku dan mengelusnya.

            “Mengapa kau begitu mengkhawatirkannya? Aku saja tidak,” ujarnya yang membuatku memerah. Benar juga, mengapa aku mengkhawatirkan Theo? Oh, sial. Sekarang aku seperti wanita perebut lelaki orang. Aku merasa bersalah pada Theo. Kupejamkan mataku dan mendesah pelan.

            “Karena aku tahu sekarang perasaannya seperti apa. Hubungi dia. Aku yakin ia sangat menunggumu,” ujarku memohon padanya, membuka mata. Entah mengapa ini menjadi sesuatu yang penting. Tapi aku tidak tega dengan Theo yang tadi terdengar ingin menangis tapi ia tahan. Dan Justin seperti tidak berperasaan. Mengusir Theo yang sudah meminta maaf padanya. Dan Justin menolaknya mentah-mentah. Justin menggelengkan kepalanya dan memejamkan matanya.

            Membuka mata, jari jempolnya mulai mengelus sudut bibirku. Aku bergetar, tapi tidak terlalu bergetar. Ia menautkan kedua alisnya.

            “Tidak,” ia menolak. Baiklah, aku tidak bisa memaksanya sekarang.

            Ia memajukan tubuhnya, mendekatkannya pada tubuhku. Sekarang, bagian atas tubuhku hanya memakai selembar baju dalaman –bukan hanya bra. Tapi yang pasti ia bisa melihat belahan dadaku atau pundakku. Aku ingin mati saat tangannya mulai menyentuh leherku lalu menjarah masuk ke dalam dalaman yang kupakai sehingga telapak tangannya sudah menyentuh punggungku. Kupejamkan mataku untuk merasakan setiap sentuhannya. Akal sehatku mengalahkan gairah yang memanas.

            “Kau bilang tidak akan melakukan apa-apa,” ujarku membuka mata dan ia mulai menarik tangannya dari punggungku. Aku ingin merintih saat tangannya tidak menyentuhku. Ini adalah sikap munafik yang tidak bisa kulakukan. Ini tidak benar.

            “Apa yang kaulakukan Christian?” aku ingin bermain akting dengannya. Maksudku, bersenang-senang sambil berlatih akting, hal yang sangat menyenangkan bukan? Dia tidak pernah tahu kalau kita sebenarnya tidak berpura-pura kalau kita menyukainya karena mereka hanya menganggap ini hanya akting semata. Justin tersenyum padaku dan mulai menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. Ia tertawa, tiba-tiba.

            “Ana, Ana, Ana. Kapan kau terus mempermainkanku seperti ini? Aku sungguh tertarik padamu,” ujar Christian padaku dan mulai mengelus pipiku dengan lembut. Jemarinya benar-benar membawaku pada titik api yang mulai membara. Jika ia juga api dan kita bersatu, maka kami terbakar sekarang. Tapi belum. Belum saatnya kami terbakar. “Kemarilah,” ia menarik wajahku dan mulai memagut bibirku dengan lembut. Bibir kami terus mengisap satu sama lain dan mulutku mulai terbuka. Ia melesakan lidahnya langsung ke dalam mulutku. Aku menggeram, tangannya mulai meremas dadaku.

            “Kau bilang tidak melakukan apa-apa,”

            “Justin sudah tidak ada. Christian di sini,” ujar Justin terdengar begitu menyeramkan. Seolah-olah ia adalah seorang yang memiliki kepribadian ganda dan aku senang ia melakukan itu. Maksudku, aku ingin ia melakukan ini juga. Tangannya menekan wajahku pada wajahnya untuk memperdalam ciuman ini. Menyenangkan dan ..ah, sialan! Ponsel Justin tiba-tiba berdering dan bunyi kecipak dari bibir kami yang terlepas terdengar. Ia mengumpat pelan dan menjauh tubuhku.

            Tangannya mengambil ponselnya yang berada di atas meja kecil, sebelah tempat tidur besar ini. Kemudian ia melihat layarnya, ia mendesah pelan. Dengan keengganan, ia mengangkat teleponnya.

            “Ya?” ia tidak mengucapkan kata “Halo” atau semacamnya.

            “Aku di Seattle ..Apa? Tidak! Besok ..aku tidak ingin mendengar rengekan itu ..berhenti Theo. Kubilang berhenti ..tidak, aku tidak. Sialan Theo!” Justin menggeram dan kemudian meremas ponselnya hingga aku bisa mendengar suara retakan di sana. Gila, Justin marah seperti melihat iblis. Wajahnya mulai memerah dan rahang bawahnya menegang.

            “Sialan Theo. Apa maksudmu? Ini ..apa? Kau bodoh. Aku tidak pernah ..apa? Kaupikir apa yang sedang kaubicarakan?” Justin menggeram, “Apa-apaan itu? Sial, Theo. Aku benar-benar ..sial!” Justin melemparkan ponselnya hingga hancur berkeping-keping. Nafasnya memburu. Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Apa Justin Bieber benar-benar marah sekarang? Matanya mulai melihat padaku. Aku ketakutan sekarang. Saat aku ingin beranjak, tangannya menyentuh tanganku.

            “Tidak, jangan pergi. Dia hanya ..aku putus.” ia menggertak. Apa mereka benar-benar putus?

***

Rolling the Camera [HerrenJerks]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang